Jumat, 12 Agustus 2011

Perkembangan Negatif Feminisme

Perkembangan feminisme yang sangat fantastis di dunia barat maupun dunia timur khusus di Indonesia, tak semerta-merta berjalan lurus,atau boleh dikata ada dampak positif dan negatif, sebab jika kita cermati cukup banyak kesalahan dalam memaknai feminisme, dan hal itu juga terjadi di Indonesia. Wardah Hafiz  seorang pengiat feminisme Indonesia juga mengatakan, ditengarai ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dituduh sebagai gerakan para perempuan ”tukang bakar BH”,  ”anti lelaki”,  ”perusak keluarga”,  ”tidak mau punya anak” dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan feminisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodal, dan pastinya patriarkis. Namun sejalan dengan  muculnya pandangan ”miring” masyarakat mengenai feminisme, justru tuduhan tersebut diatas, menjadi gaya hidup sebagian masyarakat yang bisa dikatakan feminis moderen. Tapi sebelum kita berbicara mengenai salah tafsir terhadap feminisme, ada baiknya terlebih dahulu kita sekilas memahami mengenai aliran-aliran feminisme.

Aliran Feminisme
Kebanyakan definisi-definisi feminisme selalu berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin (gender). Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Secara sederhana, paling tidak ada 4 aliran feminisme yang berkembang di dunia. Kita akan bahasa satu persatu :

Feminisme Liberal
Adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia (demikian menurut mereka) punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum liberal feminis, status perempuan di dalam sebuah negara hanya sebatas warga Negara saja, bukannya sebagai pembuat kebijakan, bahkan pengambil keputusan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam perkembangan berikutnya pun, pandangan dari kaum feminis liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Seperti contoh, budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya "radikal".

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan baru yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).


Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini-status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk bertukar dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari kepemilikan. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat, yaitu borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang, maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Perkembangan Feminisme Indonesia
Sesuai apa yang dikatakan Wardah Hafiz bahwa banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme, itu memang benar terjadi. Sejalan dengan  adanya semacam tuduhan miring tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH", "anti lelaki", "perusak keluarga", "tidak mau punya anak" dan sejenisnya, namun justru dalam perkembangannya, penafsiran feminisme, itu harus tidak menikah, tidak punya anak, dll,   memang sudah menjadi gaya hidup sebagian feminis moderen. Apalagi sejatinya, feminisme pada dasarnya juga dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan femenisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis. Di tengarai dari sinilah awal salah tafsir feminisme mulai mucul, terbukti banyak penafsiran sebagian masyarakat (khusus perempuan yang hidup di kota metropolis) bahwa feminisme harus bebas dari belengu pernikahan, dan tidak mau punya anak, dll.  Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan kekeliruan memaknai feminisme memang benar terjadi dalam rentetan perkembangan feminisme.

Secara khusus sebagai contoh saja, mengingat kita berada dalam lingkup kampus, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditenggarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas, dan ditengarai ini adalah dampak dari salah menafsirkan sebagaian masyarakat mengenai feminisme, dimungkinkan juga ini adalah sebuah dampak perkembangan dari pemikiran aliran feminisme radikal, dimana  penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, di tambah lagi feminisme masuk kategori sebagai budaya tandingan (counter culture), karena seperti yang kita katakan diatas, bahwa gerakan femenisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis.  Dari sini dimungkinkan awal munculnya penafsiran keliru para feminis-feminis moderen bahwa penindasan atas dominan laki-laki dalam orentasi seks, harus ditandingi dengan keenganan untuk menikah, tidak punya anak, dan lebih memilih melakukan seks bebas dari pada harus terkekang laki-laki dalam berumah tangga.

Terkait dengan persoalan feminisme ini, mahasiswa khususnya mahasiswi, yang pastinya diklaim juga sebagai agent of change, harusnya dapat menjadi gerbong lokomotif bangsa yang mendorong masyarakat pada sebuah kesadaran bahwa perannya sebagai bagian dari entitas masyarakat berpendidikan merupakan amanah dan tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas fungsional, layaknya pria dan apalagi jika kita menilik tujuan dari feminisme ,sebenarnya bukanlah seperti halnya yang telah terjadi pada sebagian feminis yang salah tafsir mengenai feminisme. Terbukti setelah Orde Baru dan di era reformasi sekarang ini, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak perempuan semakin meningkat dan terus berkembang, tidak saja bidang sosial, budaya dan politik, akan tetapi juga dalam bidang agama.

Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Tetapi permasalahan yang justru muncul sekarang bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi apakah perempuan memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?, jika dalam perkembanganya sebagian para feminis moderen justru telah mengalami salah tafsir atas feminisme itu sendiri.

Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme selama ini, hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki. Namun, tidak diimbangin dengan gerekan pemahaman feminisme pada perempuan keseluruan di masyarakat, apalagi sekarang telah begitu banyak beredar karya-karya sastra yang mengambarkan gerakan-gerakan feminisme, dimana sangat mudah dikonsumsi anak-anak muda (khusus perempuan), sedangkan mereka masih sangat minim pengetahuan tentang feminisme atau bahkan tidak tau sama sekali. Maka bisa dikatakan dari sinilah awal sebab muculnya salah tafsir feminisme, sebab dimungkinkan dari kesalahan ini akan mucul feminis-feminis moderen yang menyimpang (mengalami salah tafsir) dari hakikat feminisme.

Penutup
Feminisme merupakan sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Bukan seperti sebagian pandangan, feminis-feminis moderen yang salah tafsir tentang feminisme.

Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut dikawal  (khususnya pada feminis moderen/perempuan metropolis) dan diapresiasikan karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering adakalanya melampaui kapasitas pria. Namun, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut dalam rangka pemenuhan esensi demokrasi dan cita-cita pembangunan negara, tanpa adanya beberapa pihak yang mengambil keuntungan dari perjuangan kaum hawa di nusantara tercinta.

Sebab itu, Kita harus menengok kembali pada hakikat feminisme, bahwa sebenarnya  feminisme merupakan tatanan untuk menyamakan kedudukan sosial antara perempuan dengan laki-laki, bukan untuk melawan tatanan sosial yang sudah ada (kodrat), karena beranggapan feminisme itu anti lelaki, tidak berkeluarga, dan tidak mau punya anak.