Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan
dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini
akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya
para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau
local wisdom ini. Sebagai sebuah kajian, kemudian saya pun mempelajari
dan mencoba mengaitkannya pada konteks yang ada. Definisi budaya lokal yang
pertama saya ambil adalah berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari
sudut stuktur dan tingkatannya. Berikut adalah penjelasannya :
- Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;
- Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda;
- Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong
- Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya individualisme
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal
berada pada tingat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial
budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat
manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar (2006:150) mengatakan bahwa dilihat
dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga
golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga
golongan tersebut adalah sebagai berikut:
- Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
- Kebudayaan umum lokal
- Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah
sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal
adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang
perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh
setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya
budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan
nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan
Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan
istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan
kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah
merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan
berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia
yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna.
Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah
melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian
yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, mengenai budaya lokal dan budaya
nasional, Judistira mengatakan bahwa dalam pembentukannya, kebudayaan nasional
memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk mengisinya. Adapun definisi
budaya nasional yang mempunyai keterkaitan dengan budaya lokal adalah sebagai
berikut:
1. Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan
nasional) berlandaskan kepada puncak-puncak kebudayaan daerah,
2. Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan
kebudayaan daerah dan unsur-unsur kebudayaan asing,
3. Kebudayaan kebangsaan menurut
rekayasa pendukung kebudayaan dominan melalui kekuasaan politik dan ekonomi:
dan
4. Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari
unsur-unsur kebudayaan asing yang modern dalam mengisi kekosongan dan
ketidaksepakatan dari berbagai kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)
Pembatasan atau perbedaan antara budaya nasional dan
budaya lokal atau budaya daerah diatas menjadi sebuah penegasan untuk memilah mana
yang disebut budaya nasional dan budaya lokal baik dalam konteks ruang, waktu
maupun masyarakat penganutnya.
Dalam pengertian yang luas, Judistira (2008:113)
mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan
pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala
bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada
jauh dibelakang apa yang tampak tersebut.
Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa
merupakan wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya daerah itu meliputi
beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah admisnistratif akan
terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah.
Wilayah administratif atau demografi pada dasarnya
menjadi batasan dari budaya lokal dalam definisinya, namun pada perkembangannya
dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau persebaran penduduk yang cenderung
tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang mengikis definisi tersebut.
Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang
ditinjau dalam faktor demografi dengan polemik di dalamnya, Kuntowijoyo
memandang bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian
tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya
berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang
sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk
dilakukan pengidentifikasian.
Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada
yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi
semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan
kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense
of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar.
(Kuntowijoyo,2006:42)
Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada
konteks demografi ini, Irwan Abdullah memberikan pandangannya :
Etnis selain merupakan konstruksi biologis juga
merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam
serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis yang terdapat diberbagai
tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang
tegas karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain
yang antar mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan
berhimpitan. (Abdullah, 2006:86)
Walaupun adanya interaksi antara budaya pendatang dan
masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi budaya lokal berdasarkan konteks
wilayah atau demografis pada hakekatnya tetap masih relevan walaupun tidak
sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan Irwan
Abdullah selanjutnya :
Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki
sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu
etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan
kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat
disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang
relatif lemah. (Abdullah, 2006:84)
Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya
dan atau antropolog diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam
definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor suku bangsa yang
menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau wilayah administratif.
Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis
seiring dengan persebaran penduduk, maka penulis akan lebih menekankan definisi
budaya lokal sebagai budaya yang dianut suku bangsa, misalnya Budaya Sunda
(budaya lokal) adalah budaya yang dianut oleh Suku Bangsa Sunda, hal ini bisa
ditentukan oleh minimal bahasa yang digunakan. (aryboxs)