BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Sebelumnya
Dalam penelitian (Siti Aisyah:2004) dalam skripsi komunikasi dalam iklan kampanye partai pemilu 2004 di televisi, menegaskan, bahwa dalam kegiatan berkampanye para politikus pasti menggunkan srtategi pemanfaatan retorika untuk menyampaikan misi dan visi terhadap masyarakat. Karena retorika merupakan alat komunikasi yang menojol dan sering digunakan kalangan filosof (sofis). Yang pada hakekatnya lebih banyak mengajarkan tentang keahlian bersilat lidah, berpokrol bambu atau berdebat kusir.
Menurut penelitian (Yessie:2004) dalam skripsi kohensi dan Koherensi Pidato Politik Mengawati Soekarno Putri di Kebagusan IV /45 Jakarta Selatan Tanggal 22 Januari 2003, menyatakan, bahwa dalam pidato politik agar komunikasi berjalan lancar, setiap gagasan atau ide harus di sampaikan secara jelas. Kejelasan itu akan diperoleh jika kohensi dan koherensi dapat dipenuhi.
2.2 Manipulasi
Manipulasi merupakan tindakan untuk mengerjakan sesuatu dengan tangan atau alat-alat mekanis secara terampil. Serta juga dapat diartikan upaya kelompok atau perorangan untuk mempengaruhi periaku, sikap, dan pendapat orang lain tampa dia menyadarinya. Mengerjakan sesuatu dengan cara yang pandai, sehingga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki, meski berbuat curang (memalsu dan mengelapkan). Menurut ilmu psikologi, manipulasi diartikan sebagai suatu usaha mempengaruhi individu. Dengan mengendalikan segala keinginan dan gagasan yang ada di bawa sadar, juga melalui sugesti. (KBBI,2003).
Pemaknaan terhadap struktur bahasa yang telah mapan dan digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seharusnya dilakukan secara utuh, murni dan proporsional. Namun, pemaknaan terhadap teks bahasa sering terhenti pada dataran formalistik, yang mengedepankan makna-makna simbolistik. Pemaknaan yang simbolistik ini tidak pernah menyentuh pada substansi makna dan pesan kehadiran bahasa. Akibat pemaknaan yang sempit bahasa bisa dijadikan alat legitimasi dan propaganda bagi kepentingan tertentu, tidak terlepas dalam kegiatan politik (httf/www. manipulasi bahasa.com).
Perkembangan negara pada era Orde Baru terjadai pemujaan ’ideologi developmentalisme’. Ideologi ini bercorak teknokratik, dengan menekankan nilai-nilai efisiensi, harmoni serta tertib, ketika sistem politik dan ekonomi dipelihara dalam suasana yang serba terkendali. Untuk memenuhi harapan ini, yang diperlukan bukan hanya penggelaran aparatur represif dari negara, guna mengendalikan oposisi dan pembangkangan. Tetapi tidak kalah hebatnya adalah berbagai upaya pengendalian dan manipulasi sistem-sistem reproduksi ideasional demi meratakan jalan bagi pengoperasian hegemoni ( httf/www.manipulasi bahasa .com).
2.3 Ragam Bahasa
Ragam bahasa merupakan kevariasian bahasa atau kekomplekan bentuk bahasa. Di sisi lain (Keraf,1995:81) menegaskan, tentang kevariasian bahasa adalah keanekaragaman bentuk-bentuk bahasa agar terpelihara minat dan perhatian orang. Chaer (1995:81) menjelaskan, dua pandangan mengenai variasi atau ragam bahasa. Pertama ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa . Jadi ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beranekaragam, tidak menutup kemungkinan dalam kegiatan kampanye.
Sedangkan Kridalaksana (1985:12-13) menggolongkan ragam bahasa berdasarkan faktor waktu, tempat, sosio-kultural, dan situasional. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa kemasa, faktor tempat menimbulkan dialek, faktor sosio-kultural membedakan bahasa yang digunakan antara kelas sosial, sedangkan faktor situasional menimbulakan adanya ragam bahasa tulis dan lisan.
Secara umum, ragam bahasa bermaksud berbagai penggunaanbahasa menurut konteks. Terdapat dua jenis ragam bahasa, yaitu bahasa formal dan bahasa tidak formal. Bahasa formal ialah bahasa yang digunakan dalam situasi rasmi, seperti urusan surat-menyurat, semasa mengajar atau bertutur dengan orang yang kita tidak kenal atau lebih tinggi status dan pangkatnya. Bahasa formal merujuk kepada penggunaan bahasa yang lebih teratur dan lengkap. Bahasa formal tidak sama dengan bahasa rasmi. Bahasa rasmi menyatakan taraf sesuatu bahasa, manakala bahasa formal merujuk kepada keadaan penggunaan sesuatu bahasa.
Oleh itu, bahasa formal lebih mementingkan penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks penggunaan bahasa. Bahasa formal biasanya memerlukan penggunaan nahu yang lengkap dan tidak melanggar hukum tatabahasa. Selain itu, bahasa formal juga memerlukan intonasi yang sempurna, bersesuaian dengan konteks. Secara ringkasnya, bahasa formal bersifat lebih rasmi dan teratur dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Bahasa tidak formal merupakan bahasa yang digunakan dalam situasi tidak rasmi. Seperti dalam perbuatan sehari-hari, khususnya dengan orang yang kita kenal. Bahasa tidak formal dapat dilihat melalui cirinya yang kelihatan, yaitu percampuran kod. Kod dalam bahasa ialah unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam perhubungan, umumnya perkataan atau unsur bahasa lain. Percampuran kod merupakan salah satu ciri paling menonjol dalam Bahasa tidak formal. Percampuran kod berbeda dengan pertukaran kod. Pertukaran kod ialah penggunaan bahasa yang rapi dan terkawal. Cuma satu bahasa atau kod lain digunakan untuk meberikan suatu kesan tertentu (httf/www. gaya bahasa.com).
2.4 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa, secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis dan penutur. Keraf (2002:113) mengungkapkan, dalam gaya bahasa terdapat segi gaya bahasa. Sebuah gaya bahasa yang baik harus memiliki tiga unsur, (1) kejujuran, (2) kesopansatuna, (3) kemenarikan. Dalam hal ini menitik beratkan dalam unsur gaya bahasa menarik.
Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yaitu mengunakan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk menyakinkan dan mempengaruhi penyimak dan pembaca (Tarigan,1990:5). Gaya bahasa retorika dikenal dengan istilah ’style’ yang merupakan penurunan dari bahasa latin ’stilus’, yang berarti alat tulis pada lempengan batu. Keahlian dalam mengunakan alat tulis ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan dalam lempengan batu tersebut. Sedangkan penelitian ini menitik beratkan pada keahlian dalam menulis indah dalam bahasa kampanye Pilgub di Surabaya 2008.
Majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni majas perulangan, pertentangan, perbandingan dan pertautan.
Bahasa merupakan alat vital dalam kegiatan komunikasi masyarakat. Bahasa senatiasa mengabdi pada masyarakat. Misalnya, pada saat seorang ingin menyampaikan gagasan, ide, pikiran, dan perasaan pada orang lain. Maka bahasa merupakan media yang efektif untuk menyampaikan informasi. Demikian pula bahasa juga berperan secara tidak terbatas dalam kehidupan manusia. Secara keseluruhan sebagai sarana komunikasi, tukar pikiran, bergurau, persahabatan, transaksi jual beli, berpolitik, berdebat, bahkan untuk berhayal dan bermimpi (Kartimihardjo,1988:1).
Rusyana (dalam Budinuryanto,1991:49) mengungkapkan, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam pemilihan bahasa seseorang yaitu : mitra bicara, situasi, isi pembicaraan, fungsi, serta tujuan interaksi. Pendapat ini juga diperkuat oleh Ervin-Tripp bahwa faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan bahasa penutur adalah latar, mitra bicara, topik, fungsi, dan tujuan interaksi.
Selain itu gaya bahasa penutur merupakan cermin karakter penutur. Karena pemilihan gaya bahasa sangat di pengaruhi dengan tingkat pendidikan, moral, agama, etika, dan budaya penutur. Maka setiap gaya bahasa yang digunakan penutur memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Tak terlepas pada wacana Cagub dalam kampanye Pilgub di Surabaya 2008.
2.5 Analisis Wacana
Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal). Disebut Analisis Isi (kuantitatif)
Pandangan kedua disebut konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Disebut Analisis Framing (discourse analysis).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis) (httf//www.papirus-biru blogsopt.com).
Dalam penelitian ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis. Khususnya pada analisis wacana model Teun A. van Dijk. Untuk mengkaji maksud-maksud yang ada dalam bahasa yang digunakan para kandidat Pilgub di Surabaya 2008 pada saat berkampanye. Baik yang ada pada internet, spanduk, panflet, seteriker, dan koran.
Analisis wacana model van Dijk sering disebut ”kognisi sosial” nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik analisis wacana model van Dijk. Menurut van Dikj penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari praktik produksi yang harus diamati. Disini patut dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Sehingga kita dapat memperoleh suatu pengetahuan tentang kenapa suatau teks bisa semacam itu. Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita, maka dibutuhkan suatu penelitian yang melihat bagaimana produksi teks itu bekerja, kenapa teks tersabut memarjinalkan wanita. Proses pendekatan dan produksi ini melibatkan suatu yang disebut kognisi sosial.
Berbagai masalah kompleks dan rumit itulah yang dicoba digambarakan oleh van Dijk. Oleh karenanya van Dijk tidak mengeksklusi modelnya hanya semata menganalisis teks. Tapi ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan berpengaruh pada teks. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempuyai tiga dimensi, diantaranya : teks, kognisi sosial, dan kontek sosial (analisis sosial). Dalam dimensi teks yang dianalisis bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari komunikator. Sedangkan, aspek analisis sosial mempelajari bagunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Namun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada dimensi teks dan analisis sosial.
2.5.1 Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa bagian struktur yang masing-masing saling mendukung. Ia dalam hal ini membaginya dalam tiga tingkat. Pertama, struktur makro, ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks. Kedua, superstruktural yaitu merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks. Bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang diamati dari bagian terkecil dari suatu teks semisal, kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Berikut dapat diuraikan satu persatu elemen wacana model van Dijk :
Struktur wacana | Hal yang diamati | Elemen |
Struktur makro | Tematik Tema/ topik yang dikedepankan dalam berita | Topik |
Superstruktur | Skematik Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh | skema |
Struktur mikro | Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisi satu sisi dan mengurangi detil sisi lain. | Latar, detil, maksud, pranggapan, nominalisasi |
Struktur mikro | Sintaksis Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih. | Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti |
Struktur mikro | Stilistik Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita. | Leksikon |
Struktur mikro | Retoris Bagaimana cara penekanan dilakukan. | Grafis, metafora, ekspresi |
Namun dalam penelitian ini kami akan memfokuskan pada elemen-elemen teks yang sesuai dan sejalan dengan kriteria penelitian yaitu manipulasi bahasa pada kampanye Pilgub di Surabaya 2008, diantaranya sebagai berikut :
a. Tematik
Elemen tematik menujuk pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan komunikator dalam pemberitaanya. Topik juga menujukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Oleh karena itu sering juga disebut tema dan topik. Menurut van Dijk teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan pandangan atau topik tertentu, tetapi sebuah pandangan umum yang koheren. Van Dijk menyebutnya sebagai koherensi global (global coherence), yakni bagian-bagian dalam teks kalau dirunut menujuk pada suatu titik gagasan umum dan bagian-bagian itu saling mendukung satu sama lain untuk menggambarkan topik umum tersebut. Topik menggambarkan tema umum dari teks berita, topik juga didukung oleh subtopik satu dengan subtopik yang lain yang saling mendukung untuk terbentuknya topik umum. Subtopik juga didukung oleh serangkaian fakta yang menujuk dan menggambarkan subtopik. Sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian lain, teks secara keseluruan membentuk teks yang koheren dan utuh.
b. Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menujukan posisi seseorang dalam wacana. Dalam menggungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti ”saya” atau ”kami” yang menggambarkan bahwa sifat tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata. Akan tetapi ketika memakai kata ganti ”kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak segaja dihilangkan untuk menujukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruan.
Pemakaian kata ganti jamak seperti ”kita” atau ”kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan op0osisi (hanya) kepada diri sendiri. Misalnya pada kalimat ”kami masyarakat Indonesia” dan ”kita bangsa yang besar”. Berbagai kata ganti juga digunakan secara strategis sesuai dengan kondisi yang ada. Prinsipnya adalah merangkul dukungan dan menghilangkan oposisi yang ada.
c. Leksikon
Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pilihan kata atas berbagai kemungkinan yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata ”meninggal” mempuyai kata lain : mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir. Diantara kata ini dapat dipilih di antara satu. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata karena kebetulan, tetapi secara ideologis menujukan bagaimana pemaknaan komunikator terhadap fakta atau realitas. Oleh karenanya fakta yang sama dapat digambarkan dengan pemilihan kata yang berbeda. Semisal, peristiwa terbunuhnya mahasiswa Trisakti dapat disajikan dengan kata-kata ”pembunuhan”, ”kecelakaan”, atau bahkan ”pembantaian”.
d. Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (dianggap penting) oleh komunikator, dimana dapat diamati dari teks. Dalam wacana berita grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dari tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, miring, garis bawah, dan huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Termaksud juga pemakaian caption, raster, grafik, gambar, foto, atau table untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, dimana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. Serta upaya ini untuk memegaruhi dan mensugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak.
e. Metafora
Dalam suatu wacana komunikator tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks. Tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksud sebagai ornamen (bumbu) dari suatu wacana. Akan tetapi pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk memahami makna suatu teks. Metafora dipakai komunikator secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pemikiran atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Komunikator juga menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, pribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci, yang semuanya digunakan untuk memperkuat pesan utama teks berita atau pada bahasa kampanye.
2.5.2 Analisis sosial
Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstualitas dengan meneliti bagaimana wacana pemberitaan tentang suatu hal diproduksi dan direkontruksi dalam masyarakat. Misal, ketika akan meneliti bagaimana wacana pemberitaan media atas isu komunisme. Dalam kerangka model van Dijk, kita perlu melakukan penelitian bagaimana wacana komunisme diproduksi dalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan menganalisis bagaimana negara melakukan produksi dan reproduksi atas wacana komunisme. Lewat buku-buku sekolah, pidato politik, dan sebagainya. Titik penting dari analisis ini adalah untuk menujukan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekuasan sosial diproduksi lewat pratik dikursus dan legitimasi. Maka dalam penelitian manipulasi bahasa kampanye Pilgub di Surabaya 2008 akan diamati bagaimana pemahaman masyarakat tentang penggunaan bahasa yang digunakan dalam kampanye Pilgub di Surabaya. Menurut van Dijk dalam analisis sosial ada dua poin diantaranya : kekuasaan (power) dan akses (acces).
a. Pratik kekuasaan
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya) untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini biasanya didasarkan pada kepemilikan atas sumber yang bernilai, seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik kekuasaan itu juga berbentuk persuasif : tidakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan. Yang nantinya dapat berpengaruh pada pemahaman pada sebuah wacana tertentu.
b. Akses mempengaruhi wacana
Analisis wacana model van Dijk memberi perhatian besar pada akses. Bagaimana akses diantara kelompok masyarakat elit mempunyai akses lebih besar dibandingkan kelompok masyarakat yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak.
Akses yang lebih besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengkontrol kesadaran khalayak lebih besar. Tapi juga membentuk topik dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan pada khalayak. Namun khalayak yang tidak memiliki akses tidak hanya menjadi konsumen dari dikursus yang telah ditentukan. Tapi juga berperan besar lewat reproduksi, karena apa yang mereka terima dari kelompok yang lebih tinggi disebarkan lewat pembicaraan dengan keluarnga, teman sebayah, dan sebagainya. Dan akhirnya merujuk pada sebuah manipulasi bahasa untuk mendapat massa dan dukungan.