Dalam evolusi sejarah umat manusia, ternyata perjalanan sejarah ini tidak selalu berkembang linear. Ide-ide besar datang dan pergi, gagasan yang baru menggantikan yang lama, menegasikan atau mengambil bentuk baru dari suatu sintesis kreatif yang memperkaya. Gagasan-gagasan yang tidak relevan dengan perkembangan zaman atau yang telah berperan menghancurkan zaman itu sendiri pada akhirnya akan menerima kritik, bahkan dicaci, dan lalu ditinggalkan. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin maju capaian pemikiran manusia bukan berarti ia akan begitu saja menjamin kesejahteraan dan kedamaian manusia, meski segala upaya pemikiran itu dikerahkan untuk mencapai cita-cita itu.
Misalnya, gagasan-gagasan yang lahir dari kandungan modernitas, yang merupakan antitesis dari abad pertengahan, kini menjadi sasaran kritik era sesudahnya. Kritik ini dikemukakan karena modernitas tidak lagi sanggup menjawab problem zaman yang dinamis. Bahkan modernitas dianggap telah menyumbangkan saham bagi lahirnya tragedi kemanusiaan yang menimpa umat manusia, seperti perang, konflik, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan seterusnya. Modernitas memang diakui memunculkan optimisme kemajuan manusia melalui penemuan sains dan teknologi, tetapi pada sisi lain ia tidak mampu menjawab problem-problem besar yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut. Banyaknya bencana kemanusiaan memperlihatkan bahwa modernitas gagal membuat dunia semakin damai, aman, dan sejahtera.
Keprihatinan terhadap tragedi kemanusiaan semacam inilah yang juga dirasakan Hans Kung, yang sebagian pemikirannya akan dibahas dalam makalah ini. Kritiknya terhadap modernitas dengan mempertimbangkan khazanah zaman posmodernitas sekarang ini mendorongnya untuk mencari solusi normatif bagi problem kontemporer yang diwarnai dengan teror, kekerasan, penindasan, dan bencana kemanusiaan lainnya. Tepatnya, Kung mau membangun fondasi etika bersama yang bisa menjamin kehidupan umat manusia di dunia agar lebih adil, damai, aman, dan berprikemanusiaan. Bukan etika yang semata-mata mendasarkan diri pada jenius rasio manusia, melainkan etika yang dibangun di atas nilai-nilai humanis yang terkandung dalam agama-agama.
Dalam refleksi ini, pertama-tama penulis akan memaparkan kondisi modernitas dan kritik Kung atas kegagalan-kegagalan modernitas (1), lalu akan dibahas panggilan Kung akan pentingnya etika bersama untuk mengatasi problem kemanusiaan akibat kegagalan modernitas ini (2), dan selanjutnya akan dipaparkan gagasan inti Kung mengenai keyakinannya akan nilai agama-agama sebagai basis etika global (3). Terakhir penulis akan memberikan beberapa catatan kritis singkat (4).
Kondisi-Kondisi Modernitas
Pengertian modernitas di sini pada dasarnya tidak hanya menunjukkan sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan atau sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga suatu posisi epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.
Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito ergo sum telah menandai kesadaran baru ini: pertama, manusia atau “aku” adalah subjek yag menghadapai alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.
Alam modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan gagasan modern tentang progress.
Progress, sebagai kesadaran akan waktu yang khas dalam modernitas, dimaksudkan waktu yang dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan. Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.
Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan.
Hans Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik modernitas, dengan lugas menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi.
Menuju Etika Bersama Pasca Modernitas
Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini menarik keprihatinan Kung. Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi modernitas yang mengandalkan rasio manusia yang tidak memberikan landasan etis yang memadai untuk tanggung jawab etika global. Kedua, terkait dengan budaya teknokratis yang mendominasi masyarakat modern telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menggunakan teknologi. Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justeru mengancam keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi Kung, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Namun demikian realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja membutuhkan konsensus bersama, suatu moralitas atau norma etik yang mengikat secara universal. Yakni, suatu norma dan nilai minimum yang bersifat transkultural dan transnasional yang bisa menjamin dan mengarahkan umat manusia menuju kehidupan masa depan yang harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan. Suatu norma yang dilandasi oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam semesta (a planetary responsibility). Norma ini adalah etika publik-global yang bertanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia, serta menjadikan manusia sebagai kriteria dan tujuan.
Agama-agama sebagai Basis Etika Global
Pertanyaan pertama untuk membangun sebuah etika bersama adalah: di atas landasan apa etika bersama dan mengikat itu hendak dibangun? Apa kriteria validitas etika bersama itu agar bisa dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula?
Pertama-tama Hans Kung mengaskan bahwa kemajuan sains modern tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu sains dan teknologi tidak seluruhnya rasional. Rasio pencerahan toh akhirnya jatuh pada irasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran. Karena persis pemikiran saintifik dan teknologis modern tidak bisa memberikan dasar bagi nilai-nilai universal, hak asasi manusia (HAM), dan kriteria etis yang memadai.
Kedua, filsafat juga gagal bahkan tidak mampu memberikan fondasi etika praktis bagi seluruh masyarakat, juga suatu etika yang bersifat universal dan mengikat. Alih-alih, mereka (para filsuf seperti MacIntyre, Rorty, Foucault, dll) kembali kepada budaya dan nilai-nilai lokal sebagai sumber norma-norma etika yang tentu bagi Kung partikularitas itu tidak mencukupi bagi etika bersama. Mengapa demikian? Karena rumusan etika dalam filsafat tidak menyertakan keharusan universal dan yang tanpa syarat. Filsafat hanya mengabdi pada kekuatan rasio sehingga ketundukan pada keharusan etis terasa menyakitkan secara eksistensial. Apalagi juga filsafat mustahil menuntut pengorbanan atas kepentingan hidup mereka.
Dengan bersikap pesimis terhadap peran rasio dan filsafat yang gagal menyediakan fondasi etis, Kung akhirnya melirik peluang agama yang secara potensial bisa menjadi dasar pijakan bagi moralitas universal semacam itu. Memang benar bahwa agama bisa berlaku otoritarian, menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan, isolasi dan seterusnya hingga memusuhi sains, teknologi, industri, bahkan demokrasi dan HAM. Namun demikian, Kung menyanggah kalau agama dianggap tidak memiliki masa depan. Bagi Kung, agama adalah fenomena universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia, ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi, HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika nonkekerasan. Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan.
Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Mengapa?
Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru ia bisa dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini.
Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Ini berbeda dengan para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan tindakan bermoral secara otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa memberikan alasan mengapa ia menerima absolutisitas dan universalitas kewajiban moral. Kung menegaskan: “An inconditional claim, a ‘categorical’ ought, cannot be derived from the finite conditions of human existence, from human urgencies and needs. And even an independent abstract ‘human nature’ or idea of humanity’ (as a legitimating authority) can hardly put unconditional obligation on anyone for anything”. Sebaliknya, tuntutan etis dan keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan universal. Keyakinan pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan menjadi modal dasar agama-agama dalam membangun etika bersama.
Dan alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang Absolut.
Namun demikian Kung memberikan sejumlah catatan bahwa agama-agama seharusnya juga bersikap rendah hati menerima perkembangan pemikiran baru karena ia sendiri tidak lepas dari problem di dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak bisa mengabaikan nilai-nilai pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan sains dan teknologi. Pertama, karena nilai dan norma etis konkret itu juga hadir bersama dalam proses sejarah, maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu berubah secara kontekstual. Kedua, agamawan juga harus menggunakan bantuan metode sains untuk memperoleh kepastian analisis secara prejudis terhadap persoalan-persoalan terkait sebelum mengambil keputusan. Ketiga, persoalan yang semakin kompleks menuntut adanya pertanggungjawaban etis berikut solusi konkrit menurut konteks setempat. Selain itu tindakan etis juga mesti dilakukan dengan pertimbangan prioritas dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan memanfaatkan metode analisis sains.
Dengan menjadikan agama-agama sebagai basis etika global ini, Kung benar-benar ingin mencari alternatif landasan bersama etika bersama yang mengikat. Bukan menggantungkan diri pada rasionalitas manusia, melainkan pada pertemuan nilai-nilai humanum dari agama-agama.
Namun gagasan Kung ini memancing sebuah pertanyaan, apakah “kembali ke etika agama-agama” bermaksud menganjurkan ke arah gerakan revivalisme keagamaan, seperti revivalisme Islam, misalnya?
Revivalisme yang selama ini dilontarkan kalangan Islamis pada dasarnya didorong oleh kehendak untuk kembali ke Kitab Suci atau Islam murni atau Islam otentik, dengan cara menafsirkan Al Qur’an secara tekstualistik. Persoalannya adalah “Islam otentik” atau “Islam Murni”? Ajaran-ajaran Islam telah dipahami secara beragam oleh umatnya dengan melahirkan beragam produk tafsiran terhadap teks kitab suci yang kadang-kadang melahirkan perbedaan, bahkan konflik dan perpecahan. Sehingga klaim tentang “Islam otentik” yang tunggal itu menjadi problematis. Otentisitas itu hanya bisa dipahami dalam kerangka subyektifitas penghayatan individual. Karenanya otentisitas selalu berkaitan dengan penghayatan iman orang tersebut dalam situasi konkrit itu yang selalu mengalami mengalami transformasi.
Tentu saja gagasan etika global Kung tidak mengarah pada revivalisme semacam itu, apalagi yang sektarian. Melainkan Kung hendak merumuskan etika global yang bisa menjamin kepastian dan keharusan moral kepada semua orang. Bagi Kung kriteria etika semacam itu hanya mungkin ditemukan dalam agama-agama. Mengapa? Sebagaimana disinggung di atas, unsur dasar agama adalah keyakinan adanya otoritas absolut yang transenden. Dan kepercayaan terhadap realitas transenden merupakan gejala atau fenomena universal manusia. Hanya etika transenden yang berasal dari otoritas absolut itulah yang bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam, serta ideal-ideal tertinggi. Dan dalam setiap agama, tegas Kung, ada nilai-nilai etis bersifat universal yang bisa dipakai sebagai landasan bersama.
Jadi, alih-alih mau menyerukan ke revivalisme agama atau sektarianisme, Kung justeru mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi perdamaian global. Agama bukanlah suatu hypostase. Agama tidak tinggal dalam dunia Platonik, tetapi merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah. Suatu agama yang menyejarah yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.
Catatan Kritis
Dari paparan pemikiran Hans Kung di atas, penulis hendak memberikan beberapa pandangan dan tanggapan singkat mengenai posisi Kung tersebut terutama terkait dengan gagasan mengenai agama sebagai fondasi etika global.
1). Hans Kung berupaya mencari landasan etika bersama yang bersifat universal, memiliki kepastian absolut dan mengandung tuntutan yang mengharuskan. Menurut dia, etika yang berasal dari rumusan rasio manusia tidak bisa menjamin nilai etika seperti itu karena manusia terbatas. Manusia yang terbatas dan tindakannya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhannya mustahil melahirkan noma etis yang bersifat universal dan tidak bersyarat. Karenanya hanya satu penjamin nilai-nilai itu, yakni zat yang tidak terbatas dan tidak bersyarat: Tuhan atau Realitas Ultim.
Pencarian etika universal dari agama-agama semacam itu sangat dimungkinkan. Tapi persoalan yang tetap krusial menurut penulis adalah bagaimana menerjemahkan norma-norma itu dalam situasi konkrit. Orang berbeda cara berpikir atau budayanya atau situasi yang dihadapinya akan sangat berbeda menerjemahkan norma-norma itu secara konkrit. Jadi mustahil adanya penyikapan etis terhadap permasalahan secara seragam dan universal, meski secara normatif landasannya sama.
2). Pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Kung adalah apakah etika dunia baru dari agama-agama bisa menjamin kedamaian dan situasi nondestruksi? Jika Kung berdalih bahwa destruksi agama disebabkan oleh kekolotan agamawan atau institusi agama, bukankah dalih yang sama bisa diberikan kepada rasio pencerahan yang membawa destruksi akibat meninggalkan rasio komunikatifnya. Benar bahwa rasio manusia terbatas, tapi apakah etika dari agama-agama yang tak bersyarat itu bisa menjamin tidak ada penyelewengan?
Menurut penulis, Kung tampaknya (jangan-jangan benar), sebagaimana para filsuf dan saintis, dalam melihat masalah-maalah dengan menggeser solusi normative yang satu dan tertentu dan lalu menggantikannya dengan solusi normatif yang lain, tanpa melihat persoalan praktis apa yang terjadi di lapangan. Artinya, meminjam kritik yang dilontarkan oleh kalangan posmodernis, Kung terjebak ke dalam bentuk-bentuk “esensialisme” baru produk modernitas pencerahan. Dengan meletakkan agama sebagai satu-satunya basis landasan etis, Kung sebetulnya telah terjebak oleh keinginan untuk lepas dari sebentuk esensialisme lama ke esensialisme baru. Keterjebakan Kung ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi lanjutan.
Pertama, pandangan esensialis ini selalu dibangun dengan menyingkirkan apa yang dianggap non-esensial. Hal ini dibuktikan dengan dominasi rasionalitas sebagai ciri esensial manusia modern telah menyingkirkan aspek-aspek lain yang dianggap tidak esensial, seperti agama, metafisika, kepercayaan mistik, dewa-dewa dan seterusnya. Demikian juga pandangan bahwa agama sebagai satu-satunya basis landasan etis yang bisa dipertanggungjawabkan juga memiliki status esensial yang hampir sama dengan keyakinan absolut pada rasio, dan berpotensi mengabaikan potensi aspek-aspek lain yang bisa mendukung terciptanya etika bersama dari suatu komunitas. Misalnya, norma yang menyatakan “yang lain” sebagai landasan etis tindakan bermoral.
Kedua, akibat lompatan pandangan yang esensialis ini Kung melupakan problem-problem yang sifatnya praktis, sebagaimana disinggung di atas. Maksudnya, bila agama seperti rasio juga memiliki unsur positif dan negatifnya lalu apakah etika global berlandasan agama itu bisa menjamin perdamaian dunia. Bila memang dimungkinkan merumuskan etika universal semacam itu, apakah aplikasi praktisnya juga akan menghasilkan penilaian dan tindakan etis yang unversal terhadap beragam persoalan. Di sini Kung tidak bisa menghindari adanya keragaman tanggapan etis seseorang ketika menghadapi situasi konkrit tertentu yang particular