Senin, 11 April 2011

Konsep Politik Islam

Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini


Sejarah Politik Islam Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku ini menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.
Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini.
Pada zamannya, Nabi membentuk sebuah komunitas, yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim , Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”.
Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim , baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”.
Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti.
Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek politik yang dominan di dunia muslim adalah yang memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial dan keluarga.
Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al- Mawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling tergantung.
Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan syariat, adalah Ibn Taimiyah. Black sendiri dalam buku ini menyebut masa itu sebagai masa “syariat dan pedang”.
Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi Dinasti Utsmani , Dinasti Safawi , dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani , yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut Khilafah Islamiyah . Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924.
Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh , yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini menawarkan pemikiran modernisme . Black menyebut masa ini sebagai abad modernisme .
Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al- Maududi , serta Sayyid Qutb . Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.
Jika kita perhatikan materi pemikiran Islam sejak masa Nabi hingga masa kini seperti disajikan oleh Black dalam buku ini, nyaris tiada yang baru di situ. Tapi, bagaimanapun, pemetaan pemikiran Islam secara kronologis, sebagaimana yang dilakukan oleh Black, sangat membantu kita dalam memahami alur serta dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam. Melalui buku ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.