Kamis, 14 April 2011

Perbadingan Poststrukturalisme dan Postmodernisme

Poststrukturalisme adalah salah satu area dalam politik kontemporer yang paling menarik dan vital, sayangnya masih belum banyak dipahami dalam jagad politik. Mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai golongan poststrukturalis, menurut Mackenzie biasanya menjauhkan diri mereka dari paradigma dominan dalam teori politik. Oleh karena itu poststrukturalis adalah kritik terhadap Liberalisme, Marxisme, teori kritis, teori pilihan rasional (rational choice) dan berbagai macam teori feminis dan varian-variannya. Mereka mempertanyakan fondasi dari teori politik terutama arti dari “hal sosial” (the social) dan “hal politik” (the political).
Poststrukturalisme selalu diasosiasikan dengan sekelompok intelektual yang dahulu (1950-1960) berkumpul di Perancis, mereka mengkritik analisa strukturalis yang sempat mendominasi kehidupan intelektual Perancis pada masa itu. Tokoh-tokoh dari poststrukturalisme ini antara lain adalah para penulis seperti Cixous, Deleuze, Derrida, Foucault, Guattari, Irigaray, Kristeva, dan Lyotard. Definisi yang mendekati arti dari poststrukturalisme itu seniri adalah satu bentuk mempertanyakan konteks intelektual tertentu (reaksi terhadap strukturalisme).
Mengenai pengertian Postmodernisme, Terry Eagleton, mengungkapkan dalam The Illusions of Postmodernism bahwa biasanya memang dibedakan antara postmodernisme dan postmodernitas. Pembedaan ini cukup berguna baginya. Akan tetapi, dia sendiri lebih senang menggunakan istilah postmodernisme, sebab istilah ini dapat mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran-rasionalitas-identitas-obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan dengan norma-norma Pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terberikan serta koherensi identitas.
Sementara itu postmodernisme dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Therry Eagleton, 1996: vii-viii).
Kritik terhadap posstrukturalisme dan posmodernisme seperti yang diungkapkan MacKenzie adalah konsern poststrukturalisme dalam persoalan fundamental pada akhirnya menjadi sumber kebingungan, pada akhirnya satu-satunya pertanyaan yang menggoyahkan teori politik poststrukturalis sejak awal kemunculannya adalah “Apa yang dapat dikontribusikan oleh teori poststrukturalis terhadap studi politik dalam kehidupan?
Beberapa kalangan menganggap golongan poststrukturalisme tidak pernah dapat memberikan satu solusi yang pasti, mereka seolah mengurai satu masalah dan menghamparkannya dalam lantai dialektika dan wacana tanpa pada akhirnya merangkai dan membuat satu solusi kongkrit dari masalah yang telah dibedahnya. Hal ini menurut MacKenzie bukan karena poststrukturalis tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan ini akan tetapi karena terdapat berbagai kemungkinan jawaban yang berbeda yang kemungkinan dapat muncul bertentangan satu sama lain.
Saya pribadi sangat sepakat dengan berbagai nilai dan ide dasar dalam teori postmodernisme seperti relativitas dan pluralisme serta kesepakatannya untuk menerima emosi dan intuisi sebagai salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan. Posmodernisme adalah suatu dimensi dalam jagad raya kosmis Ilmu politik yang didalamnya dapat ditemukan berbagai aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali bertentangan dengan pemikiran lainnya. Saya percaya pendekatan seperti ini dapat memperbaiki cara pandang dalam melihat sesuatu dan bahkan menemukan berbagai solusi yang relevan terhadap realita sosial saat ini, terutama di masa modern sekarang ketika masyarakat menjadi lebih apatis, konsumtif, antisosial, dan opresif dalam usahanya melakukan homogenisasi dengan menolak keberagaman atau pluralitas. Walaupun pada akhirnya penggunaan bahasa yang ambigu dan multi intrepretatif dalam aliran ini menjadi salah satu kendala dalam memaknai apa yang sebenarnya dikandung dalam teori ini.