Pendahuluan
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora pada tahun 1925. Dia adalah seorang penulis Indonesia yang sangat memuja seorang tokoh sosialis Rusia, Lenin. Menurut hematnya, berkat Lenin-lah kala itu Rusia dapat menjadi sebuah “surga dunia” (Moeljanto, 1995: 70). Akibat kekagumannya yang besar ini, Pram tak segan-segan mempropagandakan Lenin melalui tindakan konkretnya, yakni menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi sayap kiri di Indonesia.
Hal ini pun berdampak pada karya-karya sastra Pram. Karya-karyanya beraliran realisme-sosialis. Dengan kata lain, Pram mempraktikkan sosialisme di bidang kreasi sastra. Politik banyak digunakan dalam karya-karyanya karena politik merupakan realitas sosial bagi sosialis. Sebagai konsekuensinya, Pram terpaksa hidup dalam tahanan selama belasan tahun (3 tahun pada masa kolonial, 1 tahun pada masa orde lama, dan 14 tahun pada masa orde baru).
Salah satu karya sastra Pram yang mengharumkan namanya adalah Bumi Manusia. Novel ini merupakan bagian dari tetralogi yang dikarang oleh Pram selama masa penahanannya di Pulau Buru. Tetralogi tersebut terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sesaat setelah penerbitannya, keempat novel tersebut langsung dilarang beredar oleh pemerintah. Pemerintah menganggap novel-novel karangan Pram itu mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan komunisme. Padahal, tak sedikit pun hal-hal tersebut disebutkan dalam buku-bukunya.
Setelah dilarang peredarannya, Bumi Manusia kembali diterbitkan pada tahun 2005. Saya mengambil novel ini sebagai bahan analisis karena ingin mengungkapkan apa saja yang membuatnya telah menuai kontroversi yang hebat. Saya pun ingin mengupas kritik-kritik sosial dan politik yang terdapat di dalam novel semi-fiksi karya Pramoedya Ananta Toer ini. Adapun tujuan saya menulis makalah ini adalah agar pembaca dapat mengambil hikmah dan intisari di balik cerita dalam novel yang sangat kontroversial ini.
Sinopsis
Minke adalah anak seorang bangsawan Jawa yang sedang menempuh pendidikan di H.B.S., sebuah sekolah terkenal yang mayoritas murid-muridnya adalah orang kulit putih totok dan indo. Sebagai seorang pribumi, prestasi Minke di H.B.S. cukup membanggakan, bahkan menjadi juara umum cabang Surabaya.
Minke mempunyai seorang teman berkulit putih totok bernama Robert Suurhof. Dia mengajak Minke ke rumah temannya yang terletak di Wonokromo. Minke pun diperkenalkan dengan seisi rumah itu—Nyai Ontosoroh, Robert Mellema, dan Arnelis Mellema. Nyai Ontosoroh awalnya adalah gundik Tuan Mellema. Robert dan Arnelis adalah anak-anak mereka. Setelah Tuan Mellema kehilangan wibawanya, Nyai Ontosoroh yang memegang kendali atas semua usahanya.
Sebenarnya Suurhof mengajak Minke ke sana agar temannya itu mendapat perlakuan yang memalukan dari keluarga Mellema. Namun, apa yang terjadi adalah kebalikannya. Tidak hanya mendapat perlakuan yang sangat baik dari Nyai Ontosoroh, Minke pun mendapat perhatian yang sangat khusus dari Arnelis, perempuan yang disukai oleh Suurhof.
Hubungan Minke dengan Nyai Ontosoroh dan Arnelis semakin dekat. Bahkan, Minke dan Arnelis saling jatuh cinta. Cinta Arnelis begitu mendalam sampai-sampai ia sakit hanya karena Minke agak lama tak mengunjunginya di Wonokromo. Hubungan ini menimbulkan skandal dan kontroversi, mulai dari pihak sekolah, teman-teman Minke, sampai Robert Mellema.
Pada suatu pagi, ketika Minke telah memutuskan untuk tinggal di Wonokromo, dia dijemput paksa oleh seorang polisi. Ternyata Minke dibawa ke tempat Bupati B, ayah kandungnya sendiri. Minke dipaksa pulang karena sudah lama tak mengirim kabar dan harus menjadi penerjemah dalam pelantikan ayahnya menjadi bupati. Minke juga disuruh memutuskan hubungan dengan Nyai Ontosoroh dan Arnelis supaya Minke fokus menyelesaikan sekolahnya. Ayahnya ingin Minke menjadi bupati juga kelak. Tapi Minke menolak karena ia hanya ingin hidup bebas, tidak diperintah dan tidak memerintah.
Selama berada di kampung halamannya, Minke tak dapat berhubungan dengan Nyai Ontosoroh dan Arnelis. Ternyata Arnelis sakit keras karena rindu pada Minke. Setelah Arnelis sembuh, Minke menikahinya. Tak lama setelah itu, ada yang mencoba untuk membunuh Minke. Pengejaran terhadap pelakunya membuat Minke dan Darsam menemukan mayat Tuan Mellema yang telah kaku di rumah babah Ah Tjong, tetangga mereka. Tuan Mellema tewas akibat keracunan. Akibatnya, babah Ah Tjong ditahan di penjara.
Masalah mereka tidak berakhir di situ. Anak Tuan Mellema dari istri yang sah menggugat harta warisannya dan meminta hak wali atas Arnelis yang masih di bawah umur. Pengadilan memutuskan Arnelis harus pergi ke Holland dan pernikahannya dengan Minke dianggap tidak sah.
Arnelis jatuh sakit sampai-sampai ia menjadi seperti mayat hidup. Dokter keluarga pun tidak dapat menyembuhkannya lagi. Minke dan Nyai Ontosoroh berjuang supaya Arnelis bisa tetap tinggal di Hindia atau paling tidak mereka bisa ikut mengantar Arnelis ke Holland.
Setelah waktunya tiba, dalam keadaan lemah Arnelis tetap dibawa menuju Holland. Dengan pasrah dan terpaksa, Arnelis mengikuti langkah seorang wanita yang menuntunnya berjalan menuju kereta kuda. Sebelum pergi, Arnelis berkata kepada ibunya, “Aku akan pergi, Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat biarlah berlalu.” Setelah itu, ia berkata kepada Minke, “Mas, kita kan pernah berbahagia bersama? Kenangkan kebahagiaan itu saja ya, Mas, jangan yang lain.”
Akhirnya Nyai Ontosoroh dan Minke pun menang dalam kekalahan.
Bumi Manusia: Kritik Sosial dan Politik
Bumi Manusia merupakan novel semi-fiksi yang termasuk realisme-sosialis. Novel ini dikatakan sebagai novel semi-fiksi karena tokoh utamanya, Minke, merupakan tokoh cerminan pengalaman RM Tirto Adisuryo, seorang tokoh pergerakan pada zaman kolonial yang mendirikan Sarekat Priyayi (organisasi nasional pertama). Lingkungan yang digambarkan pada novel ini adalah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 (Allen, 2004: 24). Pemilihan latar waktu tersebut sangat membantu pembaca untuk lebih memahami dan mendapatkan isi yang terkandung dalam ceritanya.
Selain itu, ada juga cerita dalam buku ini yang diambil dari rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut, yakni saat Nyai Ontosoroh mengikuti pengadilan melawan suaminya (kulit putih). Semua cerita rekaan memang mempunyai kemiripan dalam hidup ini karena bahannya diambil dari pengalaman hidup (Sudjiman, 1988: 12).
Latar sosial yang mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang terdapat dalam novel ini juga sangat membantu pembaca mengikuti jalan cerita novel ini. Bagaimana pengarang berhasil menggambarkan semua itu dengan cukup mendetail telah menunjang tersampaikannya amanat-amanat pengarang kepada pembaca.
Realitas sejarah dan kaitannya dengan realitas-realitas lain harus mampu ditunjukkan oleh karya sastra realisme-sosialis (Kurniawan, 2002: 123). Penggambaran latar sosial yang baik merupakan salah satu cara yang dapat membantu pengarang dalam menunjukkan realitas sejarah dan kaitan-kaitannya dengan realitas lain. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa latar sosial dalam novel ini berperan sangat penting dalam penyampaian pesan pengarang kepada pembaca.
Kekaguman Pram terhadap ibunya menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh wanita kuat dalam novel-novelnya. Ibunya selalu tegar menjalani hidup, bahkan ketika ia sudah hampir habis digerogoti oleh penyakit. Pribadi tak ternilai yang dipunyai oleh ibunya ini adalah api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikit pun. Inilah yang dapat kita lihat melalui karakter Nyai Ontosoroh. Pram menggambarkannya sebagai wanita pribumi yang luar biasa. Minke pun menganggapnya lebih hebat dari wanita-wanita Eropa totok.
Dan inilah rupanya Nyai Ontosoroh yang banyak dibicarakan orang, buah bibir penduduk Wonokromo dan Surabaya, Nyai penguasa Boerderij Buitenzorg. Aku masih terpesona melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu komplex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Apa sekolahnya dulu? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya bebas seperti wanita Eropa? (Toer, 2005: 33-34)
Tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan sebelah mata.
Dalam Bumi Manusia, Pram menggambarkan bagaimana seorang nyai yang dianggap bernilai rendah kesusilaannya dan selalu menjadi bahan pergunjingan banyak orang ternyata mempunyai kualitas diri yang lebih baik dari semua wanita pribumi terpelajar dan terhormat pada saat itu. Bahkan, jika nyai yang satu ini dibandingkan dengan para wanita Eropa totok, ia masih jauh lebih baik.
Tokoh Minke juga merealisasikan keinginan Pram untuk menyamaratakan kedudukan semua manusia tanpa pandang bulu. Minke yang berdarah biru malah berpendapat bahwa kebangsawanan hanyalah warisan masa lalu yang hanya bisa merendahkan orang lain.
Pada masa itu status kebangsawanan seseorang sangatlah penting dan dijunjung tinggi. Tidak heran jika ada banyak bangsawan yang tidak segan-segan memanfaatkan kebangsawanannya untuk kepentingan pribadi. Biasanya, anak seorang bangsawan kelak ketika dewasa secara otomatis akan mendapatkan jabatan penting di daerah tertentu. Minke tidaklah demikian. Ia tidak ingin hidup bergantung pada jabatan dan kebangsawanan orang tuanya.
“Kau punya pergaulan bebas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi bupati kelak.”
“Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin. Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda. Kepriyayian bukan duniaku.” (Toer, 2005: 186 dan 190)
Kita juga dapat melihat bahwa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah ada sejak dahulu. Nepotisme terlihat jelas dalam Bumi Manusia. Minke yang anak seorang bupati sudah digariskan akan menjadi bupati juga oleh ayahnya. Pram juga menggambarkan kondisi pemerintahan kita pada saat itu. Ternyata KKN sudah mengakar kuat pada bangsa kita sejak zaman dahulu.
Pram menggunakan latar Jawa dalam ceritanya karena, sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa, tentunya Pram juga sudah paham betul segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa. Selain itu, segala kegiatan, baik politik maupun perekonomian, pada umumnya berpusat di Jawa. Minke adalah seorang pemuda Jawa yang berpikiran modern dan sangat tidak menyukai kefeodalan priyayi Jawa, apalagi ketika seseorang harus merendahkan diri jika sedang berhadapan dengan orang besar.
Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu begini macam? Mengapa kau sampai hati mewariskan adat semacam ini? (Toer, 2005: 179 dan 181)
Tak hanya harus merendahkan diri, orang-orang yang berstatus lebih rendah biasanya harus menuruti segala keinginan orang-orang yang berstatus lebih tinggi dan membuat mereka senang. Pram mengkritik sikap para pejabat pemerintah dan masyarakat yang pada saat itu menganut prinsip “asal Bapak senang”.
Tidak hanya dalam instansi, dalam sistem kekeluargaan pun mereka harus mau tunduk dan patuh terhadap apa pun yang telah diputuskan oleh orang-orang yang dituakan dalam keluarga itu. Biasanya, mereka menganggapnya sebagai keputusan terbaik. Walaupun demikian, keputusan itu bisa saja dibuat oleh yang dituakan untuk kepentingan pribadinya.
“Jangan sentuh ini! Siapa kasih kau hak membukanya? Tak mengerti kau kiranya, catatan begini sangat pribadi sifatnya? Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar?”
“Dan begitu itu peradaban baru? Menghina? Menghina ambtenar? Kau sendiri bakal jadi ambtenar.”
“Ambtenar? Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi.”
“Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya.” (Toer, 2005: 190-191)
Dari petikan percakapan Minke dengan abangnya di atas, dapat kita simpulkan bahwa orang yang mempunyai posisi atau jabatan tertentu adalah seseorang yang harus diagungkan. Karena posisinya sebagai yang lebih tua dalam keluarga, abang Minke merasa dapat melakukan apa pun yang dia kehendaki terhadap Minke. Namun, Minke berpendapat lain. Menurutnya, ada satu sisi dalam hidup kita yang tidak seharusnya diketahui oleh orang lain, bahkan oleh ibu kita sendiri.
“Dan abang, yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang terlahir dahulu…”
“Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan saya tentang, Bunda, jangankan hanya seorang abang.” (Toer, 2005: 190 dan 192)
Dalam petikan di atas, terlihat betapa Pram ingin berkata bahwa setiap orang mempunyai hak yang harus dihormati oleh orang lain. Itu berlaku bagi siapa saja, tidak memandang status, jabatan, buku, bangsa, maupun jenis kelamin keduanya.
Pada akhir novel ini Nyai Ontosoroh dan Minke harus kehilangan orang yang mereka sayangi karena gagal melawan pengadilan kulit putih. Akan tetapi, mereka telah berusaha keras melawannya. Kita dapat mengambil hikmah bahwa tidak semua yang kita kehendaki dapat terwujud, sekalipun perjuangan kita sudah tak terkira lagi.
Tidak semua kemenangan harus ditandai dengan tercapainya sebuah cita-cita. Sebuah perjuangan tidak hanya dilihat dari hasilnya, tapi juga dari prosesnya. Nyai Ontosoroh dan Minke telah menang dalam kekalahan. Mereka telah mengupayakan semua yang terbaik dari diri mereka walaupun pada akhirnya tujuan mereka tidak tercapai juga.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Toer, 2005: 535)
Kalimat terakhir ini juga merupakan sebuah kritik yang disampaikan oleh Pram. Dia mengkritik orang-orang yang hanya melihat perjuangan dari hasilnya saja, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya.
Kesimpulan
Pada dasarnya, Pram mengangkat ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang tertentu dalam novel ini. Salah satu caranya adalah dengan menggambarkan pelanggaran hak-hak maupun pendiskreditan keberadaan mereka.
Melalui Bumi Manusia, Pram ingin mengingatkan kita bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dan orang lain harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan, suku, bangsa, maupun jenis kelaminnya. Dengan kata lain, semua orang di dunia ini sama dan tidak ada apa pun yang dapat membedakan mereka.
Pram juga ingin menyampaikan bagaimana sebuah perjuangan tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya. Proses perjuangan itu sendiri juga merupakan penentu keberhasilannya. Kemenangan yang diraih dengan kecurangan tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekalahan yang disertai dengan perjuangan terhormat.