Minggu, 15 Mei 2011

Psikologi Sastra


Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi.
Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2004:350).


Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud
Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa bagian, yaitu :
a. Struktur Kepribadian
Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id (aspek biologis), ego (aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1. Id (das Es)
Id merupakan sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor – faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts).
“Yang dimaksud naluri kehidupan oleh Freud adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species). Dengan kata lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan manusia sebagai individu maupun spesies. Sedangkan naluri kematian adalah naluri yang ditujukan kepada penghancuran atau pengrusakan yang telah ada ”(Koswara, 1991:38-39)

Freud berpendapat ( melalui Suryabrata, 1993) bahwa naluri memiliki empat sifat , yakni :
a. Sumber insting, yang menjadi sumber insting adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan.
b. Tujuan insting adalah untuk menghilangkan ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi yang tidak dapat diredakan.
c. Objek insting adalah benda atau hal yang bisa memuaskan kebutuhan.
d. Pendorong insting adalah kekuatan insting itu, yang bergantung pada besar kecilnya kebutuhan.

2. Ego (das Ich)
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34).
Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan keadaan lingkungan yang ada.
“......, menurut Freud, ego dalam perjalanan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari id, melainkan bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri–naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan”(dalam Koswara,1991:34).

3. Superego ( das über Ich)
Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan (melalui Suryabrata, 1993:148). Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri. Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
“Apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (conscience), (...) apa pun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak akan cenderung menjadi ego-ideal anak”(Freud dalam Hall dan Linzey, 1993:67).

Freud berpendapat bahwa fungsi pokok dari superego dapat dilihat dari hubungannya aspek kepribadian yang lain, yaitu :
“1. Merintangi implus–implus id, terutama implus seksual dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat
2. Mendorong superego untuk lebih mengejar hal–hal yang bersifat moralistis daripada yang realistis
3. Mengejar kesempurnaan (Suryabrata, 1993:145).

Mengakhiri uraian instansi kepribadian di atas bisa dipahami bahwa kepribadian adalah bentukan dari tiga instansi yang berbeda fungsi dan operasinya tetapi saling mempengaruhi sehingga membentuk satu totalitas dan tidak bisa dipisahkan.
b. Dinamika Kepribadian
Freud mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya pendorong untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan energi. Energi ada dua yaitu energi fisik dan energi psikis. Energi fisik adalah energi yang dipakai untuk kekuatan fisik, sedangkan energi psikis adalah energi yang digunakan untuk kekuatan psikologis.
Dalam konsep Freud, naluri adalah reprensentasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh (dalam Koswara, 1991:36).
Dalam dinamika kepribadian, Freud menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan tenaga penekanan (anti–cathexis). Kateksis adalah pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kataeksis adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id. Pengerahan dan pengalihan energi psikis dari satu objek ke objek lain ini merupakan gambaran dari dinamika kepribadian dalam teori Freud (bandingkan Koswara, 1991:37).
Lingkungan tempat orang hidup kadang kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego, maka ego diliputi kecemasan. Kecemasan adalah suatu konsep terpenting dalam psikoanalisa dan juga memainkan peranan yang penting, baik dalam perkembangan kepribadian mau pun dinamika kepribadian (bandingkan Koswara, 1991:39). Freud membedakan kecemasan menjadi tiga, yaitu kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral atau perasaan bersalah (Hall & Lindzey, 1993:81). Fungsi kecemasan adalah memperingatkan individu tentang adanya bahaya. Ketika timbul kecemasan, maka ia akan memotivasi individu untuk melakukan sesuatu.
c. Perkembangan Kepribadian
Kepribadian selalu berubah dan berkembang, perkembangan kepribadian adalah suatu proses untuk mengatasi ketegangan jiwa. Dan perkembangan kepribadian memilki empat sumber ketegangan pokok, yaitu : proses pertumbuhan fisiologis, frustasi, konflik, dan ancaman (Hall & Lindzey, 2000:82).
Menurt Freud cara–cara untuk menghilangkan ketegangan, antara lain :
1. Identifikasi, yaitu mengambil alih atau menyatukan sifat – sifat suatu objek luar, biasanya yang dimiliki orang lain, ke dalam kepribadian seseorang. Seseorang yeng berhasil menyatukan dirinya dengan orang lain akan menyamai orang itu. Kecenderungan meniru atau mencontoh orang lain merupakan suatu contoh yang penting dalam membentuk kepribadian (Hall, 1959:101).
2. Pemindahan Objek
Apabila objek asli yang dipilih insting tidak dapat dicapai karena adanya rintangan (anti kateksis), maka suatu kateksis (chatexis) baru akan terbentuk. Bila kateksis baru ini juga tidak dapat digunakan, kateksis lain akan terbentuk lagi dan begitu seterusnya sampai ada objek baru yang dapat mereduksikan tegangan. Selama proses pemindahan ini, sumber dan tujuan insting tidak berubah, hanya objeknya saja yang berubah (Suryabrata, 2003: 143).


3. Mekanisme Pertahanan
Cara yang digunakan individu dalam mencegah kemunculan terbuka dari dorongan–dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan dari ketegangan bisa dikurangi atau diredakan (bandingkan Koswara, 1991:460).
Beberapa mekanisme pertahanan ego menurut Sigmund Freud (Hall & Lindzey, 2000:87-89):
a. Represi, yaitu menekan dorongan atau keinginan penyebab kecemasan ke dalam alam tak sadar. Keinginan yang direpresi bisa muncul ke luar melalui mimpi atau salah ucap dalam bentuknya yang disimbolisasi.
b. Proyeksi, yaitu pengalihan dorongan, tingkah laku, atau sikap yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Prasangka sosial atau pengkambinghitaman individu atau kelompok lain (biasanya minoritas) juga termasuk dalam bentuk proyeksi.
c. Reaksi formasi, yaitu mengganti perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan perasaan yang berlawanan dalam alam sadar, seperti perasaan benci jadi cinta.
d. Sublimasi, yaitu mengubah dan menyesuaikan dorongan primitiv id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk tingkah laku yang bisa diterima, bahkan dihargai masyarakat.
e. Displacement, yaitu pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibanding dengan objek atau individu semula.
f. Rasionalisasi, yaitu upaya individu memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego, melalui alasan tertentu yang seakan–akan masuk akal sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu tersebut.
4. Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan menurut Freud terbagi menjadi tiga tahap, yaitu :
a. Tahap Infantil
Freud berpendapat bahwa tahap infantil merupakan tahap yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian. Ia berasumsi bahwa bayi-bayi memiliki kehidupan seksual dan mengalami periode perkembangan seksual pragenital pada usia empat atau lima tahun pertama sesudah kelahiran. Seksualitas pada anak-anak berbeda dengan seksualitas pada masa dewasa. Seksualitas yang dialami anak-anak tidak memiliki kemampuan reproduksi, hanya sekadar autoerotik saja (Semiun, 2006: 102).
Tahap infantil dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Tahap oral
Tahap ini adalah tahap pertama perkembangan kepribadian anak karena menurut Freud, mulut adalah organ pertama yang memberikan kenikmatan pada bayi.
Pada tahap ini ditandai dengan perilaku menghisap dan menggigit karena daerah kenikmatan terdapat pada mulut. Tahap ini berlangsung saat bayi masih tergantung pada ibunya, perasaan tergantung ini akan terus berada pada diri seseorang dalam hidupnya (bandingkan Hall & Lindzey, 2000:91).
(...)perasaan tergantung ini cenderung menetap dalam hidup, selepas dari perkembangan ego lebih lanjut dan siap muncul ke permukaan manakala orang merasa cemas dan tidak aman (dalam Hall & Lindzey, 2000:91).

2) Tahap anal
Ciri periode ini adalah kepuasan yang diperoleh bayi melalui tingkah laku agresif dan eliminasi (Freud melalui Semiun, 2006: 103).
Tahap anal terbagi menjadi dua bagian, yaitu periode anal awal dan periode anal akhir. Pada periode anal awal, anak memperoleh kepuasan dengan menghilangkan benda-benda. Pada periode ini anak lebih besifat destruktif dan agresif karena anak dibuat frustasi dengan toilet training. Pada periode anal akhir, anak kadang mencurahkan perhatian pada fesesnya, yaitu perhatian yang disebabkan oleh kenikmatan defekasi. Kadang ia akan menyajikan fesesnya kepada orangtua sebagai hadiah yang berharga (Freud melalui Semiun, 2006: 104).
3) Tahap phalik
Tahap ini dialami pada tahun keempat atau kelima, yaitu suatu tahap ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin . Dalam tahap ini, daerah genital menjadi daerah erogen yang utama. Anak sering bermain dengan alat kelaminnya, bahkan sampai mengalami masturbasi. Namun yang memainkan peran penting dalam perkembangan kepribadian anak pada tahap ini adalah pengalaman anak dengan Oedipus kompleks.
b. Tahap laten
Freud berpendapat bahwa dari tahun ke-4 atau ke-5 sampai pubertas, anak laki-laki dan perempuan mengalami suatu periode saat perkembangan psikoseksual terhenti (Semiun, 2006: 111). Pada tahap ini anak masih memiliki insting seksual, tetapi tujuannya telah dicegah. Hal ini diperkuat dengan perasaan malu, rasa bersalah, dan moralitas dalam diri anak sendiri (Semiun, 2006: 112).
c. Tahap genital
Masa puber membangkitkan kembali tujuan seksual pada pubertas kehidupan seksual. Anak memasuki kehidupan kedua yang berbeda dari tahap infantil (Freud melalui Semiun, 2006: 112).
Pada tahap ini ditandai dengan mulai adanya ketertarikan dengan lawan jenis dan mulai membentuk dorongan seksual secara nyata