Masalah-masalah hidup yang ditulis para sastrawan sungguh berbeda dengan para wartawan. Media sastra yang dimiliki sastrawan, mampu mengabadikan kisah-kisah kehidupan, tetap aktual sepanjang zaman. Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.
Katarsis
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun, tak jauh beda. Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra, dapat mencapai puncak imanen, karena dia telah melalui proses katarsis.
Diperbarui
Melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan “bermain” dengan bahasanya. Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju.
Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, harus terus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad 21 berbasis inovasi, sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya “pohon” kreativitas dan otentisitas.
Lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini, adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beran jak maju tatkala elemen ekonomi dan industri mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.
Pemanusiaan Manusia
Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan, justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.
Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya, seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara itu tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.
Humanistik
Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk itu, pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.
Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra, merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.
Katarsis
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun, tak jauh beda. Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra, dapat mencapai puncak imanen, karena dia telah melalui proses katarsis.
Diperbarui
Melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan “bermain” dengan bahasanya. Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju.
Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, harus terus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad 21 berbasis inovasi, sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya “pohon” kreativitas dan otentisitas.
Lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini, adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beran jak maju tatkala elemen ekonomi dan industri mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.
Pemanusiaan Manusia
Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan, justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.
Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya, seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara itu tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.
Humanistik
Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk itu, pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.
Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra, merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.