NEOLIBERALISME ?
Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki "Thatcherism" di Inggeris dan "Reaganomics" di Amerika. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program "The Third Way" yang juga pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program "reformasi ekonomi" yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.
Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai "liberalisme ekonomi" waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama "neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.
Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.
Bila usaha-usaha ekonomi di"bebas"kan dari kontrol yang "semena-mena" itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri "berkarat" yang tak berdayaguna, dan "monopoli tenaga kerja" yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara "dinamis". Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.
Pandangan "neoliberal" semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori "globalisasi". Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi "terkepung" seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja "fleksibel", serikat buruh lemah, regulasi minimal.
Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga "globalisasi" dan "neoliberalisme" merupakan dua konsep yang berkaitan erat.
Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era "produksi tanpa bobot" (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang "kadaluwarsa", dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat "sepertiga": di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi -- sedangkan di sisi lain "proletariat bawah" paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang "fleksibel" dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.
Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario "globalisasi" ekstrim.
Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa "globalisasi", kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.
Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan "beruntung" dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.
Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai "liberalisme ekonomi" waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama "neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.
Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.
Bila usaha-usaha ekonomi di"bebas"kan dari kontrol yang "semena-mena" itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri "berkarat" yang tak berdayaguna, dan "monopoli tenaga kerja" yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara "dinamis". Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.
Pandangan "neoliberal" semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori "globalisasi". Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi "terkepung" seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja "fleksibel", serikat buruh lemah, regulasi minimal.
Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga "globalisasi" dan "neoliberalisme" merupakan dua konsep yang berkaitan erat.
Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era "produksi tanpa bobot" (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang "kadaluwarsa", dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat "sepertiga": di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi -- sedangkan di sisi lain "proletariat bawah" paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang "fleksibel" dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.
Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario "globalisasi" ekstrim.
Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa "globalisasi", kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.
Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan "beruntung" dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.
KEBIJAKAN SOSIAL NEOLIBERALISME
Ukuran-ukuran sosial nyaris tak bermakna bagi neoliberalisme. Hal itu lebih mirip sejenis diskriminasi atas siapapun yang tak mendatangkan keuntungan baginya. Hanya ada satu "ukuran sosial" yang diterima neoliberalisme: penciptaan dan preservasi atas persamaan kesempatan dalam arti sebuah kesamaan perlakuan hukum bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam teori neoliberal perlakuan yang sama itu mendorong ke arah keadilan sosial, tapi bagi para neoliberalis keadilan sosial berarti persamaan kesempatan. Inilah alasannya mengapa para neoliberalis tidak pernah mempertimbangkan akibat-akibat sosial dari kebijakan dan tindakan yang diambilnya. Dalam hal inilah para neoliberalis sangat berbeda daripada para liberalis yang lebih lunak, seperti John Rawls. Konsepnya tentang keadilan dan kesejahteraan sosial masih sangat penting hingga kini. Satu posisi seperti ini tidak bisa diterima bagi seorang neoliberalis dalam keadaan macam apapun. Friedman bahkan berkata bahwa realisasi gagasan-gagasan etis dan sosial yang ideal hanya dalam tanggung jawab individu tersebut. "Sesungguhnya, satu tujuan utma dari liberalisme adalah meninggalkan masalah etis untuk menjadi masalah yang harus dipecahkan oleh masing-masing individu." Ia membebaskan negara dari setiap bentuk kewajiban sosial dan tanggung jawab etis. Karenanya, kebijakan sosial atau kesejahteraan sosial tidaklah diperlukan.
PERAN NEGARA TERHADAP NEOLIBERALISME
Dalam kacamata ekonomi, negara adalah sebuah masalah, bukan solusi. Tak ada kemungkinan untuk membenarkan setiap tindakan negara, begitulah kurang lebih gagasan pokok dari teori neoliberal. Itu artinya, tak ada jaminan bagi persamaan kesempatan, perlindungan atas individu, pencegahan diskriminasi dan jaminan atas keniscayaan kondisi-kondisi yang mengerangkai pasar bebas.
Teori Friedman, diskriminasi hanyalah sebuah gangguan terhadap privasi individu dan persamaan kesempatan, misalnya pemberlakuan pajak progresif. Kendala perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, juga dianggap sebagai suatu intervensi yang tak bisa dibenarkan. Karenanya, tujuan utama teorinya adalah untuk memangkas pajak-pajak dan sebanyak mungkin kewajiban-kewajiban lain terhadap negara. Satu-satunya intervensi negara yang dalam dibenarkan dalam urusan ekonomi adalah pencegahan monopoli, sebab monopoli mengancam pasar bebas.
Di titik itulah tergambar kesenjangan yang lebar antara teori dan praktik. Berbeda dengan teorinya, "Bocah-bocah Chicago" menerima rezim otoriter Pinochet dan junta militer. Namun kebijakannya tidak tampak kontradiktif. Sebuah negara yang kuat adalah sebuah keniscyaan untuk menjalankan kebijakan yang tak populer namun tak terhindarkan selagi ekonomi berubah secara radikal. Hal ini membenarkan hipotesis bahwa bentuk-bentuk neoliberalisme hanyalah bagian dari ekonomi, dan bukan masyarakat. Fungsi negara dalam pandangan neoliberal mirip dengan teori Robert Nozick tentang negara minimal—namun sebatas teoritik. Dalam praktiknya, suatu pemerintahan hanya dianggap penting untuk meneguhkan reformasi ekonomi yang melicinkan jalan bagi pasar bebas.
Bagi "Bocah-bocah Chicago", kediktaktoran Chili adalah bagian penting dalam kerja mereka. De Castro, salah satu ekonomi anggota kelompok itu menjelaskan dalam "El Mercurio" edisi 15 Februari 1976 yang menunjukkan aliansi yang membentang luas antara para ekonom dan junta militer
Perusahan milik negara adalah sebuah intervensi negara ke dalam ekonomi yang tidak dapat diterima. Karenanya, salah satu tujuan penting lainnya dari para neoliberalis adalah privatisasi seluruh perusahan publik dan perusahaan milik negara. Misalnya, di Chili setiap perusahaan yang dinasionalisasi telah dijual kepada pengusaha Chili atau investor asing, atau dikembalikan kemabali perusahaan pemilik lamanya. Dalam waktu singkat sejumlah besar perusahaan pertanian juga diprivatisasi. Masalahnya, tanah tidak hanya dibagikan kepada para tuan-tuan tanah besar tapi juga petani kecil yang mustahil bisa bertahan kecuali ditunjang subsidi-subsidi negara. Hal ini berakibat pada sejumlah besar kebangkrutan. Reaksi-reaksi pemerintah pada kelumpuhan ekonomi ini dengan sangat jelas menunjukkan "Darwinisme ekonomi" dari pemerintah dan para neoliberalis. Ujar Jendral Merinos, "Biarkan jatuh mereka yang harus jatuh. Semisal rimbanya kehidupan ekonomi. Satu rimba yang dihuni binatang-binatang buas, di mana para penghuninya mampu membunuh penghuni lain yang ada di sebelahnya. Itulah realitas."
Teori Friedman, diskriminasi hanyalah sebuah gangguan terhadap privasi individu dan persamaan kesempatan, misalnya pemberlakuan pajak progresif. Kendala perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, juga dianggap sebagai suatu intervensi yang tak bisa dibenarkan. Karenanya, tujuan utama teorinya adalah untuk memangkas pajak-pajak dan sebanyak mungkin kewajiban-kewajiban lain terhadap negara. Satu-satunya intervensi negara yang dalam dibenarkan dalam urusan ekonomi adalah pencegahan monopoli, sebab monopoli mengancam pasar bebas.
Di titik itulah tergambar kesenjangan yang lebar antara teori dan praktik. Berbeda dengan teorinya, "Bocah-bocah Chicago" menerima rezim otoriter Pinochet dan junta militer. Namun kebijakannya tidak tampak kontradiktif. Sebuah negara yang kuat adalah sebuah keniscyaan untuk menjalankan kebijakan yang tak populer namun tak terhindarkan selagi ekonomi berubah secara radikal. Hal ini membenarkan hipotesis bahwa bentuk-bentuk neoliberalisme hanyalah bagian dari ekonomi, dan bukan masyarakat. Fungsi negara dalam pandangan neoliberal mirip dengan teori Robert Nozick tentang negara minimal—namun sebatas teoritik. Dalam praktiknya, suatu pemerintahan hanya dianggap penting untuk meneguhkan reformasi ekonomi yang melicinkan jalan bagi pasar bebas.
Bagi "Bocah-bocah Chicago", kediktaktoran Chili adalah bagian penting dalam kerja mereka. De Castro, salah satu ekonomi anggota kelompok itu menjelaskan dalam "El Mercurio" edisi 15 Februari 1976 yang menunjukkan aliansi yang membentang luas antara para ekonom dan junta militer
Perusahan milik negara adalah sebuah intervensi negara ke dalam ekonomi yang tidak dapat diterima. Karenanya, salah satu tujuan penting lainnya dari para neoliberalis adalah privatisasi seluruh perusahan publik dan perusahaan milik negara. Misalnya, di Chili setiap perusahaan yang dinasionalisasi telah dijual kepada pengusaha Chili atau investor asing, atau dikembalikan kemabali perusahaan pemilik lamanya. Dalam waktu singkat sejumlah besar perusahaan pertanian juga diprivatisasi. Masalahnya, tanah tidak hanya dibagikan kepada para tuan-tuan tanah besar tapi juga petani kecil yang mustahil bisa bertahan kecuali ditunjang subsidi-subsidi negara. Hal ini berakibat pada sejumlah besar kebangkrutan. Reaksi-reaksi pemerintah pada kelumpuhan ekonomi ini dengan sangat jelas menunjukkan "Darwinisme ekonomi" dari pemerintah dan para neoliberalis. Ujar Jendral Merinos, "Biarkan jatuh mereka yang harus jatuh. Semisal rimbanya kehidupan ekonomi. Satu rimba yang dihuni binatang-binatang buas, di mana para penghuninya mampu membunuh penghuni lain yang ada di sebelahnya. Itulah realitas."
MANUSIA MENURUT NEOLIBERALISME
Neoliberalisme punya pandangan yang pesimistik tentang sifat manusia. Asumsi dasarnya, setiap orang akan selalu berusaha menyenangkan dirinya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang memegang jabatan-jabatan publik. Karenanya, para neoliberalis menganggap meningkatnya korupsi adalah hal yang otomatis. Hanya ada satu jalan dalam pandangan mereka untuk mencegah fenomena serupa itu. Sektor publik harus dipangkas sejauh mungkin untuk menciptakan pasar bebas. Bagi para neoliberalis, manusia yang sempurna adalah yang hanya memiliki kekuatan dan alternatif. Ia dibatasi oleh kondisi lingkungan alam di sekitarnya dan bukan oleh manusia lain. Dalam situasi seperti itulah ia bisa bertindak merdeka sepenuhnya.
APAKAH NEOLIBERALISME ?
Neoliberalisme adalah sebuah teori ekonomi yang menekankan pada deregulasi dan pengurangan peran negara. Rezim-rezim politik akan dipangkas habis pengaruhnya, sejauh negara memuaskan hasrat-hasrat para ekonom dan pelaku-pelaku ekonomi besarnya. Semisal di Chili, sebuah negara otoriter yang sering dirujuk sebagai contoh kasus. Reformasi-reformasi itu dirancang agar pasar bebas bisa mengatur dirinya sendiri, dalam arti menciptakan masyarakat atau keadilan dalam kacamata neoliberalisme. Hal itu membenarkan setiap tingginya biaya sosial yang seringkali tak terhindarkan dalam reformasi dan perubahan jangka panjang.
Neoliberalisme bukanlah bagian dari ilmu-ilmu sosial, tapi hasil praktik ekonomi. Karenanyalah ada banyak pertanyaan yang muncul dari kalangan ilmuwan sosial yang tidak dianggap penting oleh para ekonom. Terlebih lagi, tak ada satu teoritisi pun yang mengklaim dirinya sebagai seorang neoliberalis. Kata "neoliberalisme" biasanya dipakai oleh para kritikus untuk menjuluki kebijakan dan praktik ekonomi tertentu.
Neoliberalisme bukanlah bagian dari ilmu-ilmu sosial, tapi hasil praktik ekonomi. Karenanyalah ada banyak pertanyaan yang muncul dari kalangan ilmuwan sosial yang tidak dianggap penting oleh para ekonom. Terlebih lagi, tak ada satu teoritisi pun yang mengklaim dirinya sebagai seorang neoliberalis. Kata "neoliberalisme" biasanya dipakai oleh para kritikus untuk menjuluki kebijakan dan praktik ekonomi tertentu.