Layak kah jika kita berkata " bahwa SBY telah melindungi tindak korupsi (kasus Nazarudin dll), bukanya memerangi tindakan korupsi, seperti halnya yang selalu dia ngandang-ngandangkan di depan publik"
Yang terpenting dari figur seorang presiden adalah soal kepemimpinan. Kepemiminan dalam arti mengelola negara dengan tangkas, tegas dan sigap. Itu artinya seorang presiden tidak hanya pandai dalam melontarkan wacana (kebijakan), tapi juga selaras dalam hal eksekusinya (praktik). Jika presiden mengatakan akan memerangi korupsi, maka ia harus mampu melakukannya. Tipe kepemimpinan seperti ini telah menjadi harga mati dari seorang presiden yang diharapkan oleh publik.
Pertanyannya adalah bagaimana dengan tipe kepemimpinan SBY. Apakah SBY telah menunjukkan karakter sebagai strong leader atau justru sebaliknya. Jika merujuk pada kasus Nazarudin, SBY nampak terlihat begitu lembek. Sikap SBY yang enggan untuk memerintahkan aparat hukum ataupun petinggi Partai Demokrat agar melakukan penjemputan paksa terhadap Nazaruddin di Singapura menunjukkan lemahnya kepemimpinan SBY. Akibatnya publik menduga, kalau Nazarudin itu memegang kunci yang dapat membuka pintu rahasia keuangan (Korupsi) "Petinggi dan Partai Demokrat”.
Karena kasus Nazarudin, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 1-7 Juni 2011, publik mempersepsikan Partai Demokrat secara negatif. Dan pada periode yang sama pula (Juni 2011), publik pun juga mempersepsikan lemahnya kepemimpinan SBY karena ketidakpuasan terhadap aneka kasus yang gagal di selesaikannya.
Ketidakpuasan Publik
Untuk kali pertama sejak tahun 2009, tingkat kepuasan pemilih atas kinerja Presiden SBY turun di bawah 50%. Bila dibandingkan dengan Survei LSI pada periode januari 2011, tingkat kepuasan atas kinerja SBY di bulan Juni 2011 turun 9.5%, dari 56.7% (Januari 2011) menjadi 47.2% (Juni 2011).
Demikianlah salah satu temuan survei yang dilakukan oleh LSI pada awal Juni 2011 (Pengumpulan data dilakukan pada 1-7 Juni 2011). Sampel diambil secara acak dengan Jumlah responden sebanyak 1200, mewakili 33 provinsi, berdasarkan standard multi-stage random sampling. Wawancara dilakukan dengan tatap muka, sehingga mencakup seluruh populasi dan margin of error sebesar plus minus 2.9%.
Merosotnya tingkat kepuasan publik atas SBY dapat dilihat dari aneka segmen. Bila dilihat dari distribusi pemilih di tingkat desa dan kota, menunjukkan bahwa kepuasan pemilih atas kinerja SBY di kota sebesar 38.9%, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kepuasan publik di desa sebesar 52.5%. Begitupula dengan kepuasan pemilih pada segmen pendidikan menunjukkan kepuasan publik yang berpendidikan tinggi jauh lebih kecil (39.5%) bila dibandingkan kepuasan publik setingkat SLTP ke bawah (di atas 50%). Itu berarti, pemilih di kota dibandingkan di desa dan yang berpendidikan tinggi dibandingkan yang berpendidikan SLTP ke bawah, memang lebih punya akses ke informasi, dan lebih kritis.
Survei LSI juga menunjukkan terjadinya peningkatan ketidakpuasan publik terhadap dinamika keadaan nasional jika dibandikan antara bulan Januari 2011 dan Juni 2011. Dari aspek ekonomi, ketidakpuasan publik meningkat dari 32.4% (Januari 2011) ke 35.7% (Juni 2011). Aspek politik juga sama dari 24.4% (Januari 2011) ke 33.9% (Juni 2011). Begitupula dengan aspek penegakan hukum, dari 31.2% (Januari 2011) ke 33.1% (Juni 2011). Dan dalam aspek keamanan, dari 11.4% (Januari 2011) ke 14.9% (Juni 2011).
Meningkatnya ketidakpuasan publik di atas merupakan protes terhadap lemahnya kepemimpinan SBY dalam menangani persoalan-persoalan bangsa.
Analisis
Dari hasil survei di atas, berdasarkan depth interview yang dikembangkan, setidaknya terdapat empat persoalan penting yang dapat dianalisis. Pertama. Banyak kasus yang tak tuntas selama era kepemimpinan SBY. Komunitas Hak Asasi Manusia memiliki kasus pembunuhan Munir; Komunitas politik memiliki kasus Bail-Out Bank Century; Komunitas pro keberagaman agama dan pluralisme memiliki kasus kekerasan atas Ahmadiyah; dan Komunitas anti korupsi memiliki kasus Nazarudin. Dari keempat kasus tersebut, tidak satupun kasus yang berhasil diselesaikan oleh SBY, meskipun telah berjanji akan menuntaskannya.
Kedua, SBY dipandang reaktif dan terlalu sering "curhat” untuk kasus yang menurut publik sepele. Sebagai contoh, SBY dinilai publik terlalu reaktif dalam merespon pesan pendek SMS yang memojokkan dirinya. Publik juga kecewa atas berbagai "curhat” yang dilontarkan oleh SBY, seperti curhat gaji Presiden SBY yang tidak naik selama 7 tahun dan curhat soal dirinya yang direpresentasikan sebagai Kerbau dalam sebuah aksi demo. Padahal idealnya, publik lah yang seharusnya menyampaikan "curhat” kepada presiden.
Ketiga, SBY tidak memiliki operator politik yang kuat. Dari 4 operator presiden (Wakil presiden, Partai Demokrat, Kabinet, dan Setgab Partai), tidak satupun yang mampu membantu presiden secara optimal.
Wakil Presiden Boediono bukanlah tipe orang yang berani mengambil inisiatif dalam hal kebijakan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang dipandang sebagai wakil Presiden dengan tipe pendobrak, lincah dalam mengambil peran untuk membantu presiden; Menteri pun tidak mampu melakukan kerjanya secara baik, akibatnya adalah Presiden SBY dipandang gagal dalam mengarahkan para pembantunya; Partai Demokrat juga tidak memiliki kekuatan. Itu dikarenakan ketua umum Partai Demokrat tidak memiliki kewenangan sebesar ketua umum partai-partai lain; Setgab koalisi partai pun sama, tidak solid dan padu dalam mengoperasikan kebijakan SBY. Karena masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Keempat, SBY dinilai tidak berdaya dalam menangani kasus Nazarudin (mantan bendahara umum dan anggota DPR dari partainya sendiri). Terus dibiarkannya kasus Nazarudin bergulir tanda adanya penyelesaian hukum, publik akan menilai SBY telah keluar dari jalur perjuangannya sebagai presiden yang berani mengatakan tidak pada korupsi.
Untuk diketahui, analisa LSI atas menurunya kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY , telah dilakukan sebelum isu pancung atas Ruyati di Arab Saudi menggema dalam pemberitaan media massa dan pembicaraan publik. Jika survei nasional dilakukan setelah kasus pancung Ruyati, tingkat kepuasan publik atas kepemimpinan SBY potensial lebih turun lagi, karena isu penderitaan buruh, memiliki magnet yang dapat menarik perhatian publik.