Politik Pencitraan
Menurut Schuller inti politik sukses adalah membangun kepercayaan publik. Kandidat perlu dikenal dulu baru mereka percaya. Pencitraan tokoh merupakan pintu bagi masyarakat untuk memilih kandidat di pemilihan lokal.Pencitraan merupakan gambaran yang dimiliki oleh orang banyak tentang diri, pribadi, atau organisasi atau produk.Political image yang diusung oleh tim sukses adalah membangun image kepada masyarakat. Jargon dapat dimunculkan ke dalam spanduk-spanduk dan beberapa baliho besar. Politik pencitraan dapat dilihat pada massa akan berlangsungnya pemilu, Meskipun kampanye politik belum dilangsungkan, akan tetapi baliho besar yang mepublikasikan para kandidat sudah sering ditemukan di jalan perkotaan.
Politik pencitraan yang didesain oleh tim suksesnya ini juga secara internal didukung oleh gaya komunikasi para kandidat. Menurut Robert Norton kita berkomunikasi pada dua level yakni penyampaian informasi dan gaya dalam menyampaikan pesan. Komentar yang diberikan baik secara serius maupun bercanda akan diinterpretasikan penerima menjadi gaya berkomunikasi pembicara. Gaya pesan ini akan terjadi berulang-ulang. Dari gaya berkomunikasi inilah orang akan menilai bagimana tipe orang tersebu, dimana disengaja dilakukan untuk menjalankan politik pencitraan di masyarakat.
Politik Pencitraan SBY
Sejak awal, kelebihan Susilo Bambang Yudhoyono terletak pada pencitraan. Ia mengelola sindiran Taufik Kiemas di penghujung pemerintahan Presiden Megawati, sebagai kekuatan. Ia menjadi sosok teraniaya, hingga banyak rakyat menaruh simpati kepadanya. Hasilnya, ia sukses saat berlaga pada pemilihan presiden, yang baru pertama kali diadakan di Indonesia. Dengan menggandeng Boediono, terbangun dua citra. Di satu sisi SBY melibatkan ahli ekonomi yang mumpuni, pada sisi lain mengurangi tarik-menarik kepentingan politik, seperti ketika Jusuf Kalla menjadi representasi Partai Golkar di istana.
Citra sangat penting. Bahkan, sejak awal pemerintahannya, ia mempekerjakan konsultan komunikasi politik, juga dua fotografer. Ia tahu, foto punya kekuatan untuk bertutur lebih dari seribu kata, juga (mungkin) bahasa. Moderen tampaknya, dan memang begitulah yang seharusnya. Sebagai orang yang menyukai fotografi, pasti senang ketika ada dua wartawan foto ditarik ke istana untuk membuat dokumentasi untuknya. Para pewarta foto, termasuk pihak yang diuntungkan, sebab dua teman fotografer yang bekerja untuknya, bisa turut mengatur posisi SBY pada sebuah acara, sehingga dapat menghasilkan rekaman yang bagus, karena angle bisa di-setting sedemikian rupa. Foto-foto tak biasa SBY –dalam arti pada momen-momen privat atau sangat khusus, pun bisa tersiar di media massa karena peran dua fotografer istana, yang rajin mengirim ke redaksi media massa. Karena menyangkut citra, sudah semestinya melalui proses seleksi sebelumnya. Sebuah tindakan yang sah-sah saja sebenarnya.
Kepedulian akan pentingnya citra, bahkan bisa kita simak melalui iklan-iklan SBY di televisi menjelang pemilu tahun lalu. Ia tak sungkan mendompleng popularitas iklan Indo Mie, dengan mengganti syair lagu tema iklan Indo Mie Seleraku dengan SBY Presidenku. Alhasil, setiap mendengar iklan mie instan itu, kita juga teringat SBY (meski saya berpendapat sebaliknya, setiap lihat iklan SBY itu, saya justru ingat apa yang harus saya lakukan saat kelaparan pada dini hari).Tentu, para pemilih SBY tak bisa disebut sebagai korban iklan. Dan sebaliknya, kita tak bisa menganggap SBY sebagai presiden instan. Dia bergelar doktor, karena itu ia orang pintar (meski belum terbukti sebagai peminum jamu Tolak Angin). Sebagai orang pintar, SBY sangat piawai berhitung untung-rugi penggunaan jingle iklan itu untuk kepentingan politiknya. Dalam iklan, dikenal istilah awareness dan asosiasi. Setiap mendengar iklan Indo Mie, asosisasi orang bisa tertuju ke sosok SBY. Dan itu terjadi lantaran orang sudah aware terhadap sosoknya: yang tampak smart, kalem, dan berwibawa. Itulah citra yang diingininya.
Bahkan tidak hanya melalui foto dan iklan namun, banyak sudah capaian dari kebijakan yang diterapkannya. Pembentukan KPK, misalnya, berhasil mendongkrak citra dirinya menjadi sosok antikorupsi. Ketika besannya, Aulia Pohan, pun digelandang para pengadil, juga kian mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang adil, tak pilih kasih, dan terhindar dari kesan tebang pilih. Ini memang sebuah kegilaan dan sangat ironis, ketika wong cilik (rakyat) dalam belenggu keterpurukan, politik pencitraan sangat marak di bangsa ini ,dimana di gunakan pemimpin untuk meraih suara dalam pemilu. Politik pencitraan pemimpin adalah ciri khas negara-negara terbelakang, bagi negera maju dan modern yang diperlukan bukanlah pencitraan, tapi sebuah tindakan dan realitas kehidupan.