Minggu, 02 Januari 2011

Perkembangan Bahasa dan Politik


ILMU BAHASA DALAM POLITIK

Studi komunikasi politik, ditunjukkan oleh adanya tradisi yang lain selain yang ditunjukkan oleh kampanye dan opini publik. Rute alternatif yang diambil ialah mempelajari bahasa dan retorika, yang telah dikonsentrasikan kepada penggunaan simbol politik, dan pada teks dan dokumen politik, lebih ditekankan disini daripada efek-efek dari pesan tersebut (Edelman 1977). Salah satu rute yang diambil adalah pengkajian yang disandarkan kepada studi propaganda politik yang terkait dengan manipulasi bahasa sekaligus orangnya. Dalam novelnya berjudul Animal Farm George Orwell telah menunjukkan refleksi imajinatif sejak awal mengenai bagaimana jika bahasa disalahgunakan dan diselewengkan untuk memutarbalikkan kebenaran. Semua gerakan politik dan ideologi telah mencari, entah sadar atau tidak, untuk mewujudkan kata-kata dan simbol yang sesuai dengan tujuan mereka. Sebagai seorang pelajar bahasa politik bisa disimpulkan bahwa “politik itu sebagian besarnya hanyalah permainan kata-kata” (Graber 1981:195).

Graber (1976) telah menemukan paling tidak ada lima fungsi bahasa politik. Yang pertama adalah ‘informasional’. Yaitu pemberian fakta dan pemunculan konotasi dengan menggunakan kata-kata indah seperti ‘negeri yang makmur’ atau ‘bapak pendiri bangsa’. Kata-kata dan frasa dalam dunia politik bisa membawa inferensi dan makna simbolik yang membantu pencapaian tujuan komunikator. Yang kedua adalah ‘agenda-setting’, sebuah proses dimana komunikator mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan isu yang berkembang. Yang ketiga adalah ‘interpretasi dan penghubungan’, yang mengacu pada konstruksi dan penstrukturan pola makna dan asosiasi yang lebih luas. Yang keempat dan yang kelima adalah ‘proyeksi masa lalu dan masa depan’ (tradisi dan kontinuitas) dan ‘stimulasi tindakan’ ( fungsi ‘mobilisasi’ dan ‘ pengaktifan’ bahasa).
TEORI KRITIS
Studi bahasa politik juga menjadi persoalan sentral dalam tradisi lain dalam riset komunikasi politik, yang ditunjukkan oleh teori dan riset kritis atau Neo-Marxis. Versi teori kritis-sayap kiri atas massa masyarakat umum dilihat dalam konteks bahwa instrumen media massa secara umum merupakan ‘represi yang toleran’, menyebarkan konformisme atau penyesuaian diri, konsumeris ideologi, budaya dan kesadaran, yang melemaskan atau mencekik pertumbuhan oposisi politik yang terorganisir khususnya diantara kelas pekerja (Mills 1955: Marcuse 1964). Bentuk teori politik ini memiliki beberapa varian, tetapi dalam versi neo-marxis yang paling kuat media massa dipandang sebagai alat propaganda yang diinginkan dalam minat dan perhatian kelas yang berkuasa, yang biasanya memiliki atau mengendalikan mereka atau sebagai ‘aparat ideologi negara’ (istilahnya Louis Althusser) yang berperan memelihara pengendalian. Konsep ‘hegemoni’ juga dijalankan oleh orang komunis Italia bernama Gramsci, yang mengacu pada pelatihan dominasi atas ide yang dilatihkan pada kelas yang berkuasa, dengan menggunakan semua alat komunikasi yang tersedia untuk maksud yang dimiliknya.
Beberapa bukti ilmiah untuk pandangan semacam ini telah disediakan (dan tidak hanya dikemukakan oleh teoretisi kritis sendiri) dengan adanya analisis yang luas mengenai isi media massa, khususnya berita. Media berita, apakah itu bersifat pribadi atau publik, telah muncul, lebih sering tidak berperan, untuk membawa pesan konsensus sosial yang sedang berkuasa dan juga mendukung peraturan sosial dan politik yang sudah wujud dan mapan dengan beragam cara: dengan memberi legitimasi dan perhatian utnuk mewujudkan kekuasaan; dengan mendiamkan masalah dan mencari solusi alternatif; dengan mengarahkan perhatian kepada ‘kambing hitam’; dengan memberi label pada lawan politik sebagai ekstrimis yang mencoba menantang aturan yang sudah mapan dan , semuanya di dalam sistim yang demokratis.
KEBIJAKAN MEDIA
Signifikansi politik secara umum yang dilekatkan pada media massa bersifat jelas dapat dilihat dari universalitas sistem peraturan dan debat aktif yang berkelanjutan mengenai kebijakan media, bagiamanapun juga kebanyakan pemerintahan dalam demokrasi liberal dianggap telah menjaga jarak dari media massa dan menjamin independensi pers. Kebijakan media memiliki beragam bentuk, beraneka khususnya pada tingkat dimensi pengendalian oleh negara. Rezim soviet dan eropa timur sebelumnya telah mewujudkan secara legal kerangka peraturan untuk menjamin dan memelihara kuatnya kekuasaaan mereka meski dengan cara memonopoli.
KECENDERUNGAN DALAM RISET
Ada sejumlah perkembangan yang signifikan dalam riset komunikasi politik sejak masa awal, ketika kebanyakan darinya adalah persoalan mengkaji propaganda, kampanye politik dan sosialisasi politik. Yang pertama, ada sebuah gerakan untuk mengenali bahwa komunikasi politik itu bukan hanya ‘transportasi’ informasi dan keyakinan satu arah, tetapi merupakan persoalan interaksi dan transaksi antara pengirim pesan dan penerima pesan. Kedua, telah secara perlahan berkurang penekanan pada ‘sikap’ pengaruh obyek atau kunci untuk memahami perilaku politik. Sebagai gantinya, lebih banyak perhatian kepada ‘kognisi’ politik yang ada beberapa jenis – kesadaran akan isu, pembentukan image berdasarkan informasi, konotasi dan asosiasasi. Yang ketiga, ada kecenderungan untuk membuat investigasi ‘holistik’, ingin melihat ‘kejadian kritis’ dalam kehidupan politik masyarakat berjalan selama ini dan melibatkan beberapa jenis partisipan dan tidak hanya faktor komunikator dan penerima pesan (Chaffe 1977).

Ada juga penghargaan yang lebih kepada aspek ‘ritual’ dari komunikasi publik, seperti kampanye pemilu, yang tidak sekedar merupakan cara yang rasional untuk beberapa bentuk akhir persuasi , tetapi lebih berwujud sebagai ekspresi simbolis dan merayakan keyakinan dan nilai politik.