Minggu, 02 Januari 2011

Komunikasi Moderen Politik


MUNCULNYA MEDIA KOMUNIKASI MODEREN

Hadirnya komunikasi politik sudah setua hadirnya ilmu politik itu sendiri, hal itu merupakan penggunaan secara terorganisir terhadap media massa moderen untuk tujuan politik, terutama dalam praktik kampanye pemilu, yang awalnya mengarahkan kepada penyelidikan yang sistematis terhadap komunikasi politik dan telah memberi topik bahasan atas identifikasi kontemporer utamanya. Bagaimanapun juga, komunikasi politik lebih dari sekadar kampanye politik. Dalam istilah yang digunakan oleh Seymour-Ure (1974), hal itu memiliki dimensi horisontal dan juga vertikal. Kajian sebelumnya mengacu pada komunikasi diantara kelompok yang sederajad, apakah mereka ini adalah anggota elit politik yang sama, atau warga negara yang saling berinteraksi dan berkumpul bersama-sama. Komunikasi vertikal berlaku diantara pihak pemerintah (atau partai) dan masyarakat (yang prinsipnya ke salah satu arah diantara dua). Penekanan yang awal kepada kampanye pemilu difokuskan perhatiannya pada arus “top-down” pada dimensi vertikal (dari pemerintah atau partai kepada warga negara atau pengikut). Hal ini, bagaimanapun juga, mengarah kepada pengabaian komunikasi di dalam elit masyarakat tertentu dan komunikasi yang bersifat informal dan interpersonal. Kita harus juga membuat catatan atas arus komunikasi yang mengarah “ke atas”, kepada arah politik yang juga “ke atas”, dalam bentuk membuat ‘feedback” voting, hasil polling pendapat, atau bentuk pertemuan pemikiran yang diadakan oleh politikus dan pemerintah.

Komunikasi politik yang mengacu terhadap semua proses informasi (termasuk di dalamnya fakta, opini, kepercayaan dll.) transmisi, pertukaran dan pencarian yang terjadi diantara partisipan dalam wacana aktifitas politik yang di-institusi-kan. Kita dapat secara berguna menahan perhatian kita kepada aktivitas yang menjadi bagian dari “wilayah publik” dalam kehidupan politik, sebuah referensi yang melibatkan isi dari debat politik terbuka dan sebuah ‘arena’ dimana debat semacam itu terjadi.
Di dalam prakteknya, komunikasi politik meliputi berikut ini :
1. kegiatan–kegiatan langsung yang terdiri dari formasi, mobilisasi dan berbagai penyebaran dan pergerakan kecil dari politik.
2. semua bentuk kampanye yang terorganisir dirancang untuk mendapatkan dukungan politik bagi partai, tahu penyebab-penyebab, kebijakan atau pemerintah, dengan mempengaruhi opini dan perilaku dalam pemilu.
3. banyak proses yang melibatkan ekspresi, pengukuran, penyebaran informasi dan juga ‘manajemen’ opini publik (ini termasuk di dalamnya diskusi informal dan interpersonal).
4. aktifitas media massa yang sudah mapan dalam melaporkan dan memberi komentar pada kejadian politik.
5. proses informasi publik dan debat yang berkaitan dengan kebijakan politik.
6. sosialiasasi politik informal dan formasi dan pengawalan kesadaran politik.

MEDIA MASSA DAN POLITIK MASSA
Studi atas komunikasi politik dalam abad yang ke dua puluh, diluar cerita munculnya terbitan koran politik, telah dibentuk oleh tren ke arah “politik massa” yang didasarkan pada hak pilih universal di dalam masyarakat yang terorganisir secara birokratis dalam skala besar (Mills 1955). Trend ini telah menempatkan suatu keadaan yang baik pada kapasitas pemimpin politik untuk mengatur arah pilihan individu pada sebagai besar warga negara, yang mana ikatan yang ada bersifat jauh atau hanya di permukaan saja. Terhadap latar belakang ini, pembahasan yang utama yang telah ditentukan ialah : peran dan pengaruh media massa yang bersifat komersial, khususnya mempengaruhi keseimbangan kekuatan di antara pemerintah ‘borjuis’ yang sudah mapan dan tantangan kaum sosialis dan radikal; persoalan ‘propaganda’ – penggunaan yang masif dan teroganisir terhadap semua bentuk komunikasi moderen oleh pemegang kekuasaan untuk mendapatkan dukungan populer; dan pengembangan kampanye pemilu yang terencana dan profesional menggunakan alat-alat dan teknik komunikasi yang baru dan jajak pendapat.

MEDIA MASSA DAN PARTAI POLITIK
Yang pertama dari persoalan yang yang meminta perhatian khusus yang merubah hubungan antara media massa dan partai politik dan pertanyaan mengenai pemilikan dan monopoli dalam alat komunikasi. Seperti Seymour-Ure (1974) telah mengemukakan pendapatnya, ada 3 dasar utama dalam hubungan politis antara koran dan partai:
1. korespondensi organisasional – koran itu milik partai, dan dirancang untuk mencapai tujuan partai.
2. mendukung tujuan sebuah partai- sebuah koran dan menentukan untuk memilih secara editorial untuk mendukung sebuah partai dan secara konsisten mendukung kebijakannya.
3. korespondensi antara pembaca dan dukungan yang telah diberikan kepada sebuah partai- untuk alasan lain selain yang telah disebutkan, sebuah koran mungkin saja menarik pembacanya dari sebuah kelas atau sektor sosial yang utamanya menyandarkan diri pada arah politik tertentu, tanpa adanya pilihan politis yang sadar yang telah dibuat.
Dalam kasus tautan organisasi, setiap dari kondisi yang lain adalah memungkinkan untuk dijumpai, tetapi tiga variabel yang disediakan merupakan kunci untuk menguji hubungan pers dengan partai dari simbiosis total sampai menjadi kemandirian yang menyeluruh.

Syarat pertama (sebuah dukungan aktif terhadap tujuan partai merupakan fitur yang umum pada koran-koran yang awal-awal terbit di Amerika Serikat dan juga sama umumnya dengan yang di Eropa kontinental, paling tidak sampai Perang Dunia Kedua. Telah menurun secara besar-besar kecenderungan sebagai hasil dari kecenderungan umum kepada : bent;uk politiik yang kurang ideologis tapi elbih bersifat pragmatik; lebih banyak pada komersialisasi pers (lebih suka kepada netralitas atau keseimbangan kepentingan politik dalam kepentingan meluaskan cakupan pemasaran); penurunan dalam persaingan dan pilihan (koran yang memonopoli cenderung kurang terbuka pada pesekutuan kepada partai); meningkatnya profesionalisasi junalisme, yang juga lebih menyukai obyektifitas dan informasi atas advokasi dan peran propaganda pers. Keterlibatan pers juag dibawah tekanan dari munculnya keseimbangan moral, dan obyektifitas jurnalisme yang dipraktikkan (seringkali merupakan persoalan kebijakan publik) dalam penyiaran.

PROPAGANDA
Studi moderen terhadap komunikasi politik sebenarnya dimulai dengan studi propaganda, khususnya sebagai respon terhadap penggunaan yang dibuat oleh alat baru komunikasi (media dan film) selama dan sesudah perang dunia pertama untuk memajukan patriotisme dan juga ideologi lain diantara media massa nasional. Persamaan yang awal pada komunikasi politik dengan propaganda dikuatkan oleh adanya contoh seperti Uni Soviet dan Nazi Jerman, keduanya menggunakan monopoli pengaturan media massa (sekarang termasuk di dalamnya adalah radio) karena mereka memiliki proyek yang berbeda dalam transformasi sosial.
Tidak mengherankan, istilah ‘propaganda’ mendapatkan konotasi negatif. Hal ini digunakan sebagai indikasi untuk membentuk komunikasi persuasif dengan fitur atau keistimewaan sebagai berikut: proses komunikasi adalah ditujukan untuk pengirim pesan daripada untuk penerima pesan, atau untuk mendapatkan manfaat bersama; hal ini melibatkan tingkat pengendalian yang tinggi dan manajemen dengan mengandalkan sumber yang ada; tujuan dan kadang-kadang identitas dari sumber seringkali disembunyikan. Secara umum, propaganda bersifat ‘manipulatif’, satu arah dan memaksa (Jowett dan O’Donell 1987). Dalam makna peyoratif (pemburukan makna), istilah propaganda masih mengacu kepada komunikasi langsung dari partai politik dengan adanya peran media massa untuk merancang dan memobilisasi dukungan.

RISET KAMPANYE PEMILIHAN
Studi yang sistematis terhadap komunikasi pemilu dengan sendirinya dibuat mungkin oleh adanya kemajuan dalam teknik mengukur sikap dan opini dan metode analisis statistik yang punya banyak variasi. Bagaimanapun juga, metode semacam itu diminati pencariannya dalam efek jangka pendek pada individual dan mengarah pada pengabaian jenis efek yang lain- pada institusi dan perubahan politik jangka panjang.
Disamping adanya penemuan yang menjadi penyebab pada riset empiris tentang efektifitas kampanye (hal ini sangat sulit untuk dibuktikan efek signifikansi langsung-nya), komunikasi politik hadir pada periode sesudah perang dan khususnya setelah hadirnya teknologi televisi, menjadi lebih banyak diidentifikasikan dalam banyak negara dengan praktek kampanye multimedia yang intensif dan luas oleh partai dan kandidat dalam persaingan menuju pemilu. Kampanye-kampanye ini sering dibuat model iklan komersial dan secara meningkat mengadopsi pemikiran dan metode yang sesuai untuk produk marketing, mencoba untuk mewujudkan dan kemudian ‘menjual’ ‘image’ partai dan pemimpinnya. Tidak juga tujuan dalam prinsip pada strategi ini maupun ketidakpastian mengenai kemujaraban mampu mencegah kecenderungan ini.

EFEK POLITIK TELEVISI
Munculnya televisi sebagai media paling disukai dalam komunikasi politik (meskipun hal ini sering diikuti dengan gerak koran media yang secara politis lebih bebas), yang berhubungan dengan perubahan sosial yang lain, telah membuat hasil yang lebih luas dan tidak disengaja (meskipun hubungan yang menjadi penyebab tidak dapat sepenuhnya diwujudkan). Hal ini mungkin memiliki kontribusi menuju sentralisasi yang lebih besar dalam politik, sebuah penurunan dalam organisasi akar rumput atau grass root massa, sebuah penurunan dalam partisan tajam dan pembagian ideologi (karena televisi menyokong ‘orang bawah-menengah’), sebuah peningkatan dalam penggunaan dan pengaruh polling opini untuk mengarahkan perencanaan kampanye dan untuk memonitor kesuksesannya, dan sebuah peningkatan dalam keadaan meningkat pada pemilih sebagai sesuatu yang melekat dan proses pemilihan lebih berpengaruh oleh adanya pemikiran dan berita yang ada.
Kelihatan menjadi suatu kasus bahwa kekuasaan yang bersifat nisbi pada mereka yang mengendalikan ‘gerbang’ media massa secara umum telah meningkat vis-à-vis bagi para politisi. Dalam istilah yang singkat, para politisi memerlukan akses untuk media lebih daripada media membutuhkan politisi, dan peran politik pembuat keputusan media telah meningkat dan menjadi lebih sensitif. Bahkan pemerintah dan para pejabat kantor sangat tergantung pada atensi media, meskipun kekuatan mereka sendiri untuk mengendalikan peristiwa dan untuk membuat tuntutan atas akses yang mereka berikan merupakan keuntungan yang merupakan aksi pencegahan.