Senin, 03 Januari 2011

Sejarah Ilmu Wacana Krisis


Teori-Teori Krisis

Teori kritis dimulai dengan karya-karya Max Horkheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dari Frankfurt School dalam tahun 1923. Kelompok ini semula dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Marxis, walaupun tidak semua yang ada pada teori kritis  adalah Marxis.
Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, menurut Sendjaja (1994:392) semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama, yaitu:

  1.  semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Yaitu bahwa ilmuwan kritis  menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas.
  2.  pendekatan ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur  yang seringkali tersembunyi.  Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk merubah kekuatan penindas.
  3.  Pendekatan kritis secara sadar berupaya menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita.

Ilmu sosial kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak di antaranya yang berkaitan  dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian, teoretisi kritis biasanya enggan untuk memisahkan komunikasi dan elemen-elemen lainnya dari keseluruhan sistem. Dengan kata lain, suatu teori kritis mengenai komunikasi (atau ekonomi, atau politik) perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara keseluruhan.

Teori komunikasi kritis berhubungan dengan berbagai topik yang relevan, termasuk bahasa, struktur organisasi, hubungan interpersonal, dan media. Komunikasi itu sendiri menurut perspektif kritis merupakan suatu hasil dari tekanan (tension) antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pada pesan dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut.
            Dalam hubungannya dengan penelitian komunikasi, aliran kritis memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
1.    Aliran Kritis lebih menekankan pada unsur-unsur filosofis  komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh kaum kritis adalah siapa yang mengontrol arus komunikasi? siapa yang diuntungkan oleh arus dan struktur komunikasi yang ada?, ideologi apa yang ada dibalik media?.
2.    Aliran Kritis melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi manusia. Bagi aliran ini, suatu penelitian komunikasi manusia, khususnya komunikasi massa yang mengabaikan struktur sosial sebagai variabel berpengaruh, dikatakan bahwa penelitian tersebut a-historis dan a-kritis.
3.    Aliran Kritis lebih memusatkan perhatiannya pada siapa yang mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan bahwa komunikasi hanya dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa, baik untuk mempertahankan kekuasaannya maupun untuk merepresif pihak-pihak yang menentangnya.
4.    Aliran Kritis sangat yakin dengan anggapan bahwa teori komunikasi manusia, khususnya teori-teori komunikasi massa, tidak mungkin akan dapat menjelaskan realitas secara utuh dan kritis apabila ia mengabaikan teori-teori tentang masyarakat. Oleh karena itu, teori komunikasi massa harus selalu berdampingan dengan teori-teori sosial (Akhmad Zaini Abar, 1999:54).

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas beberapa teori yang dikategorikan sebagai teori-teori dalam perspektif kritis, antara lain:


Teori Feminis
Teori feminis berbeda dengan teori-teori sebelumnya yang pernah kita bahas. Hal ini dikarenakan teori ini adalah pemikiran sebuah komunitas interdisipliner.
Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita. Teori ini terpusat pada wanita dalam tiga hal:
a.    sasaran utama studinya titik tolak seluruh penelitiannya adalah situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat.
b.    Dalam proses penelitiannya, wanita dijadikan sasran sentral; artinya, mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita terhadap dunia sosial.
c.     Teori feminis dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan wanita.
Teoretisi feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan yang sebenarnya terlepas dari aspek biologis (jenis kelamin) dipahami dalam kualitas gender, termasuk bahasa, karya, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Kritis feminis ditujukan untuk mengungkap kekuatan dan keterbatasan pembagian ini. Banyak teori feminis menekankan penindasan dalam hubungan gender. Gender adalah suatu konstruksi sosial yang meskipun perlu, telah didominasi oleh laku-laki dan menindas perempuan. Teori feminis ditujukan untuk menantang asumsi-asumsi gender yang berlaku luas dalam masyarakat dan untuk mencapai cara-cara yang membebaskan perempuan dan laki-laki untuk eksis di dunia.
Kritik feminis menjadi semakin populer dalam studi komunikasi. Kritik ini mempelajari:
1.    gejala di mana bahasa yang bias laki-laki (mendominankan kedudukan laki-laki) akan mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
2.    gejala di mana dominasi laki-laki telah membatasi komunikasi bagi perempuan.
3.    gejala di mana perempuan memiliki pola-pola percakapan  dan bahasa laki-laki yang akomodatif dan menentang, kekuatan bentuk-bentuk komunikasi yang feminin, dan gejala sejenis lainnya.


Salah satu varian dari teori feminis adalah  Muted Group Theory (teori kelompok bungkam). Teori kelompok bungkam adalah suatu contoh menarik dari teori komunikasi kritis. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam masyarakat, mengungkap struktur-struktur penting yang menyebabkan penindasan, dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.
Teori yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener ini berasumsi bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamnya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibungkam. Perempuan yang dibungkam ini dalam pengamatan Ardener membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.

Analisis Wacana
Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.
Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah (orang/kelompok) yang menguasai media? Apa keuntungan yang didapat oleh seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak mana yang tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?
Paradigma kritis berargumentasi, melihat komunikasi, dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius. Tidaklah mengherankan, berbeda dengan penelitian positivistik yang umumnya atomistik, paradigma kritis justeru bersifat holistik dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Karena menurut pandangan kritis, komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi.
Critical Discourse Analysis, yang melihat produksi dan distribusi budaya-termasuk artefak budaya semacam teks isi media-selalu berlangsung dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Oleh karena itu pula, Critical Discourse Analysis memiliki asumsi epistemologi dan ontologi tersendiri; sehingga juga membawa implikasi metodologis yang khas-yang berbeda dengan asumsi-asumsi paradigmatik analisis wacana dalam persfektif positivis ataupun konstruktivis.
Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah sifat holistik dan konstekstual. Kualitas suatu analisis wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan antara analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
            Salah satu varian dari analisis wacana kritis adalah model Teun Van Dijk. Menurut van Dijk, (dalam Eriyanto, 2001:225) penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan  pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga diamati. Disini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Proses produksi itu, dan pendekatan ini menurut van Dijk, melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.  Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan psikologi sosial,  terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar mayarakat.
            Berbagai masalah yang kompleks dan rumit dalam pembentukan sebuah teks berita, dicoba untuk digambarkan oleh van Dijk. Van Dijk tidak mengeksklusi modelnya semata-mata dengan menganalisis teks semata. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah  bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual-yang memusatkan perhatian melulu pada teks-ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannnya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat.



 

Semiotika
Secara terminologis semiotika adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi baik secara verbal maupun nonverbal sehingga bersifat komunikatif .
Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif.
Dalam kajian semiotika ini berupaya menguak makna dari penggunaan tanda-tanda yang ada hingga pada tataran ideologi-ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan tanda itu sendiri.

Cultural Studies
Cultural studies  adalah suatu kajian baru yang tengah “naik daun”. Ia telah menjadi pusat perhatian setidaknya karena budaya (culture) sebagai tema atau topik studi telah menggantikan masyarakat sebagai subjek telaah umum.
Cultural studies  merupakan tema akademis dalam segala aspek bukan hanya komunikasi, suatu kajian terutama di bidang seni, humaniora, ilmu-ilmu sosial, dan bahkan sain dan teknologi.
Menjadi pertanyaan, apakah subjek dari cultural studies itu? Tidak seperti disiplin akademis tradisional, cultural studies tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Tetapi secara umum Cultural studies dapat dikatakan memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna.
Titik pijaknya adalah sebuah gagasan tentang budaya yang sangat luas dan mencakup segala hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari beraneka kajian. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam linguistik, semiotik, antropologi, dan psikoanalisa. Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotik, marxisme,dan feminisme) cultural studies memasuki periode perkembangan teoritis yang intensif.
Cultural studies berfungsi dengan meminjam secara bebas dari disiplin ilmu sosial, seluruh cabang humaniora, dan seni. Ia mengambil teori-teori dan metodologi dari beragam kajian keilmuan dan mengadopsinya yang disesuaikan dengan tujuannya.
Cultural studies mempunyai beberapa karakteristik:
a.    cultural studies bertujuan mengkaji pokok persoalannya dari sudut praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kebudayaan (produksi sosial makna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik (relasi sosial).
b.    Cultural studies tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya  adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleknya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya.
c.    Budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. Cultural studies bertujuan menjadi, baik usaha pragmatis maupun intelektual.
d.    Cultural studies berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan, mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang obyektif (yang dinamakan universal). Cultural studies mengasumsikan suatu identitas bersama dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara pengamat dan yang diamati.
e.    Cultural studies melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan garis radikal tindakan politik. Tradisi cultural studies mempunyai komitmen bagi rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Jadi, cultural studies bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi dalam masyarakat kapitalis industrial.
(Zardar, Zianuddin dan Borin Van Loon. 2001:9)