Pada awal tahun 1960-an, jagad sosial-budaya disemarakkan oleh munculnya perkembangan baru baik dalam dunia kebudayaan maupun dunia pemikiran sosial dan filsafat. Munculnya berbagai mode berpikir dan cara melihat realitas secara baru ini pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai kritik kultural maupun politis terhadap krisis kondisi modernitas yang telah melahirkan kecemasan, keterasingan, imperialisme, pembantaian (holocaust) dan perang.
Sejak kelahirannya mode berpikir baru ini terus berkembang dan menjadi perbincangan serius di kalangan filsuf, budayawan, ilmuwan sosial, dan para politikus, baik dalam cara pandang maupun dalam sisi validitas konseptualnya. Hingga kini perdebatan ini telah melibatkan banyak khalayak dan telah memproduksi ratusan literatur di segala bidang di bawah sebuah tema besar yang masih terus diperdebatkan yang kini disebut dengan: posmodernisme. Mereka yang terlibat dalam perbincangan fenomena baru ini di antaranya adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Jurgen Habermas, Jean-Francois Lyotard, Richard Rorty, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Michel Foucault, Derrida, dan masih banyak lagi, termasuk pemikir sosial yang hendak dikupas dalam tulisan ini, yakni: Fredric Jameson.
Berbeda dengan para pemikir lainnya, Jameson memiliki mode berpikir yang tidak kalah unik dan khas dalam wacana posmodernisme. Analisisnya menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Jameson melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru yang disebut dalam berbagai perbincangan akademis sebagai “masyarakat pos-industrial” (Daniel Bell), atau “masyarakat konsumer”, “masyarakat media”, “masyarakat informasi”, “masyarakat elektronik”, dan lainnya.
Bagi Jameson semua teori tersebut sebenarnya hendak melukiskan sebuah formasi sosial baru yang berbeda dengan struktur sosial kapitalisme lama. Yakni suatu formasi sosial-budaya yang lebih merupakan produk logika budaya kapitalisme multinasional.
Dalam tulisan ini, saya mencoba mengeksplorasi upaya-upaya Jameson membongkar dominasi kapitalisme multinasional dan sekaligus mengetengahkan strategi perlawanan terhadap gejala-gejala ini. Paparan ini saya maksudkan agar kita memiliki perspektif yang lebih luas dan cara baca yang kaya dan mendalam terhadap fenomena ekstasi budaya di sekitar kita.
Sekilas Fredrich Jameson
Fredrich Jameson adalah seorang kritikus budaya paling penting dalam tradisi berbahasa Inggris sekarang ini, dan dikenal sebagai penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal juga sebagai seorang teoritisi politik Marxis, sekaligus seorang kritikus sastra.
Jameson lahir di Cleveland, Ohio, pada tahun 1934. Setelah kuliah di Haverford College pada tahun 1954, ia bepergian ke Eropa dan mampir di Aix-en Provence, Munich dan Berlin, untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme. Berselang kemudian dia pindah Amerika dan mengambil studi doktoral di Yale pada tahun 1960 dan menggarap disertasinya dengan judul Sartre: the Origins of a Style, di bawah bimbingan Erich Auerbach, seorang ahli filologi Jerman yang juga pernah menulis sejarah style, yang lalu sangat berpengaruh pada Jameson.
Jean-Paul Sartre, tokoh eksistensialis Perancis ini sendiri adalah figur yang sangat berpengaruh pada tahap awal perkembangan filsafat dan politis Jameson, di samping pengaruh dari dua peristiwa yang saling terkait, yakni berakhirnya McCarthyisme dan munculnya gerakan Kiri Baru (New Left). Pada saat menyelesaikan tesis doktoralnya, Jameson sendiri adalah bagian dari gerakan yang menentang aliran Kritisisisme Baru yang mendominasi Amerika waktu itu. Dan pilihannya terhadap figur Sartre bukan sekadar ingin mempelajari fenomenologi eksistensial, melainkan juga memiliki intensi politik. Bagi Jameson, Sartre merupakan teladan bagi sosok intelektual yang melambangkan intellectual engage dalam politik, yang “bagi keseluruhan generasi intelektual Perancis, dan bahkan bagi para intelektual Eropa, khususnya kaum muda Kiri di Inggris, juga di Amerika seperti saya sendiri, Sartre mewakili contoh intelektual politik, satu dari beberapa model penting yang kita miliki, bahkan seorang model yang serba mencukupi” (Sean Homer, 1998).
Pencarian Sartre terhadap formasi Marxisme yang relevan secara teoritis maupun secara politis bagi Perancis kontemporer dan terpisah dari dogmatisme Partai komunis dan Uni Soviet, berpengaruh sangat kuat pada pandangan Marxisme Jameson. Dan bagi Jameson sendiri Marxisme bukanlah sebuah sistem yang kaku, melainkan suatu wacana yang tersituasikan, pemikiran yang terbuka dan fleksibel yang berkembang sesuai dengan lingkungan historis yang spesifik. Oleh karena itu tugas kaum Kiri adalah membangun bentuk Marxisme yang mungkin sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika kontemporer dan sesuai dengan ‘masalah-masalah khas yang lahir dari monopoli kapitalisme di Barat’ (Sean Homer, 1998: 9).
Dalam perjalanan karir intelektualnya, Jameson menulis banyak buku. Selain buku disertasinya di atas ia menulis Marxism and Form (1971), The Prison-House of Language (1972), The Political Unconscious (1981), Late Marxisme (!990), Signatures of the Visible (1990), Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991), The Geopolitical Aesthetic (1992), The Seeds of Time (1994) dan the Cultural Turn (1998).
Bukunya Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991) yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini sesungguhnya adalah perluasan dari eseinya dengan judul yang sama dalam jurnal New Left Review yang terbit pada 1984. Karya ini adalah yang paling berpengaruh dan sistematis yang memformulasikan wacana posmodernisme dalam kebudayaan, dengan tesis utama bahwa gejala posmodernitas merupakan logika budaya kapitalisme lanjut.
Fenomen Populisme Estetis
Gejala posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3). Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”, “kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.
Bersamaan dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.
Selain itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson, gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Singkatnya, posmodernisme pada umumnya ditandai oleh sebuah gejala baru yang disebut dengan “populisme estetis”, yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang bisa dikonsumsi secara massal.
Posmodernisme sebagai Dominan Budaya Kapitalisme Lanjut
Mulai dari pengamatan terhadap gejala budaya baru ini, Jameson rupanya secara cerdik berusaha membangun proyek intelektualnya. Menurutnya, gejala dominasi budaya dalam posmodernisme bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan juga fenomena sejarah. Dengan pernyataan ini sesungguhnya Jameson hendak mengungkapkan hubungan antara estetika atau transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis mode produksi kapitalis. Dengan merujuk karya Ernst Mandel Late Capitalism (1972), Jameson menghubungkan tahap-tahap realisme, modernisme dan posmodernisme dalam momen estetis dengan tiga tahap fundamental dalam kapitalisme, yakni: tahap kapitalisme pasar klasik, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional (late capitalism).
Ernst Mandel menguraikan tiga lompatan fundamental dalam evolusi teknologi mesin di bawah kendali modal. Pertama, produksi mesin dengan mesin uap tahun 1848; kedua, produksi mesin dengan mesin elektrik dan sistem pembakaran sejak tahun 1890; dan ketiga produksi mesin dengan mesin elektronik dan aparatus tenaga nuklir sejak tahun 1940-an. Periodesasi ini sekaligus menggarisbawahi tiga momen fundamental dalam kapitalisme: kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional. Menurut Mandel, kapitalisme multinasional merepresentasikan kapitalisme yang paling murni dari yang pernah ada karena telah melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah yang sebelumnya tidak dijadikan komoditas, seperti: penetrasi dan kolonisasi terhadap alam, kolonisasi wilayah estetika dan ketidaksadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran sistem pertanian prakapitalis dan kelahiran industri media dan iklan (Madan Sarup, 2003: 323-4). Mengikuti alur tahapan perubahan momen kapitalisme tersebut, Jameson lalu mengajukan sebuah analisis yang menyejajarkan posmodernisme dengan ekspansi komoditas budaya secara besar-besaran dalam tahap kapitalisme multinasional (late capitalism). Ia tampaknya masih mengikuti konsep basis-superstruktur Marx bahwa perubahan struktur ekonomis juga tercermin dalam perubahan kebudayaan meski hubungan ini sangat komplek.
Bagi Jameson, dalam era kapitalisme multinasional telah terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luar biasa di segala aspek kehidupan yang ia sebut sebagai “dominan budaya” (cultural dominant). Di dalam cara mengada dunia seperti ini, konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi bentuk-bentuk kebudayaan. Segala batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya (modernisme) diterabas, tidak ada lagi kanonisasi atau institusionalisasi akademis modernis terhadap produk kebudayaan. Dalam pandangan Jameson, dominan budaya dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua “produksi estetis telah terintegrasi menjadi produksi komoditas” (Jameson, 1999: 4).
Kepentingan ekonomi kaum kapitalis memaksa produsen untuk menghasilkan barang-barang yang selalu baru dan mendorong mereka untuk berinovasi dan terus bereksperimentasi menciptakan barang-barang yang baru. Era yang juga disebut posmodernisme ini ditandai oleh komodifikasi besar-besaran di hampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia sendiri. Dengan kata lain, dominan budaya posmodernisme secara struktural adalah representasi kultural dan ideologis kapitalisme lanjut (late capitalism/multinasional capitalism) dan secara sosial diterima sebagai budaya konsumerisme.
Mengenai istilah “late capitalism” serta situasi dan kondisi di dalamnya, Jameson memberikan catatan yang menarik. Istilah itu berasal dari Madzhab Frankfurt, diantaranya Theodor Adorno, Max Horkheimer, dll. dan menunjuk pada bentuk kapitalisme yang datang dalam periode modern dan kini sedang mendominasi era posmodernisme. Jika late capitalism versi Madzhab Frankfurt ditandai dengan dua ciri esensial: jaringan kontrol birokrasi dan interpenetrasi kapitalisme negara, maka Jameson menambahkan versi late capitalisme tersebut dengan elemen-elemen baru posmodernisme, yakni:
Pertama, munculnya formasi-formasi baru organisasi bisnis yang bersifat multinasional dan transnasional yang melampaui tahap kapitalisme monopoli ala Lenin, yakni melampaui batas-batas nasional (Jameson, 1999: xviii-xix).
Kedua, internasionalisasi bisnis melampau model imperial lama. Dalam tata dunia kapitalisme baru, korporasi multinasional tidak terikat pada satu negara tetapi merepresentasikan sebentuk kekuasaan dan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang satu negara manapun. Internasionalisasi ini juga berlaku dalam pembagian kerja yang memungkinkan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap para pekerja di negara-negara miskin guna mendukung modal multinasional. Dalam hal ini Jameson lalu menunjuk pada “aliran produksi ke wilayah-wilayah dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional, munculnya profesional muda yang ambisius (yuppies) dan kelas elit (gentrification) pada skala global” (Jameson, 1999: xix).
Ketiga, dinamika baru yang tak seimbang dalam perbankan internasional dan pertukaran saham, termasuk utang dunia kedua dan ketiga yang sangat besar (Jameson, Ibid.). Melalui struktur perbankan yang seperti itu perusahaan multinasional Dunia Pertama mempertahankan kontrol mereka terhadap pasar dunia.
Keempat, munculnya formasi-formasi baru interrelasi media. Bagi Jameson, media termasuk salah satu produk baru kapitalisme lanjut yang sangat berpengaruh, seperti: print, internet, televisi, dan film, dan merupakan sarana-sarana baru bagi kaum kapitalis mengambil alih kehidupan kita. Melalui proses mediasi kebudayaan, kita semakin tergantung pada realitas yang dihadirkan media, yakni versi realitas yang dipenuhi secara dominan dengan nilai-nilai kapitalis.
Kelima, komputer dan otomatisasi (Jameson, Ibid.) Kemajuan-kemajuan dalam otomatisasi komputer memungkinkan produksi massal sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghasilkan profit-margins lebih besar bagi korporasi multinasional.
Keenam, keusangan (planned obsolescence) (Jameson, 1999: 5). Jameson menyatakan bahwa dibalik produksi secara besar-besaran barang-barang yang selalu baru, baru dan baru lagi, dan terus menerus diperbarui agar tampak tak ketinggalan, dari baju sampai pesawat terbang, telah menandai fungsi dan posisi struktural yang semakin esensial bagi inovasi dan eksperimentasi estetik.
Dan terakhir adalah dominasi militer Amerika. Di balik dominan budaya posmodernisme, Jameson mengungkap sebuah kenyataan secara lugas bahwa “This whole global, yet American, postmodern culture is the internal and superstructural expression of a whole new wave of American military and economic domination throughout the world: in this sense, as throughout class history, the underside of culture is blood, torture, eath, and terror” (Jameson, 1999: 4).
Elemen-Elemen Budaya Posmodernisme
Berangkat dari kerangka referensi ekonomi-politik yang ajukan Mandel di atas beserta kesimpulan mengenai logika kapitalisme multinasional di belakang dominan budaya posmodernisme, Jameson lalu berupaya memahami elemen-elemen budaya posmodernisme sambil melukiskan karakter dasar masyarakatnya (masyarakat posmodern).
Pertama, posmodern ditandai dengan “kedangkalan” yang disebabkan oleh realitas pencitraan. Produk kultural posmodernisme dipenuhi dengan citra-citra (image) yang dangkal dan tidak memuat kedalaman makna di dalamnya. Contoh yang baik mengenai “pendangkalan” ini adalah maraknya berbagai produk iklan komersial di media massa. Setiap waktu dan setiap detik masyarakat disuguhi berbagai tontonan (spectacle) atau adegan peristiwa yang dibungkus dengan pencitraan tertentu yang direpresentasi melalui media massa. Dalam konteks ini, “masyarakat tontonan” secara terus menerus dibombardir oleh pesona “simulakrum” yakni suatu kopian dari salinan realitas yang tidak memiliki referensi pada realitas sesungguhnya. Budaya posmodernisme dilingkupi oleh produksi citra-citra atau gambaran-gambaran dunia yang tidak memiliki rujukan pada kenyataan. Karena itu ia menebarkan “kedangkalan makna” dan sekaligus melarutkan pikiran manusia dalam “kedangkalan” untuk terus menerus bertindak konsumtif tanpa mampu memaknai kehidupan itu sendiri.
Kedua, posmodernisme ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi, atau oleh apa yang disebut Jameson sebagai ”the wanning of affect”. Menurut Jameson, selain telah terjadi perubahan dalam dunia objek (munculnya simulakrum), perubahan mendasar juga terjadi dalam dunia subjek. Perubahan subjek individual yang dimaksud di sini adalah hilangnya bentuk estetika yang merepresentasikan ekspresi individual dan personal yang otonom. Eksistensi subjek individu otonom yang memiliki ekspresi atau style yang unik dan personal serta keotentikan perasaan individual kini sudah lenyap. Subjek individu telah terfragmentasi, terbelah-belah hingga ke dalam relung dasar emosi (Jameson, 1991: 10-11).
Contoh yang menarik dalam konteks sekarang ini adalah kasus komodifikasi sosok artis melalui pembentukan citra diri di media massa, khususnya televisi. Menurut Jameson konstruksi citra diri artis semacam itu (Jameson memberikan contoh artis Marilyn Monroe) sesungguhnya adalah tontonan belaka (spectacle) dan sama sekali tidak merepresentasikan individualitas otentik artis tersebut. Jadi ada sejenis eforia aneh berkaitan dengan perasaan posmodern atau yang disebut Jameson dengan istilah “intensitas-intensitas”. Ada intensitas yang terjadi ketika tubuh berhubungan dengan media elektronik. Muncul kepura-puraan, suatu bentuk kesemuan. Jameson juga memberi contoh sebuah foto pemandangan kota “dimana kecelakaan mobil bahkan diberi pancaran cahaya yang mengkhayalkan kegemerlapan kehidupan kota”. Eforia berdasarkan kecelakaan mobil di tengah-tengah kemelaratan urban semacam itu benar-benar sejenis gejala luapan emosi yang aneh.
Ketiga, posmodernisme ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Kita tidak bisa mengetahui sejarah atau masa lalu, meski semua yang kita jalankan pada masa kini adalah hasil naskah tentang masa lalu. Menurut Jameson, hilangnya rasa sejarah ini menyebabkan “kanibalisasi atau peniruan acak terhadap gaya masa lalu”. Pemahaman ini membawa kita pada konsep kunci dalam posmodernisme, yakni pastiche(Jameson, 1991: 67-97).
Pastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Contoh yang baik dalam kasus ini adalah produksi dan distribusi film-film nostalgia bikinan Hollywood. Film-film ini sebenarnya diproduksi atas dasar konsep pastiche yang hanya mengcopy dan meniru saja peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Apa yang ditekankan film-film ini adalah sekadar bentuk dan kualitas citra/gambar (image) dengan isi yang dibentuk seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini tidak mereferensikan kompleksitas konstekstualnya, dalam artian film semacam itu sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi. Menurut Jameson fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).
Keempat, posmodernisme ditandai oleh pasar media global yang berperan besar menggabungkan dunia hiburan dengan periklanan dan telah menarik masyarakat ke dalam ideologi konsumerisme. Bagaimana ini terjadi? Dalam pasar media global telah terjadi simbiosis antara pasar (market) dan media, sedemikian rupa sehingga batas-batas antar keduanya meluntur. Konsekuensinya muncul suatu tendensi bahwa komoditas diidentikkan dengan citranya dalam media, “yang real” tidak dibedakan dari “yang tidak real”. Dan dalam arti tertentu pula tidak ada pemisahan antara sesuatu benda dengan konsep benda itu, antara ekonomi dan kebudayaan, bahkan antara basis dan suprastruktur.
Dalam konteks inilah Jameson lalu menyatakan bahwa kini produk komersial telah tersebar dan menempati seluruh ruang segmen hiburan, bahkan menjadi bagian dari hiburan itu sendiri. Bahkan bagi Jameson, dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi reproduksi, seperti komputer dan internet, kini muncul tipe konsumsi yang lain, yakni: mengkonsumsi proses konsumsi itu sendiri, yang melampaui isi dan produk komersialnya. Segalanya menjadi komoditas termasuk apa-apa yang diproduksi media, seperti produksi gaya hidup, fashion, bintang dan selibritis, dll (Jameson, 1994: 292-293). Bukan hanya itu, Dengan demikian benarlah bahwa gejala hilangnya batas-batas modern antara seni budaya tinggi yang dimonopoli kaum aristokratik dan seni budaya “rendah” milik masyarakat berkat teknologi media, pada saat yang sama sesungguhnya menandai suatu estetisasi komoditas berdasarkan selera komersial. Atau dengan kata lain telah berlangsung “the becoming cultural of economic, and the becoming economic of the culture” di dalam era posmodernisme (Jameson, 1998: 60). Selain itu dalam pandangan Jameson, elemen budaya pasar juga telah menghapuskan perbedaan kelas sosial dengan cara mensimulasi dan mengemas perbedaan-perbedaan kelompok etnis kultural itu menjadi sekadar identitas-identitas gaya hidup yang bisa dijual (Jameson, 1991: 318-330; 340-356). Perubahan radikal juga terjadi dalam finansial. Jenis uang sebagaimana yang lazim kita kenal kini telah mengalami dematerialisasi ke dalam trilyunan kode-kode digital, mengalami deteritorialisasi, dan bisa ditransfer kemanapun di seluruh dunia dengan kecepatan yang belum pernah diperhitungkan, yang sekaligus mengundang spekulasi dalam ruang cyber global.
Kelima, posmodernisme ditandai dengan temporalitas dan spasialitas yang paradoks. Jameson menggunakan konsep schizophrenia untuk menandai temporalitas posmodernisme. Jameson mengambil istilah ini dari Lacan. Lacan melihat schizophrenia terutama sebagai language disorder, yakni kegagalan ikut serta di dalam tatanan simbolik, dunia percakapan dan bahasa. Menurut Lacan pengalaman temporalitas (usia manusia, masa lalu, masa kini, ingatan, dan bertahannya identitas personal) adalah pengaruh bahasa. Kita bisa memiliki pengalaman waktu konkrit atau hidup, karena bahasa memiliki masa lalu dan masa depan. Namun, karena orang mengalami schizophrenia sehingga tidak tahu artikulasi bahasa dengan cara seperti itu, maka ia tidak mengalami pengalaman kontinuitas temporal seperti yang kita alami. Dalam pandangan Jameson, pengalaman schizoprenia inilah yang dialami oleh masyarakat konsumeris. Mereka selalu mencari sesuatu yang baru dan berusaha mengkonsumsi hal yang terbaru terus menerus guna memenuhi selera itu. Manusia posmodern terbelenggu dalam “kekinian abadi”, dan dalam kondisi itu membuatnya ingin selalu memenuhi hasrat kekinian atau kebaruan secara lebih intens dan semakin besar.
Paradoks yang membangun temporalitas posmodern adalah perubahan yang sedemikian cepat dalam fashion, gaya hidup (style), bahkan dalam keyakinan-keyakinan. Tetapi pada saat yang sama perubahan cepat ini juga disertai dengan standardisasi dunia kehidupan, karena kita bisa membeli komoditas yang sama di seluruh pelosok dunia (Sean Homer, 1998: 105; Madan Sarup, 2003: 257).
Sementara itu paradoks dalam spasialitas posmodern ditandai dengan munculnya fenomena yang disebut dengan neologi “glokalisasi” (glocalization). Artinya yang global itu sendiri sekarang ditemukan dalam yang lokal. Perusahaan-perusahaan transnasional menyebar dan melewati batas-batas teritorial negara, mereka mengemas dan memasarkan komoditasnya melalui identitas-identitas nasional spesifik dalam sebuah negara. Dengan demikian globalisasi menyamarkan dirinya sebagai regionalisme. Identitas etnis dan gaya hidup dikemas dan dijual ke pasar dunia. Lalu ideologi standardisasi pasal global ini menjualnya pada kita sebagai perayaan atas perbedaan, stimulasi libidinal, dan suatu hyperindividualitas yang mendorong individu-individu itu ke dalam hyperkonsumsi (Sean Homer, 1998: 147-148).
Berdasarkan paparan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan penting dalam hegemoni ekspansi modal multinasional dan penetrasi, kolonisasi, serta komodifikasi semua bidang kehidupan, Jameson membuat kesimpulan yang sangat menarik: manusia posmodern tinggal dalam ruang yang disebut “global hyperspace”. Ruang yang tampak penuh dengan jebakan dan perangkap yang menggoda, menggiurkan dan sekaligus juga mengkhawatirkan.
Istilah ini terkait dengan dengan konsep Jean Baudrillard tentang “hyperreality”: yakni situasi dimana kedalaman (the depth) dan materialitas dunia real sedang jatuh dalam “kedangkalan” selera, rayuan komoditas dan godaan simbol-simbol pencitraan yang mematikan pikiran cerdas dan subjektifitas manusia. Manusia dan masyarakat posmodern larut dalam “kekinian abadi” dan tenggelam dalam “kedangkalan” budaya konsumer, serta tidak mampu menghubungkan kedalaman masa lalu dengan lingkungan masa kini. Dalam ruang hyperspace semacam ini, individu-individu tidak mampu membayangkan suatu masa depan yang berbeda dan tidak mampu memusatkan diri pada cita-cita dan sejarahnya, kecuali hanya jatuh dalam eforia berlebihan terhadap tontonan (spectacle) yang semu, gaya hidup yang superfisial dan citra konsumerisme yang berujung pada kehampaan diri (Jameson, 1999: 317).
Selain itu global hyperspace juga berdampak pada individu sebagai subjek politik. Menurut Jameson, individualisme dan identitas personal nyaris sekadar warisan masa lalu, bahkan sudah mati karena individu-individu itu kini telah masuk ke dalam realitas multidimensional jaringan global kapitalisme multinasional. Ruang hyperspace melahirkan problem politik. Individu sebagai subjek telah kehilangan peta, tidak mampu memahami posisi, ruang dan situasi historisnya di dalam hegemoni sistem kapitalisme global. Sebuah problem yang pada bagian berikutnya hendak diatasi oleh Jameson melalui konsep sentralnya tentang cognitive mapping (pemetaan kognitif).
"Cognitive Mapping” dan Strategi Perlawanan Politik
Dari paparan di atas diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global posmodernisme menyediakan jebakan dan telah mengkooptasi subyek individual. Berbagai aktifitas resistensi budaya lokal dan intervensi politis pernah dilakukan oleh beberapa kelompok politik, namun diam-diam aktifitas itu layu, terlucuti dan bahkan terserap sendiri ke dalam pusaran arus sistem global itu karena ketidakmampuannya mengambil jarak dari kekuatan supra-sistem. Problem utamanya adalah subjek individu tidak memiliki kemampuan untuk memetakan jaringan komunikasi yang begitu terdesentralisasi dan bersifat multinasional dalam kekuasaan hegemonial kapitalisme global.
Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika posmodernisme.
Pertama, strategi homeophatik. Yakni suatu praktek budaya hegemoni-tandingan (counter-hegemonic cultural practices) yang dilakukan dengan cara menyerang citra spektakuler masyarakat kapitalisme lanjut dari dalam dengan menggunakan berbagai sumberdaya imagistik. Atau dalam bahasa Jameson sendiri “merusak citra dengan citra itu sendiri, dan dengan merencanakan logika simulakra dengan dosis simulakra yang lebih besar lagi”. Termasuk dalam upaya ini adalah membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan.
Kedua, strategi cognitive mapping. Strategi ini digunakan untuk memecahkan problem posmodernisme, seperti: simulasi media dan hyperealitas komersial, yang sudah melumpuhkan agen politik dan kehendak perubahan sosial. Caranya adalah mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism sebagai ruang dunia kapitalisme multinasional. Tugas setiap individu adalah membuat terobosan untuk menciptakan cara baru merepresentasikan diri dalam berhubungan dengan ruang dunia kapitalisme global sebagai suatu keseluruhan (yang berbeda dengan representasi kapitalis), dan lalu mulai memahami positioning mereka sebagai individu dan subjek kolektif dalam ruang dan waktu historis, yang pada akhirnya melangkah untuk berjuang melawan dominasi logika kapitalisme (Jameson, 1999: 54).
Bagi Jameson, karena posmodernisme adalah logika budaya kapitalisme multinasional yang mengglobal dan total, maka strategi cognitive mapping pada dasarnya adalah strategi pemetaan dan perlawanan yang berangkat dari subjek-subjek individu yang berorientasi total dan global pula. Ini artinya Jameson hendak menekankan pentingnya formasi kesadaran kelas berskala global dan gerakan-gerakan terorganisasi lain berskala global untuk melawan totalisasi kapitalisme multinasional.
Catatan Akhir: Relevansi Pemikiran
Mencari relevansi pemikiran Fredric Jameson dalam konteks masyarakat kita sekarang bukanlah perkara sulit. Lihatlah mereka para eksekutif muda yang bermalas-malasan saat kerja, atau kaum muda mudi yang tidak bersemangat saat harus membaca buku di bangku kuliah. Mereka lebih banyak waktu untuk menghabiskan waktu di diskotik dan pusat hiburan atau berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan atau pergi ke salon-salon kecantikan, tempat fitness, dan lain-lainnya. Pemikiran Jameson sangat relevan untuk melihat bagaimana mutasi budaya kapitalisme telah menciptakan apa yang disebut dengan “masyarakat komoditas” atau “masyarakat konsumeris”.
Masyarakat komoditas, kata Adorno, adalah masyarakat yang didalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama untuk memenuhi kebutuhan, melainkan demi profit dan keuntungan. Oleh karena itulah akan lahir konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Dalam masyarakat komoditas telah terjadi komodifikasi seluruh ruang kehidupan dan ranah kebudayaan (produk, tontonan, informasi, olahraga, pendidikan, moralitas, religiusitas, cinta dan harga diri), dan menjadi tonggak munculnya drama masyarakat yang lebih pelik dan angkuh, yakni “masyarakat konsumer pasca modern” (Idi Subandy Ibrahim, 1997: xiii-xlvii).
Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang dikuasai oleh hasrat konsumsi yang yang digelar lewat program gaya hidup dan citra diri dan dikemas dalam paket-paket komersial, melalui media televisi, film, MTV, iklan, majalah populer, dan seterusnya. Masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Dalam ruang seperti ini tidak ada kreatifitas kultural selain menghamba pada citraan-citraan yang disajikan lewat TV, seperti Indonesian Idol, AFI, program kecantikan, dan gaya hidup selebritis, sesuatu yang disebut Bre Redana sebagai “budi daya kebodohan”.
Masyarakat konsumer posmodern adalah masyarakat yang kehilangan, meminjam istilah Jameson, peta kognitifnya. Mulai dari pejabat pemerintah, politisi, hingga aktivis mahasiswa. Mereka larut dalam godaan budaya pop dan tenggelam dalam hingar-bingar kemewahan dan perayaan gaya hidup yang artifisial yang diciptakan menurut logika kapitalisme lanjut yang berdiri kokoh di atas perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
Menarik apa yang disinyalir mantan Ketua MPR Amien Rais dalam seminar mahasiswa akhir 2005 lalu bahwa gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti “mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005). Rupanya gejala ini juga paralel dengan kesimpulan Ariel Heryanto yang menyatakan secara parodis bahwa “yang kini melumpuhkan aktivisme bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris”. Inilah manifestasi nyata jebakan-jebakan posmodernisme sebagai logika budaya kapitalisme lanjut