Tulisan ini membicarakan tentang bagaimana merumuskan suatu perspektif dengan pendekatan-pendekatan atau teori-teori, baik yang mengakui ataupun diakui sebagai bagian dari aliran pemikiran postmodern. Pemaparan dalam tulisan ini bukanlah sebagai klaim untuk menyatakan berbagai hal dalam paparan selanjutnya adalah acuan berpikir yang sebenarnya harus diikuti untuk memahami postmodern, tetapi sebagai pengantar bagi kita untuk memahami cara berpikir seperti apa yang ditawarkan dalam postmodern, dan bagaimana kita memahami berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang turut menyertai perjalanan postmodern menuju suatu tahapan cara berpikir yang mapan pada masanya, sebagaimana tahapan cara berpikir sebelumnya yang telah mapan pada masanya.
a. Postmodern dan Tradisi (Kognisi)
Kevin O’Donnell dalam naskahnya (Postmodernisme), mencoba menerjemahkan postmodern dengan pengertian “sesudah sekarang”. Terjemahan postmodern dengan “sesudah sekarang” itu mengacu kepada istilah “post” yang berarti “sesudah”, dan “modern” yang berarti up to date atau “sekarang”.
Naskah “postmodernisme” O’Donnell saya pilih dan suguhkan di awal, karena berkaitan dengan persoalan “reflexive method” dan postmodern dalam tradisi “ilmu pengetahuan-kekuasaan (Foucault)”, “dekonstruksi-Derrida”, “Lyotard dengan pandangannya mengenai pengetahuan; gagasan tentang subjek (individu); serta sains dan produksi teks sebagai narasi dan retorika”. Klaim ataupun gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut, memiliki ciri tertentu yang menjadi corak dalam klaim ataupun gagasan-gagasan mereka. Berbagai ciri maupun corak gagasan inilah yang kalau boleh saya katakan dengan istilah “tradisi berpikir/medan gagasan”.
Konvergensi antara naskah “postmodern” O’Donnell dengan “reflexive method” akan kita jumpai setelah paparan mengenai tradisi berpikir postmodern oleh ketiga tokoh tersebut.
Foucault: ilmu pengetahuan dan kekuasaan
Naskah Foucault mengenai ilmu pengetahuan dan kekuasaan dapat kita temukan pada salah satu tulisannya “Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1976”. Pada tulisannya itu dia berbicara tentang bagaimana ilmu pengetahuan telah mengalami “penundukan” oleh dan untuk manusia, serta terhadap manusia itu sendiri dalam bingkai kekuasaan. Berkaitan dengan naskah Foucault tersebut, maka pemaparan selanjutnya lebih menampilkan praktik ilmu pengetahuan-kekuasaan pada aras yang dapat lebih dimengerti sebagai penanda pemikiran Foucault mengenai “penundukan pengetahuan”
Perangkat ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan kekuasaan, salah satunya merumuskan tentang kontrak. Dalam praktik kehidupan modern, kontrak dapat dikatakan sebagai instrumen dalam tindakan peralihan atas hak yang dianalogikan dengan komoditas, dapat ditransfer, dipindahtangankan, dan dialihkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, melalui perangkat-perangkat yang dilegitimasi dengan hegemoni ilmu pengetahuan, untuk kepentingan penguasaan dan kekuasaan.
Apa itu kekuasaan bila dikaitkan dengan praktik pada aras ekonomi?, merupakan salah satu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran Foucault. Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan berpendapat bahwa salah satu jawaban yang umum untuk pertanyaan itu, adalah sebagaimana yang ditawarkan oleh Hegel, Marx, dan Freud, bahwa kekuasaan adalah “yang pada dasarnya menindas”. Kekuasaan menindas alam, naluri, kelas, dan individu-individu. Pandangan lain yang berkaitan dengan paham Nietzshe, berpendapat bahwa kekuasaan itu sebaiknya dianalisis dalam rangkaian “perjuangan, konflik dan perang”. Kemudian bermain juga dengan pandangan Clausewitz, bahwa “perang merupakan keberlanjutan politik oleh pemikiran yang lainnya”. Disini Foucault coba mengatakan bahwa kekuasaan (politik) hanyalah sebuah “perang yang berlanjut dengan cara lain”. Dengan demikian, peran kekuasaan politik keberlanjutan dalam penulisan kembali hubungan tersebut melalui formulir dari peperangan dengan tidak diucapkan, untuk kembali mengukirnya di lembaga-lembaga sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dalam tubuh sendiri, dari setiap dan semua orang dari kita.
Foucault kemudian menawarkan “dua skema analisis kekuasaan”, yaitu: (1) skema kontrak-penindasan (didasarkan pada oposisi biner sah dan tidak sah), (2) skema dominasi-penindasan atau perjuangan-penindasan (didasarkan pada oposisi biner “perjuangan dan ketundukan/kepatuhan”. Pengertian tentang penindasan adalah “sepenuhnya yang memadai untuk analisis mekanisme, dan efek kekuasaan yang begitu dapat meresap untuk digunakan dalam menggolongkan berbagai hal pada saat “sekarang”.
Selanjutnya Foucalt juga menyarankan untuk menganalisis kekuasaan sebagai sesuatu yang beredar dan hanya berfungsi dalam bentuk rantai, tidak terlokalisasi di sini atau di sana, di tangan siapa pun, serta tidak pernah disesuaikan sebagai komoditas atau bagian dari kekayaan. Kekuasaan harus dipahami bekerja dan diberlakukan melalui suatu jaring seperti organisasi, dan tidak hanya seperti individu yang beredar diantara benang; mereka dalam posisi menjalani dan melatih secara bersamaan atas kekuasaan tersebut. Mereka bukan hanya tidak berdaya atau menyetujui sasaran; mereka selalu juga elemen-elemen dari artikulasi. Hal ini mengandung pengertian, bahwa “individu-individu adalah kendaraan kekuasaan, bukan sebatas titik aplikasi”.
Foucault juga mengajak kita untuk keluar dari belenggu analisis yang terbatas pada persoalan yuridis kedaulatan dan lembaga-lembaga negara, untuk beranjak memasuki basis analisis terhadap kekuasaan pada persoalan “studi teknik dan taktik dominasi”.
Derrida dan Dekonstruksi
Derrida yang juga diakui sebagai salah satu tokoh dalam paham “postmodern”, memiliki tradisi medan gagasan yang dikenal dengan “dekonstruksi”. Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan kelemahan dalam teks yang diteliti – dengan fraktur yang terlihat seperti suatu kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal (cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi satu dominasi. Namun tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas hanya dengan membalik hirarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, kita melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain.
Pada langkah yang pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi, mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Lyotard dan Tradisi Gagasannya
Tradisi gagasan Lyotard yang juga membangun kritikan terhadap “grand narasi”, salah satunya adalah pernyataannya mengenai “grand narasi”: seperti mitos atau kisah-kisah yang menceritakan dan menjelaskan sejumlah besar kejadian, seakan-akan memperoleh kekuasaan atas pikiran bahwa mereka hadir dengan fungsinya sebagai kebenaran mutlak atau dogma. Kemudian sebagaimana pemikiran postmodernis lainnya, dia juga selalu berkaitan dengan hal-hal kecil; yang lokal; terpecah-pecah; secara historis muncul; bertentangan dan tidak disengaja, yang berbeda dengan sistem gedung terpadu, monolit ataupun pikiran yang katedral, dengan pendahulunya adalah Levi-Strauss (1967).
Lyotard menekankan tentang pentingnya memberlakukan analisis terhadap narasi secara kritis, tepatnya yang berkaitan dengan narasi istilah. Alasan Lyotard menyatakan seperti itu karena tampaknya pada “grand narasi”, teori hadir dan paling benar adalah dalam cerita dan narasi, yang kemudian juga menjadi seperti sesuatu hal yang mendasar.
Kritik Lyotad sebenarnya juga dapat dilihat sebagai “alegori” untuk kritik terhadap perintah dan rencana ekonomi, yang berpihak pada kelokalan, secara historis muncul, terfragmentasi, sementara, kelihatannya rapuh, tetapi dalam kenyataannya ‘pasar’ kuat. Setelah berbicara secara ringkas mengenai basis gagasan Lyotard terhadap “grand narasi”, selanjutnya akan dibicarakan mengenai gagasan-gagasannya dalam praktik-praktik pengembangan kritikan.
Lyotard dan Thebaud (1986), mengembangkan garis penalaran mengenai gagasan tentang diri-pengarah ‘permainan’ antara aktor-aktor yang berbeda dalam suatu dialog (intertekstualitas). Kehendak untuk berkuasa dalam suatu dialog, terdapat pluralis yang bukan merupakan karakter mendominasi. Ketegangan, dissensus dan perbedaan adalah elemen yang dapat diminalkan dalam ‘permainan’, bertujuan untuk pengembangan kreatif, bukan pada kemenangan mutlak atas lawan (karena hal ini berarti aspek penting ketegangan akan hilang).
Gagasan Lyotard selanjutnya mengenai “grand narasi”: bahwa “grand narasi” bukan sesuatu yang selalu tidak baik, kalau berada dalam format yang super nyata, dan mencakup seluruh perangkat pengetahuan lainnya yang relevan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran Lyotard masuk dalam kelompok pendukung yang relatifis, bimbang, ambivalen yang merupakan jenis pengetahuan universal sebagai obat mujarab untuk sembelit pemikiran manusia.
b. Postmodernisme dan Reflexive Method
Reflexive Method: Metodologis Pragmatis Postmodern
Setelah membicarakan tentang tradisi (kognisi) dari gagasan-gagasan ketiga tokoh postmodernisme yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pada bagian paparan ini akan dibicarakan salah wujud kongkret dari hasil pemikiran-pemikiran postmodernisme, yaitu “reflexive method”.
“Reflexive Method” atau metode reflektif, kalau boleh dikatakan sebagai suatu metodologis pragmatis postmodern; merupakan sebuah solusi atas kewaspadaan terhadap interpretasi-dominan, kehati-hatian vis-à-vis yang total, skeptis terhadap hal-hal ideal, teori dan sebagainya, yang merupakan penyikapan terhadap “grand narasi”.
“Reflexive Method” sebagai suatu metodologis pragmatis postmodern, memiliki prinsip-prinsip dasar ataupun elemen-elemen utama ketika digunakan dalam kajian-kajian ilmiah mengenai pluralistik dan teks. Prinsip atau elemen yang pertama adalah mengenai pluralisme. Pluralisme yang dimaksud adalah pluralisme dalam potensi yang berbeda identitas, atau suara yang terkait dengan beragam kelompok, individu, posisi atau kepentingan-kepentingan khusus yang menginformasikan, dan dapat dilihat dalam kerja penelitian dan penelitian teks.
Elemen yang kedua berkaitan dengan reseptif terhadap pluralisme, dan variasi pada individu partisipan dinyatakan seperti apa suatu proses penelitian (kemungkinan atas beberapa representasi oleh seseorang ataupun individu partisipan yang sama).
Elemen yang ketiga berkaitan dengan alternatif presentase dari fenomena (misalnya, penggunaan berbagai macam bahasa deskriptif). Kemudian elemen yang keempat adalah perintah dari perspektif teroritis yang berbeda (root metafora), sebagaimana pengenalan yang tajam terhadap kritik dan permasalahan disini. Hal ini kemudian memungkinkan keterbukaan dan berbagai perbedaan dalam pembacaan-pembacaan yang dapat dimunculkan dalam penelitian.
Paparan mengenai elemen utama “reflexive method” dapat menjelaskan bahwa produksi suatu teks yang terbuka merupakan hal penting, karena dapat merangsang interpretasi aktif oleh pembaca terhadap bagian-bagian tertentu. Hal penting lainnya yang harus diketahui oleh peneliti adalah menghindari “penutupan” terhadap teks-teks mereka, dengan menempatkan diri mereka terlalu tegas atau berjarak antara pembaca dan suara-suara atau opini-opini tineliti.
“Reflexive Method” terhadap “grand narasi” ataupun wacana kalau boleh diterjemahkan secara sederhana, merupakan suatu cara untuk menggerakkan ataupun memantulkan sesuatu diluar keinginan wacana, sebagai jawaban atas sesuatu hal yang datang dari luar wacana tersebut.
Dengan demikian, bila kita coba kembali ke bagian awal tulisan yang berbicara mengenai konvergensi antara naskah “postmodern” O’Donnell dengan “reflexive method”, mungkin bukan merupakan suatu masalah kalau kita menyepakati “postmodern” dengan sebagai “sesudah sekarang”, sebagaimana yang dinyatakan oleh O’Donnell.
Sekat Studi (Antropologi) Postmodern
Pada bagian paparan ini, akan dibicarakan mengenai bagaimana studi-studi antropologi menemukan dunianya dan objek studinya, lebih khusus lagi di dunia kontenporer (era globalisasi) yang sedang berlangsung pada masa sekarang ini. Hal demikian bukan berarti antropologi telah menjadi bosan dengan bidang asing dan berbalik dengan daerah (ke-lokalan) asalnya, sebagaimana pandangan-pandangan yang mengkhawatirkan kehilangan kesinambungannya; bahwa dunia kontemporer berlangsung dengan percepatan-percepatan transformasi, yang sesungguhnya justru membuat studi-studi antropologi menjadi semakin menarik untuk dicermati; dengan kata lain, turut berlangsung pula pembaharuan dalam metode refleksi dengan kategori yang “keserbalainan”.
Percepatan transformasi ini harus dapat ditanggapi dengan serius, karena salah satu implikasi dari transformasi-transformasi itu adalah mengaburnya sekat-sekat studi antropologi, apalagi bila studi-studi yang dilakukan adalah untuk membuat etnografi dari suatu kelompok komunitas, masyarakat-(dan lainnya), yang berorientasi pada studi identitas. Kalau pada masa dimana percepatan-percepatan transformasi belum berlangsung sebagaimana yang terjadi dalam dunia kontemporer (era globalisasi), studi-studi antropologi mengenai kebudayaan suatu komunitas, masyarakat, etnis, dan lain sebagainya; akan lebih mudah untuk mengidentifikasi (melokalisir) lokus dari kebudayaan tersebut. Maka, dalam dunia kontemporer (era globalisasi) hal demikian akan sulit dilakukan, terlebih lagi jika penekanan studinya mengenai budaya identitas; karena sekat (lokus, site, teritori, dll) kebudayaan pada suatu individu, komunitas, masyarakat (dll) telah menjadi sangat kabur dan kebudayaan itu beredar dimana-mana.
Kehadiran dan perkembangan teknologi media sangat berperan dalam membentuk kondisi seperti itu. Pengenalan, pertukaran, dan penggunaan budaya pada satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya, telah menjadi fenomena yang lumrah dan bahkan seperti menjadi keharusan. Dengan demikian, akan menjadi sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa salah satu kebudayaan (ini) adalah khasanah yang hanya ada atau dimiliki pada suatu kelompok manusia, dan tidak ada pada kelompok manusia lainnya, atau dengan kata lain; me(lokal)kan suatu budaya pada suatu sekat (lokus, site, teritoti, dll) adalah seperti suatu hal yang mustahil; atau persoalan kebudayaan dan identitas itu mungkin dapat lebih mudah dipahami dengan meminjam istilah P.M. Laksono, yakni “Budaya Nir-Papan”. Oleh sebab itu, persoalan studi-studi antropologi sekarang dan kedepannya, dekat dan tempat lainnya, akan bergerak berdasarkan peredaran waktu, ruang, peristiwa-peristiwa, dan pelaku-pelaku (dengan subjektifitasnya) dari budayanya
.
c. Tinjauan Kritis
Sebagaimana tema tulisan yang bertujuan untuk merumuskan sebuah perspektif dengan menggunakan basis teori-teori postmodernisme, seperti tradisi (gagasan) Foucault, Derrida, dan Lyotard, yang menjadi acuan dalam tulisan ini. Maka, ada beberapa hal yang jika diperbolehkan dapat dijadikan bahan diskusi (kritik) terhadap pandangan-pandangan (paham) dari ketiga tokoh postmodernisme tersebut, ataupun juga pandangan (paham) postmoderisme dari pemikir-pemikir postmodernisme lainnya. Beberapa hal tersebut, misalkan:
- Tradisi (gagasan) dari ketiga tokoh postmodernisme tersebut, diketahui merupakan pandangan-pandangan kritis terhadap paradigma-paradigma terdahulu (struktural dan hermenetik), yang justru menjadi akrab sekali dalam penggunaan paradigma-paradigma (dikritisi) tersebut. Hal ini berarti, bahwa mereka ataupun tokoh-tokoh postmodernisme lainnya telah menunggangi paradigma-paradigma (coba anggap saja seperti kuda) itu, untuk meninggalkan jejak-jejak (tapal) yang menunjukkan bahwa mereka sedang bergerak menuju suatu tempat (lokus paradigma-postmodernisme). Impian kolektif tentang tempat yang menawarkan kebaikan-kebaikan dan keidealan kehidupan manusia, menjadi garda yang mengawal perjalanan menuju ke suatu tempat itu.
Sebelum sampai pada maksud dari pernyataan diatas, tidak ada salahnya jika kita untuk sejenak coba telusuri kembali bagaimana Levi-Strauss membangun paradigma Strukturalnya. Apa yang dilakukan Strauss dengan paradigma Strukturalnya adalah benar-benar suatu upaya dengan kesadaran yang tinggi, mencoba keluar (tidak sepenuhnya) dari paradigma-paradigma terdahulu dan mencari solusi dari bentangan kutub ilmu pengetahuan (ideografis dan nomotetis).
Apa yang dapat ditarik dan dipahami dari kedua paragraph sebelumnya adalah mengenai perbedaan kemandirian (tidak mutlak) antara strukturalisme dan poststrukturalisme, dalam upaya membangun pondasi paradigma.
- Muncul pertanyaan: apakah pemikiran-pemikiran postmodernisme itu telah menjadi suatu paradigma tersendiri, atau masih pada tahap teori saja?. Kalau masih pada tahap teori saja, maka berada di bawah edaran paradigma manakah dia?. Selanjutnya akan menjadi semakin menarik; apabila ternyata poststrukturalisme (postmodernisme) telah menjadi sebuah paradigma, dan tentunya mengandung elemen-elemen dasar pada paradigmanya. Maka yang menjadi pertanyaan adalah; model/analogi (sebagai elemen) dalam paradigmanya apa?.
- Kalau coba dipahami, bahwa kritikan-kritikan PS/PM terhadap teori-teori modern atau paradigma-paradigma sebelumnya bertujuan untuk; menawarkan paham kebebasan dan keterbukaan dalam menggunakan dan menyampaikan perspektif, peniadaan “closing text” pada wacana-wacana, narasi, dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan “grand narasi”, mengembalikan otoritas pribadi-pribadi individu manusia. Maka kalau dicermati lebih lanjut, seperti apa dan bagaimanakah implikasi maupun konsekuensi yang akan turut hadir bersamaan dengan berbagai hal yang ditawarkan dari pemikiran-pemikiran PS/PM.