Rabu, 13 April 2011

Korupsi dan Konsumerisme Kita

Pada pertengahan tahun 1950-an, Mohammad Hatta (1957) pernah berkomentar tentang praktek korupsi yang mulai marak dalam birokrasi. Menurut sang proklamator kita ini maraknya korupsi disebabkan oleh karena gaji pegawai pemerintah yang waktu itu “tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari” sehingga dimanfaatkan oleh para avonturir untuk memperkaya diri sendiri. Pernyataan ini dibuat Bung Hatta ketika pemerintah waktu itu sedang mengalami inflasi yang tinggi dan kesenjangan sosial yang meningkat. Namun, ironisnya, menurut Hatta, sekelompok kecil orang yang punya uang dan koneksi politik dalam pemerintahan telah seenaknya mengambil keuntungan dari konsesi-konsesi dan spekulasi. Melalui berbagai koneksi politik inilah mereka getol memperkaya diri sendiri.
Kini, setelah lebih setengah abad berlalu kita dibuat tercengang betapa tak berubahnya kondisi birokrasi negeri ini. Yang paling mutakhir ialah terbongkarnya sindikat korupsi atau yang sering disebut mafia kasus yang melibatkan oknum dirjen pajak, oknum penegak hukum, dan pihak kepolisian. Gayus Tambunan, pegawai biasa yang bekerja di kantor dirjen pajak terungkap menyimpan uang hasil makelar kasus sebesar 28 milyar yang diperoleh dari sogokan sejumlah perusahaan besar yang bersama oknum terkait melakukan kongkalingkong memanipulasi kewajiban pembayaran pajak. Diberitakan bahwa uang miliyaran rupiah ini mengalir ke sejumlah oknum pejabat pemerintah dan penegak hukum mulai dari institusi perpajakan, kejaksaan, hakim, pengacara hingga lembaga kepolisian.
Andai Bung Hatta masih hidup dan mendengar dalam persemayamannya, mungkin dia akan terkaget-kaget sekaligus juga kecele. Gayus bukanlah seorang pegawai yang pada umumnya bergaji rendah, yang dari penghasilannya tak cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Konon ia menerima gaji sebesar 12 juta rupiah perbulan berkat kebijakan renumerasi khusus yang diberlakukan di lingkungan departemen keuangan. Angka ini jelas lebih dari cukup untuk memenuhi “kebutuhan hidup” seorang pegawai pemerintah biasa seperti Gayus, bahkan besarannya pun tergolong jauh di atas level rata-rata. Begitu pula para anggota sindikat lainnya yang terlibat menikmati uang haram tersebut.
Demi status sosial dan gaya hidup
Sang proklamator mungkin tak keliru. Jamanlah yang menerkam kita dan menyandera dalam sangkar besinya, kendati menyalahkan jaman jelas tak bermakna apa-apa. “Kebutuhan hidup” manusia rupanya tak berhenti pada kecukupan sandang, pangan dan papan yang bisa dipenuhi dari upah atau gaji. Manusia juga membutuhkan prestise dan status yang membuat posisi sosial mereka menjadi nampak berbeda atau lebih tinggi derajatnya ketimbang yang lain.
Kesadaran tentang status ini sudah ada sejak jaman antik. Beruntunglah bagi “manusia modern”, prestise dan status sosial tidak lagi ditentukan oleh nilai-nilai tradisional atau hierarki aristokratik model priyayi Jawa. Berkat modernisasi, pembangunan ekonomi kapitalis dan globalisasi, elemen-elemen kultural tradisional semacam itu nyaris terkikis habis fungsinya dalam masyarakat. Tapi apa yang terjadi pada episode berikutnya?
Pada jaman orde baru memasuki era modernisasi, orang-orang berburu prestise dan status sosial dengan cara masuk sekolah/perguruan tinggi, menjadi pegawai negeri atau masuk tentara. Kelompok ini menjelma sebagai cikal bakal “kelas menengah” (sebagian besar bekerja dalam birokrasi pemerintah) yang diharapkan akan mendorong pembangunan dan modernisasi Indonesia. Secara simbolik, status dan prestise kelas menengah baru ini tidak lagi ditentukan oleh kedudukan dalam hierarki tradisional lama melainkan lebih banyak ditentukan oleh pekerjaan dan gaya hidup serta pola konsumsi barang material.
Dalam konteks ini, menjadi “modern” adalah bagian dari prestise yang mengangkat status sosial seseorang yang biasanya ditunjukkan dengan penampilan atau memperagakan gaya hidup yang maju dan modern disertai pola konsumsi yang semakin besar. Misalnya, diukur dari seberapa bisa kita mengikuti praktek dan gaya hidup masyarakat Barat, atau seberapa mewah dan ekslusif barang-barang yang kita miliki, mulai dari rumah tipe berapa dan mobil merek apa sampai jam tangan dan handpone atau gadjet keluaran terbaru apa.
Seperti dicatat oleh Solvay Gerke (2000), sosiolog yang banyak mengamati kehidupan kelas menengah di Indonesia dan Asia Tenggara, keanggotaan kelompok ini tidak selalu didasarkan pada penghasilan (income) tapi didefinisikan oleh perilaku sosial dan gaya hidup yang dijalankan. Maka, konsumsi dalam hal ini menjadi tindakan simbolik yang menunjukkan “modernitas” dan pada saat yang sama menjadi ciri dan cita rasa strata kelas menengah. Dari sejumlah penelitian yang pernah diadakan oleh sejumlah ilmuwan sosial memperlihatkan bahwa konsumsi produk-produk mewah ternyata seringkali tidak mencerminkan kemampuan ekonomi konsumen, juga tidak memperlihatkan situasi kelas produksi atau pekerjaan mereka.
Gayus Tambunan, dan mungkin juga tak sedikit dari kita, adalah prototipe kelompok ini, par exellence. Untuk menegaskan posisi sosial, kita harus melakukan diferensiasi kultural. Yakni sebuah proses dimana habitus sosial menuntut kita membedakan diri dengan masyarakat yang lain lewat serangkaian aktivitas dan barang-barang yang kita konsumsi. Niels Mulder (1994) menyatakan: dengan satu atau lain cara, konsumerisme mempengaruhi kehidupan semua orang, membujuk orang dengan semua jenis barang yang dibutuhkan sebagai penanda gaya hidup perkotaan. Sebagai pegawai dirjen pajak yang tinggal di ibu kota, orang seperti Gayus memiliki sejenis “kesadaran kelas”; bukan dalam arti kesadaran terhadap kepentingan politik, melainkan kesamaan dengan orang-orang yang berburu gaya hidup yang sama. Mereka memiliki rumah mewah atau apartemen di salah satu sudut ibu kota, dan dilengkapi mobil berkelas yang sewaktu-waktu bisa dipakai jalan-jalan dan berbelanja di mal-mal yang terus menjamur di tengah kota.
Percayalah, Gayus tak sendirian! “Kesadaran kelas” tercipta secara kolektif; ia menawarkan satu identitas bersama. Katakanlah bahwa Gayus yang memang bukan seorang pejabat tinggi di birokrasi, semakin “tertekan” oleh sejenis “keharusan sosial” dalam keanggotaan kelas birokrat menengah ini dan karena itu berupaya sebisa mungkin untuk meniru gaya hidup mereka. Soalnya, karena tak semua jabatan resmi benar-benar berkorelasi dengan penghasilan, maka muncullah dilema finansial. Dilema ini lalu dipecahkan lewat dua alternatif, yakni: sebisa mungkin berburu penghasilan tambahan, atau lewat praktek konsumsi simbolik, lifestyling.
Bagi seorang pekerja miskin atau pegawai dengan gaji pas-pasan, yang terakhir, lifestyling, inilah solusinya. Misalnya, ia menghabiskan waktu berjam-jam minum secangkir kopi di Sturbuck menyerupai bos-bos atau orang kaya baru. Atau, mirip muda-mudi sekarang yang gemar memamerkan celana jeans atau T-shirt bermerek terkenal yang lucunya ia beli dari toko loakan. Tentu saja mereka berbeda dengan Gayus yang seorang pegawai pajak. Gayus mengatasi dilema finansial yang menderanya dengan mencari penghasilan tambahan: lewat korupsi atau menjadi makelar kasus!
Kapitalisme
Kurang lebih dua dekade yang lalu, Profesor Syed Hussein Alatas (1986) pernah melontarkan pertanyaan: apakah korupsi berkaitan erat dengan kapitalisme?
Sosiolog pioner studi korupsi ini dengan tegas menjawab: tidak! Alasannya, kapitalisme yang tumbuh di negara-negara Eropa Barat sama sekali tak terkait dengan pemerintahan yang korup. Dalam hal ini Profesor Alatas cenderung lebih setuju pada Ibnu Khaldun yang menganggap bahwa akar korupsi berasal dari keinginan dan hasrat hidup mewah di kalangan para penguasa. Untuk menutupi biaya hidup yang mewah itu, menurut Khaldun, para penguasa melakukan tindak penggelapan, praktek suap-menyuap dan saling sogok.
Hanya saja Alatas mungkin alpa bahwa berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kapitalisme mengalami transformasi besar-besaran. Berbeda dengan kapitalisme awal yang digerakkan oleh mesin produksi, kapitalisme mutakhir bekerja atas dasar kontrol dan dorongan konsumsi yang semakin besar yang disertai dengan teknik pemasaran untuk menciptakan hasrat dan perilaku orang agar terus mengkonsumsi barang. Dalam “kapitalisme konsumeris” sebagian besar barang-barang konsumsi yang khas dan mewah diproduksi, dan pada saat yang sama hasrat hidup terhadap kemewahan itu terus menerus direproduksi. Konsumerisme bahkan mengubah sikap, tingkah laku dan cara pandang manusia modern dalam hidup sehari-hari, bahkan mendefinisikan kembali makna “kebutuhan hidup” yang merangsang siapapun untuk membelanjakan barang-barang konsumeris yang dipersepsi sebagai kebutuhan.
Di pandang dari sudut ini, tokoh antagonis semacam Gayus Tambunan pertama-tama bukanlah orang yang biasanya disebut oleh kaum agamawan sebagai orang tak bermoral. Tetapi, ia mesti dipandang sebagai seorang pegawai pajak yang terjerat dalam dilema untuk mengatasi rayuan “tekanan sosial” masyarakat yang serba konsumeristik dan materialistik –sebuah dilema yang dialami siapapun yang hidup berada tepat di jantung kinerja kapitalisme global.
Akhirnya, apa yang mau saya tekankan disini adalah praktek korupsi di negeri ini pertama-tama bukanlah perkara moral individual. Korupsi adalah hal ikhwal yang berkaitan erat dengan satu kinerja ekonomi dan politik, dengan praktek budaya-ideologi konsumerisme sebagai perekat kinerjanya (Sklair, 2001). Lewat konsumerisme dalam manajemen pembelanjaan negara, para koruptor menggarong anggaran publik. Lalu, mereka-mereka ini membelanjakan hasil korupsinya untuk satu atau dua apartemen/rumah mewah yang celakanya lagi dibangun oleh pebisnis yang mengeruk keuntungan dengan mengorbankan ruang ekologis (korupsi lingkungan).