Junta militer yang berkuasa di Myanmar kini lega. Badai ancaman terbesar sejak Jenderal Senior Than Shwe memimpin junta tahun 1992 berhasil dipadamkan. Tentara hanya membutuhkan waktu dua hari menggilas aksi unjuk rasa ribuan biksu dan mahasiswa, akhir September lalu. Sejak itu “aksi prodemokrasi” tamat. Amerika Serikat gagal mewujudkan Revolusi Kunyit para biksu menjadi sejenis Revolusi Bunga di Georgia dan Revolusi Orange di Ukraina.
Namun perang belum berakhir. Perjalanan masih panjang dan berliku. Pada pembukaan Sidang Umum PBB, akhir September lalu, Presiden AS George W Bush mengecam kebrutalan militer dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar. Bush mengimbau agar masyarakat internasional meningkatkan tekanannya terhadap junta dan mendesak PBB “membebaskan rakyat Myanmar dari tirani dan kekerasan”.
Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi di Myanmar? Minyak dan gas.
Prof Robert Rotberg dari Harvard University menulis, jika kebrutalan junta militer Myanmar merupakan hal serius bagi AS, Presiden Bush justru mendukung Presiden Mesir Hosni Mubarak yang mengabaikan hak asasi manusia. (Chicago Tribune, 7/10).
Politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Wartawan kawakan Pepe Escobar memahami hal ini. Ia menulis, jika Presiden Bush berbicara soal hak asasi manusia, yang dimaksud adalah minyak dan gas alam (Asia Times, 27/9).
Escobar mungkin benar karena sejak ditemukannya cadangan gas di lepas pantai barat, banyak terjadi perubahan. India, misalnya, negara demokrasi terbesar yang tadinya ikut mendesak junta agar melakukan reformasi dan berdialog dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, kini memilih diam.
Awalnya adalah penemuan gas di ladang Shwe (emas), Blok-A1, Teluk Bengal, tahun 2004. Diperkirakan, cadangan gas di ladang ini mencapai 5,6 triliun kaki kubik dan tidak habis selama 30 tahun dieksploitasi. Nilainya berkisar 37 miliar-52 miliar dollar AS. Junta militer nantinya memperoleh 750 juta dollar AS per tahun.
Sejak itu kawasan lepas pantai Myanmar sepanjang 1.500 kilometer, dari Teluk Bengal hingga perbatasan Thailand di Laut Andaman, mendadak menjadi perhatian. Terlepas dari apa pun sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS dan Masyarakat Eropa, kini perusahaan migas China, Rusia, Korsel, India, Jepang, Perancis, Singapura, Malaysia, dan Thailand berlomba-lomba melakukan eksplorasi.
Selat Malaka
Perkembangan baru ini membulatkan tekad China membangun pelabuhan di Sittwe, Teluk Bengal, berikut jaringan pipa migas melintasi Myanmar hingga Kunming, China Selatan, sepanjang 2.300 kilometer. Jika kelak jaringan pipa dengan biaya 3 miliar dollar AS itu selesai, seluruh transportasi kebutuhan impor minyak China dari Timur Tengah dan Afrika akan diturunkan di Sittwe, dan kemudian dipompa ke kilang di Kunming.
Menurut Lim Tai Wei, analis masalah China di Institute of International Affairs, Singapura, jika proyek pembangunan jaringan pipa itu selesai, geopolitik distribusi minyak di Asia Tenggara akan berubah. Selain itu, China memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil laut (World Politics Review, 21/8/2006).
Akan tetapi, lebih dari sekadar mempersingkat jarak, bagi China yang lebih utama adalah mengamankan jalur transportasi minyak impornya. Selat Malaka saat ini mulai bergeser ke “lampu kuning”. Terutama sejak peristiwa serangan 11 September, AS berusaha mendorong militerisasi Selat Malaka. Termasuk dengan menggandeng Angkatan Laut India, Australia, Singapura, Jepang, dan Thailand melakukan latihan perang-perangan.
AS menyatakan, latihan untuk kesiapan menangkal kemungkinan serangan teroris. Sebaliknya, China berpendapat, menghadapi teroris bukan dengan latihan perang dan mengerahkan kapal-kapal bersenjata rudal. Maka, apa yang sedang berlangsung adalah bagian dari persiapan skenario membendung China. Saat ini China dan AS adalah negara konsumen BBM terbesar di dunia. Kedua negara mengonsumsi lebih dari separuh BBM di pasar internasional. Persaingan kedua negara menguasai sumber-sumber BBM berlangsung ketat di Afrika. Heboh kasus pembantaian” di Darfur, Sudan, terkait dengan persaingan itu. Investasi China mendominasi sektor migas Sudan.
Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi sebagai pesaing harus dibendung pengaruhnya dan dilemahkan dari dalam. Pada awal kekuasaannya, Presiden Bush menyatakan China sebagai pesaing AS di masa mendatang, karena itu merupakan ancaman.
Dokumen yang diterbitkan Pentagon, Project for a New American Century and Its Implications (2002), memprediksi, persaingan AS-China akan meruncing tahun 2017, dan konfrontasi tidak terhindarkan. China khawatir suatu waktu AS akan memblokade Selat Malaka bagi lalu lintas transportasi BBM impornya. Dampaknya akan gawat karena 80 persen dari 3,5 juta barrel dari impor minyak China per hari diangkut lewat selat ini. Jalur alternatif memutar Samudra Hindia ke Selat Lombok akan menambah waktu pelayaran empat hari dan belum tentu aman.
“Hampir semua minyak impor China datang dari TimurTengah dan Afrika. Melihat situasi Selat Malaka saat ini, China harus memilih jalur yang lebih aman,” kata Prof Li Chengyang, salah satu penggagas jaringan pipa melalui Myanmar (Asia Times, 23/9/2004).
Namun masalahnya belum berakhir. Pembangunan pelabuhan Sittwe dan jaringan pipa belum dimulai, AS menggelindingkan isu bahwa China sedang membangun pangkalan angkatan laut di perairan Myanmar. Pangkalan ini merupakan stasiun mata-mata dan dapat digunakan memblokade Selat Malaka. AS menuding junta militer Myanmar memberi akses bagi China ke Samudra Hindia.
Di samping itu, AS tetap menginginkan tamatnya kekuasaan junta dan tampilnya pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. Jika ini terjadi, sebagai balas jasa kepada AS, Suu Kyi akan membatalkan perjanjian pembangunan jaringan pipa itu dengan alasan melanggar kedaulatan Myanmar.
China mengantisipasi hal ini jauh sebelumnya. Maka, China menggandeng India, sekutu AS yang disiapkan sebagai tandingan China, membangun proyek pipa senilai 3 miliar dollar AS. Junta juga setuju India membangun dan mengelola pelabuhan Sittwe. India menerimanya dengan senang hati dan berhenti berbicara soal Aung San Suu Kyi.