Jumat, 15 April 2011

Lucunya Wajah DPR kita

Keputusan rapat pimpinan DPR bersama pimpinan fraksi-fraksi untuk melanjutkan pembangunan gedung baru senilai Rp1,138 triliun menambah buruk citra lembaga wakil rakyat itu.
Elite politik di DPR seakan tidak mendengar, bukan saja penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, melainkan juga amanat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pembangunan gedung baru itu ditunda atau dibatalkan. Kita tahu, para pimpinan Dewan dan para elite partai itu berada di posisi sulit. Melanjutkan pembangunan salah, menunda atau membatalkan pembangunan juga salah.
Jika pembangunan dilanjutkan tanpa ada modifikasi total mengenai maket bangunan dan harga gedung,DPR benarbenar tuli dan seakan melakukan kudeta terhadap aspirasi rakyat.Jika pembangunan ditunda atau dibatalkan, pimpinan Dewan dan kesekjenan di DPR juga harus mempertanggungjawabkan uang yang sudah dikeluarkan bagi persiapan pembangunan gedung baru tersebut.
Penundaan atau pembatalan juga menunjukkan betapa keputusan yang sudah dibuat dan dipersiapkan lama terombang- ambing oleh tekanan politik dari bawah dan atas, yang telat untuk diakomodasi pimpinan DPR pada saat isu pembangunan gedung muncul ke permukaan. Di sini menunjukkan betapa kapasitas para pimpinan Dewan dan elite partai di DPR dalam melakukan komunikasi politik ke bawah, ke atas, dan yang sejajar amatlah rendah.
Seandainya pimpinan Dewan sejak awal mendengarkan aspirasi masyarakat dan mengajak masyarakat untuk berdialog secara terbuka, bukan mustahil pembangunan gedung baru itu dapat dilanjutkan dengan modifikasi total sesuai asas kepatutan dan kemampuan keuangan negara. Kesombongan Ketua DPR MarzukiAlie yang memandang rendah rakyat menjadi penyebab utama mengapa komunikasi politik ke bawah tak berjalan baik. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik justru diabaikan.
Suatu saat rakyat tentu akan menggunakan otoritasnya memilih untuk tidak memilih tokoh atau partai yang tidak mendengarkan aspirasi rakyat! Itulah hukum besi pemilihan umum yang demokratis yang juga sudah dialami PDIP pada Pemilu Legislatif 2004, dan bukan mustahil akan mengena pada partai atau kumpulan partai yang tidak mendengarkan suara rakyat saat ini.
Seandainya para elite partai juga satu kata dan perbuatannya, bukan mustahil drama sinetron berjudul ”Pembangunan Gedung Baru DPR” juga tidak sehingar-bingar seperti sekarang.Lihatlah betapa antara fraksi dan individu anggota partai bisa berbeda pandangan. Lihat pula bagaimana partai-partai politik berubahubah posisi dari mendukung menjadi menolak karena lingkungan politik memang menyebabkan mereka harus mengubah posisi dan peran.
Betapa pun ”cantiknya” permainan para individu elite politik di DPR berubah-ubah pendirian demi citra politik, rakyat tentu tetap akan mencatatnya. Sumber daya DPR saat ini, dari segi kualifikasi pendidikan, sebenarnya yang terbaik dibandingkan dengan periodeperiode sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bergelar S-1, S-2 dan bahkan S-3. Namun, rekrutmen politik dan pendidikan politik di tingkat partai tampaknya masih tetap menjadi masalah.Tidak sedikit dari anggota Dewan yang belum berfungsi baik karena kesadaran mereka sebagai wakil rakyat masih ada yang amat rendah.
Contoh konkretnya, masih banyak anggota Dewan yang malas mengikuti rapatrapat Dewan,baik rapat komisi ataupun rapat paripurna. Alasannya pun macam-macam, dari yang malas karena pengambilan keputusan di Dewan bertele-tele, terlalu banyak interupsi, sampai ke kuatnya oligarki DPR.Padahal,sebagai anggota Dewan memang mereka digaji buat ”bicara”. Tidak sedikit pula anggota Dewan yang kurang kreatif untuk menggali apa makna atau substansi rancangan undangundang yang sedang dibahas di pansus atau di panja.
Mereka seolah datang hanya mengikuti upacara sidang tanpa harus bersuara. Satu hal yang kini menjadi sorotan masyarakat adalah tingkah laku anggota Dewan saat menghadiri rapat. Di tengah hiruk-pikuk rapat, ada saja anggota Dewan yang asyik dengan peralatan elektronik canggihnya ber-chatting ria atau bahkan menonton video porno! Ini yang membuat rakyat semakin muak dengan tingkah laku para anggota Dewan.
Lebih gila lagi, kelakuan ini justru dilakukan oleh anggota Dewan dari partai yang berbasis agama,yaitu PKS. Perbaikan kualitas demokrasi antara lain terpulang pada kualitas para anggota Dewan. Rakyat akan merasa terwakili dan terserap aspirasinya apabila sebagian besar anggota Dewan benar-benar menyelami peran, fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.Mereka harus benar-benar menjadi wakil rakyat yang bertipe ”Utusan,” yang berupaya keras menggali aspirasi rakyat atau melakukan agregasi kepentingan dan mengartikulasikannya di dalam sidang-sidang DPR.
Rakyat juga berharap bahwa demokrasi bukan hanya untuk demokrasi semata, melainkan sebenar-benarnya untuk kepentingan rakyat.Demokrasi yang substansial, yakni demokrasi untuk kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat, masih menjadi impian yang belum menjadi kenyataan. Seandainya rekrutmen politik dan pendidikan politik berjalan baik di setiap partaipartai politik,kualitas anggota Dewan semakin baik, sistem pemilihan umum anggota legislatif makin baik pula, kualitas sistem perwakilan politik bukan mustahil akan juga meningkat.
Tapi, bila kondisi internal di masing-masing partai masih apa adanya seperti sekarang ini, jangan salahkan rakyat kalau tiba-tiba akan muncul gagasan liar untuk membuka kemungkinan ada calon independen untuk menjadi anggota legislatif. Jika ini terjadi,tindak tanduk anggota Dewan akan semakin liar dan sulit untuk mencapai konsensus atau kompromi politik.Politik dagang sapi juga akan semakin dahsyat di dalam setiap proses politik di Dewan.
Kini terpulang pada masingmasing partai politik untuk memperbaiki sistem rekrutmen dan pendidikan politik kadernya agar mereka yang masuk menjadi anggota Dewan adalah orang-orang yang benarbenar menyelami tanggung jawabnya sebagai anggota Dewan. Jika tidak,DPR bukan lagi ”Taman Kanak-Kanak”seperti kata almarhum Gus Dur, melainkan akan menjadi ”Kelompok Bermain” alias play-group bagi anak-anak balita yang lucu