Jumat, 15 April 2011

Politik Uang dan Demokrasi Kita

Milih sing ngeke’i kaos ambe duit ae (memilih yang memberi kaus dan uang saja),” ujar Lastri (35), pedagang kaki lima di Sidoarjo, Jawa Timur, saat ditanya siapa yang akan dipilih dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 yang dilaksanakan 23 Juli mendatang.

Ungkapan seperti disampaikan Lastri belakangan ini beberapa kali terdengar di Jatim saat pertanyaan serupa diajukan. Jawaban itu agaknya juga dipahami sebagian atau bahkan semua pasangan calon kepala daerah yang tengah bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim.

Hal ini terlihat dari kampanye sebagian pasangan calon, yang seolah adalah jawaban atas pernyataan Lastri. Misalnya, dengan mengadakan penjualan kebutuhan pokok berharga murah atau menggelar gerak jalan berhadiah sepeda motor. Sebagian calon juga tidak segan-segan mentraktir makan dan minum warga yang ditemui di tempat umum.
Sikap ”royal” pasangan calon peserta Pilkada Jatim ini bukan hal baru. Hal yang hampir sama juga terjadi di sejumlah pilkada. Misalnya, di Pilkada Kabupaten Bojonegoro, Jatim, akhir 2007. Saat itu Panitia Pengawas Pilkada setempat menemukan amplop berisi Rp 10.000 dan Rp 5.000 disertai ajakan memilih pasangan calon bupati tertentu.

Hal serupa ditemukan pada Pilkada Jawa Barat, 13 April 2008. Pada 9 April 2008, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada.

Sebagian warga masyarakat mungkin langsung menilai berbagai tindakan itu adalah praktik politik uang. Namun, anggota Komisi Pemilihan Umum Jatim, Didik Prasetyono, mengatakan, pemberian uang atau barang itu tidak bisa langsung dikategorikan sebagai politik uang.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, sebuah tindakan disebut politik uang jika terbukti untuk memengaruhi pilihan warga. Pembuktian ini yang sulit dan memakan waktu lama karena harus sampai pengadilan.

Kondisi inilah yang membuat belum pernah terdengar ada pasangan peserta pilkada yang pencalonannya dibatalkan oleh DPRD karena terbukti melakukan praktik politik uang.