Kamis, 14 April 2011

Teori Strukturalisme

Teori Sosiologi dapat dibagi sesuai dengan periode ditemukannya, yaitu, teori Sosiologi Klasik dan teori-teori Sosiologi Modern dan Post Modern. Teori Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern, karena dalam perkembangannya, teori ini terus dikembangkan dan menjadi teori Post Strukturalisme. Paper ini ditulis dalam rangka ingin   menjelaskan mengenai teori Strukturalisme Levi-Strauss, yang termasuk teori Sosiologi Modern, namun untuk memperjelas pembahasannya akan ditambah juga dengan pembahasan teori Strukturalisme Post Modern. Walaupun teori ini jelas memusatkan perhatiannya pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teoritisi Fungsionalisme Struktural (salah satu teori Sosiologi klasik). Perbedaanya pada tekanannya, yaitu Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya pada struktur sosial, sedangkan Teori Strukturalisme Levi-Strauss memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603).
Teori ini sebenarnya lebih terkenal sebagai teori Antropologi, tetapi  dalam perkembangannya juga dimasukkan dalam teori Sosiologi. Strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, justru memiliki peran yang sangat penting dalam menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya adalah bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu fenomena sosial dengan menggunakan analisis sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi, bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persoalan budaya dapat dilakukan melalui atau mencontoh metode bahasa (ilmu bahasa). Marcel Mauss (dalam Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa:
Sociology would certainly have progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists……”.
Maksudya Sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa dalam memahami gejala sosial. Salah satu ilmuwan sosial yang menggunakan cara bagaimana memahami bahasa dalam menjelaskan fenomena sosial adalah Levi-Strauss.
Levi-Strauss melakukan konseptualisasi ulang di bidang  Antropologi dengan sebutan "tiga nyonya" yaitu geologi, psikoanalisis, dan Marxisme untuk membantu membentuk tren dalam ilmu-ilmu sosial dan teori sastra, dan dipengaruhi oleh intelektualisme seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida. Lahir di Belgia, Levi-Strauss belajar filsafat di universitas Sorbonne, Paris dan mengajar Sosiologi di Brasilia pada 1930-an. Teori-teorinya didasarkan hasil penelitannya di belantara Amazone di Brasilia. Sebagian besar teorinya dibangun selama 3 tahun ketika menghabiskan waktu bersama  suku Indian di pedalaman Brasil.
Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang Antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau Antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh para ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan teori Strukturalisme Levi-Strauss itu.
N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan bahwa pikiran  dasar dari teori Struktural adalah: Pertama, linguistik struktural mengalami lompatan dari studi fenomena kesadaran linguistik pada infra-struktur nir-sadar. Kedua, Strukturalisme tidak menganggap istilah-istilah itu independen, tetapi menganalisis hubungan antar istilah-istilah yang saling terikat. Ketiga, Strukturalisme mengenalkan sistem konsep. Dan yang terakhir, linguistik struktural ditujukan untuk menemukan hukum umum (general laws) baik secara induksi maupun dengan cara deduksi.
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang Antropologi/Sosiologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda (simbol dalam bahasa) semakin mudah dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persoalan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul konsep itu dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya akan semakin mudah.
Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan ssosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika filsafat eksistensialisme mulai pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta peorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapan kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis menyangsikan  istilah-istilah kaya kunci eksistensialis seperti ,"manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan", "otonomi" dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka, yaitu: "ketidaksadaran", "struktur","diskursus","penanda" dan "petanda".
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur.
Dengan menggunakan teori linguistik dari Saussure (Semiologi), Levi-Strauss melakukan analisis terhadap masalah kekerabatan. Sistem kekerabatan terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi, seperti misalnya suami-istri, anak-bapak, saudara lelaki - saudara perempuan, paman-keponakan. Hubungan ini sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan sistem komunikasi. Bahasa adalah sistem komunikasi, karena informasi atau pesan-pesan yang disampaikan oleh satu individu pada individu lain. Kekerabatan adalah suatu sistem komunikasi, karena klen-klen atau famili-famili lain tukar-menukar wanita-wanita mereka. Sebagaimana halnya bahasa, kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak disadari. Ketidaksadaran menjadi sebuah unsur pokok yang menandai keberadaan manusia, hubungan antar manusia berada dalam sistem yang tidak disadarinya.
Berbeda dengan pandangan Heidegger bahwa seseorang harus memiliki tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri, manusia mempunyai putusan sendiri, ia bukan manusia "massal" atau diombang-ambingkan arus mode dan kecenderungan sosial. Supaya tidak menjadi manusia "massal" tentu dituntut kesadaran penuh tentang lingkungannya yang menurut strukturalis mustahil untuk disadari secara penuh. Perbedaan lain yang cukup mendasar, terutama dengan pemikiran fenomenologi, adalah pencapaian makna atau kebenaran atas yang ada. Bagi Heidegger, Ada itu sendiri tampak sebagai tidak tersembunyi (aletheia). Ini didapat dari Husserl,  seorang fenomenolog, yang mengatakan bahwa obyek kesadaran adalah fenomen dalam arti: ”apa yang menampakkan diri”. Ada sendiri menampakkan diri dan terbuka.
Sedangkan Levi-Strauss dengan mengacu pada Kant (P. Ricoeur menjuluki Levi-Strauss sebagai "kantianisme tanpa transendental") bahwa akal budi manusia memiliki sejumlah paksaan, ketentuan dan aturan (bentuk mental apriori, kategori, ide regulatif dan sebagainya) yang dikenakan pada kenyataan empiris. Namun kenyataan itu tidak pernah dimengerti seluruhnya, sebab tiap usaha merepresentasikannya pada dasarnya kurang memadai, kendatipun kenyataan konkret tidak bisa dipahami secara lain, kecuali lewat paksaan mental tersebut. Menurut Levi-Strauss, "Pemahaman" berarti memahami keberadaan sesuatu yang spontan dan tampak bagi kita itu kepada suatu taraf yang lebih dalam, sambil menyadari bahwa realitas yang sebenarnya tidak pernah tampak sendiri dan langsung kelihatan, tetapi justru suka menyembunyikan diri. Dan sisa-sisa penyembunyian diri itulah yang merupakan bekas-bekas yang hendak "dibaca" sebagai tanda penyingkapan diri yang tak langsung dari kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya. Makna yang dicari tersembunyi dalam benda-benda yang tampak. Tugas strukturalis lah untuk mengorek makna yang laten tersebut. Seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa Levi-Strauss enggan menggunakan nama "strukturalisme" yang terlalu ideologis, ia memang menolak beberapa pandangan umum mengenai strukturalisme bahwa aliran ini anti humanisme, mengabaikan manusia dan melarutkannya dalam struktur yang berkuasa. Melalui kajian Antropologi budaya, Levi-Strauss membentuk strukturalisme sebagai "humanisme integral baru" yang mengkritik dan mengatasi humanisme klasik Barat. Humanisme klasik dianggap mangancam kehidupan manusia, karena menciptakan pemisahan dan pertentangan antara manusia dan alam, antara budaya Barat dan budaya lain ( non Barat) yang dianggap inferior (merasa rendah dari Budaya Barat). Sebaliknya "humanisme baru" dengan pola strukturalisme ini tidak mengadakan garis pemisah dan penggusuran yang fatal, tetapi justru menekankan sifat saling terkait dan mencakup segala sesuatu.
Hal ini jelas terdapat persamaan dengan pemikiran Heidegger yang juga mengkritik metafisika Barat yang memisahkan subyek (manusia) dan obyek (alam). Penguasaan subyek atas obyek ini dibenahi dengan istilah menggembalakan ada, artinya tidak menguasai keadaan. Persamaan lain adalah keduanya sama-sama menentang bentuk teknik (kemajuan teknologi di Barat) yang jika tidak diwaspadai akan menjadi subyek baru dan menindas keberadaan manusia. Levi-Strauss menyatakannya dengan keprihatinan terhadap nasib masyarakat primitif yang dilenyapkan oleh kekuasaan kolonial Barat demi keuntungan ekonomis (penjajahan yang menggunakan penemuan-penemuan alat /teknik modern).
Kebudayaan primitif menurut Levi-Strauss memiliki keaslian dalam menciptakan patokan keselarasan manusia dengan alam dan sesamanya. Rasa kagumnya terhadap budaya primitif tertuang dalam bukunya Mythologica III.
Dia mengammbarkan kebudayaan primitif sebagai berikut:
"Suatu humanisme yang seimbang, tidak bermula dengan hidup manusia sendiri, tetapi mengutamakan dunia dan alam semesta atas hidup, mengutamakan hidup atas manusia sendiri dan mengutamakan rasa hormat terhadap mahluk-mahluk lain melampaui rasa cinta diri sendiri".

Kedua pemikir memiliki beberapa perbedaan dan kesamaan. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dilihat sebagai bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Ketika Levi-Strauss dengan strukturalismenya berusaha menghilangkan dualisme subyek dan obyek yang dianggap mengancam kehidupan manusia maka ia meleburkannya dalam kesatuan struktur yang tak terpilah. Bahaya baru dapat saja muncul dengan tidak ditekankannya pribadi kreatif manusia dan bisa terjebak menjadi manusia "massal". Kekurangan ini dapat dilengkapi dengan pemikiran Heidegger yang meski mengkritik dualisme tersebut, ia tetap menekankan sosok manusia yang autentik. Meski tidak mungkin juga manusia menghindari sepenuhnya arus massa tapi dengan bantuan kesadaran dengan hati nurani manusia yang tidak mudah hanyut.
Strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran yang sangat menonjol dalam khazanah pemikiran di Dunia Barat, terutama Eropa Barat, pada dekade 1960-an. Sebuah periode yang ditandai dengan pergolakan intelektual dan juga ditandai dengan berkembang pesatnya strukturalisme, eksistensialisme dan juga yang tidak dapat dilupakan adalah perkembangan Frankfurt School (teori Kritik). Pergolakan intelektual ini juga diwarnai dengan pergolakan mahasiswa yang hidup dalam affluent society, sebagaimana yang terjadi dalam revolusi mahasiswa di bulan Mei 1967 di Paris di Perancis yang menuntut perluasan demokrasi serta penghentian praktek kolonialisme Perancis serta juga gerakan New Left yang menjadikan Herbert Marcuse sebagai “nabi” yang menginspirasi gerakan mereka.
Di tengah kapitalisme yang melahirkan masyarakat serba melimpah di Eropa Barat dan Amerika Serikat serta komunisme di Uni Sovyet yang mengundang decak kagum banyak orang dengan keberhasilannya menjangkau bulan, ilmu sosial di Perancis melahirkan strukturalisme, sebuah genre pemikiran yang melampaui Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran pada saat itu. Adalah Ferdinand de Saussure yang mengawali kajian strukturalisme dalam bahasa, walaupun sebenarnya istilah strukturalisme diperkenalkan pertama kali bukan oleh Saussure, namun oleh Roman Jakobson, seorang ahli linguistik dari Rusia (Payne, 1996:513). Saussure secara brilian melepaskan kajian tentang tanda bahasa dari suatu kajian yang  merupakan kajian yang bersifat linguistik semata.
Kata “struktur” yang menjadi dasar dari pemikiran strukturalisme dapat kita lacak dengan memahami Semiotika (Semiotics) atau Semiologi (Semiology) yang dikembangkan secara brilian oleh Saussure untuk mengkaji tanda bahasa. Saussure memproklamirkan bahwa tanda bahasa dibangun melalui struktur relasi antar tanda bahasa yang menunjukan adanya perbedaaan (Payne, 1996:513). Perbedaan inilah yang kemudian dikenal sebagai oposisi biner (binary opposition) yang dapat diterapkan hampir ke semua tanda bahasa.
Semiotika sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah ”tanda”. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur ”penanda” (signifier) dan ”petanda” (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan ”tanda” (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa.
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer.
Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).
Agar lebih jelas, kita dapat mengikuti contoh yang dikemukakan oleh Saussure berikut ini. Dalam permainan catur, para pemain harus mengikuti struktur aturan yang telah ada dan tidak mungkin permainan ini dimainkan jika para pemainnya keluar dari aturan permainan. Sebagai ilustrasi adalah bidak kuda dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas untuk menggerakkan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole. Satu hal yang harus diingat kebebasan menggerakkan kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini, karena jika bergerak selain gerak “L”, maka hancurlah struktur permainan catur itu.
Paper ini juga mencoba untuk menjelaskan teori Strukturalisme Levi Strauss, dengan menjabarkan keadaan sosial yang terjadi pada saat teori ini dibangun, teori lain yang mempengaruhi, riwayat hidup penemunya, penjelasan tentang teorinya dan juga kritik terhadap teori tersebut.