Kamis, 19 Mei 2011

Fiminisme Indonesia, sebuah feminisme Kartini

Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum yang dalam perkembangan jaman, di mana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan berada di bawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern itu? Tapi, itulah Kartini. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotip pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad ke-18 oleh Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Feminisme di Indonesia
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotip, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya “breakthrough” yang diperjuangkannya pada sebuah era saat budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif.
Feminisme Kartini juga lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga. Kartini, yang semasa hidupnya dibesarkan oleh kebiasaan-kebiasaan feodal karena berasal dari kalangan priyayi dan berayahkan seorang Bupati, sudah memiliki keberanian untuk melawan budayanya sendiri, bahkan jamannya.
Tetapi, banyak yang tidak memperhatikan bahwa karena budaya patriarki itulah sebenarnya Kartini dapat menjadi seorang Kartini yang kita kenal sekarang sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga priyayi, maka kehidupan Kartini sebetulnya bisa dibilang baik. Ia tidak mengalami kesulitan seperti banyak perempuan lain yang pada masa itu masih terjerat kemiskinan dan kebodohan. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda itulah ia mulai membaca dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, terutama Belanda.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi perempuan, tapi juga masalah sosial umum. Bahkan, dalam sebuah buku kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar berjudul “Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme,” Kartini banyak bicara masalah yang dewasa ini menjadi perbincangan kita semua, yaitu masalah sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Kartini melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Ini inti dari Feminisme Kartini yang tidak terfokus pada perempuan saja.