Kata Ekstradisi berasal dari bahasa latin "extradere” (kata kerja) yang terdiri dari kata “ex” artinya keluar dan “Tradere” artinya memberikan (menyerahkan, kata bendanya “Extradio” yang artinya penyerahan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979, Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejehatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya.
Pada umumnya, ekstradisi adalah sebagai akibat dari hak asylum yaitu tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.
DASAR HUKUM EKSTRADISI
Adanya permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain didasarkan pada 4 (empat) hal yaitu :
1.Perundang-undangan Nasional
Pada abad ke-19 banyak negara yang telah menetapkan Undang-undang Ekstradisi. Dalam penetapan tersebut, sebagian mereka dipengaruhi keinginan untuk menyelamatkan kemerdekaan seseorang dan sebagian lagi oleh pandangan mereka bahwa segala hukum pidana dan prosedur harus didasarkan pada perundang-undangan.
2. Perjanjian Ekstradisi
Setelah menetapkan Perjanjian Ekstradisi, selanjutnya diteruskan dengan usaha membuat perjanjian atau konvensi untuk mengadakan keseragaman ekstradisi dan prosedurnya, yang terdiri dari :
Perjanjian bilateral yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh 2 (dua) negara, dimana masing-masing negara harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Perjanjian multilateral dan konvensi yaitu suatu perjanjian yang ditandatangani oleh lebih dari 2 (dua) negara. Sejumlah negara yang mempunyai hubungan geografis, historis atau kebudayaan atau mempunyai kepentingan bersama dalam bidang ekonomi telah mengambil ketentuan guna membuat standar Undang-undang Ekstradisi dengan menandatangani konvensi.
3. Perluasan Konvensi Internasional
Ekstradisi dapat didasarkan atas perluasan suatu Konvensi tertentu yang menyatakan bahwa ekstradisi dapat diberikan dalam hal pelanggaran yang disebut dalam perjanjian. Contohnya sebagai berikut :
Konvensi Internsional tanggal 30 September 1921 tentang Pemberantasan Perdagangan Wanita dan Anak-anak. Dalam Pasal 4 menyatakan bahwa dalam persoalan dimana tidak ada Konvensi Ekstradisi, maka akan diambil segala cara untuk mengekstradisikan tersangka.
Konvensi Tahun 1929 tentang Pemberantasan Pemalsuan uang ( Pasal 9 dan 10)
4. Tata Krama Internasional
Dalam hal tidak terdapat hukum, perjanjian atau konvensi yang mengatur sebagaimana tersebut diatas, ekstradisi dapat dilaksanakan atas dasar suatu tata krama oleh negara terhadap negara lain yang disebut ”Disguished Extradition”.
UNSUR-UNSUR EKSTRADIS
Pada umumnya penyerahan pelaku kejahatan dilakukan karena terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pelaku Kejahatan (Fugitive Offender)
2. Negara Peminta (Requesting Country)
3. Negara yang diminta (Requested Country)
4.Permintaan dari Negara Peminta
5.Tujuan penyerahan pelaku kejahatan.
SIAPA YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
Ekstradisi hanya dapat diminta terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran dalam wilayah suatu negara yang bukan negara dimana orang tersebut ditemukan, dengan syarat tambahan sebagai berikut :
1.Orang tersebut harus dalam pencarian oleh petugas hukum dari suatu negara, baik karena tuduhan melakukan suatu pelanggaran dan belum diadili atau karena orang tersebut telah terbukti bersalah tetapi belum menjalani hukuman yang dijatuhkan padanya.
2.Dalam sebagian besar kasus, orang tersebut harus bukan warga negara dari negara yang diminta untuk mengekstradisi.
BAGAIMANA EKSTRADISI DAPAT DIBERIKAN
Permintaan ekstradisi dapat diberikan apabila pelanggaran hukum dari tersangka adalah :
Suatu kejahatan biasa
Pelanggaran fiskal, militer (kecuali negara-negara Benelux) dan pelanggaran politik tidak termasuk dalam tipe pelanggaran hukum dimaksud.
Suatu pelanggaran hukum baik oleh negara Peminta atau Negara yang Diminta (Prinsip Double Criminality) Azas ”Own National can not be Extradite” , yaitu dimana warga negara sendiri tidak dapat diekstradisikan.
Pelanggaran sebelumnya tidak lebih dulu terhadap pelanggaran hukum yang sama (Prinsip Nebis in Idem)
Tidak kadaluarsa menurut ketentuan Undang-undang Negara Peminta atau Negara Diminta
di Khusus Indonesia, berdasarkan pasal 2 Undang-undang Ekstradisi RI, KB 8 Mei 1883.S.83-188 : kejahatan tersebut harus merupakan ”Serious enough to warrant” (recht vaardien).
di Khusus Indonesia, berdasarkan pasal 2 Undang-undang Ekstradisi RI, KB 8 Mei 1883.S.83-188 : kejahatan tersebut harus merupakan ”Serious enough to warrant” (recht vaardien).
Azas bahwa permintaan ekstradisi dapat ditolak bila perkara tersebut sedang dalam pemeriksaan.
ASPEK-ASPEK EKSTRADISI
Terdapat 2 (dua) aspek dalam ekstradisi yaitu :
1. Adanya tindakan suatu pemerintah yang melepaskan wewenang atas seseorang dengan menyerahkan kepada pemerintah negara lain.
2. Langkah-langkah yang telah diambil yang membuktikan bahwa si pelanggar memang ditahan, baik untuk dituntut maupun untuk menjalani hukuman.
Hal ini adalah tanggung jawab dari badan peradilan yang juga harus menunjukkan bhawa orang dimaksud memang sah menurut hukum yang berlaku di negara pemberi ekstradisi agar dapat diekstradisikan.
Lembaga yang mempunyai peranan dalam prosesdur ekstradisi adalah Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
PROSEDUR DAN PROSES EKSTRADISI
Dalam implementasinya, UU Ekstradisi no. 1 tahun 1979 telah mengatur dengan cukup jelas prosedur dan proses yang harus diikuti dalam hal “Negara lain mengajukan permintaan ekstradisi kepada Indonesia” (Indonesia sebagai negara yang diminta) dan “ Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi kepada negara lain” (Indonesia sebagai negara peminta) sebagai berikut :
1. Indonesia sebagai negara yang diminta (Requested Country)
Sesuai UU Ekstradisi No. 1 Tahun 1979, prosedur yang harus ditempuh apabila negara lain mengajukan permintaan ekstradisi kepada Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Negara peminta (instansi yang berwenang) mengajukan permintaan pencarian, penangkapan dan penahanan sementara (provisional arrest) atas orang yang dicari kepada Kapolri atau Jaksa Agung RI dengan menjelaskan mengenai :
a. identitas orang yang dicari,
b. foto,
c. sidik jari,
d. uraian singkat tindak pidana yang dilakukan,
e. ancaman hukuman
f. informasi tentang keberadaannya di Indonesia.
Permintaan tersebut dapat diajukan melalui saluran Interpol atau saluran Diplomatik.
b. Polri atau Kejaksaaan melakukan pencarian dan melakukan penangkapan dan penahanan sementara sesuai dengan permintaan negara peminta.
c. Apabila orang yang dicari dapat ditangkap/ ditahan, selanjutnya Polri atau Kejaksaan melalui saluran diplomatik dan atau Interpol memberitahukannya kepada negara Peminta, agar negara Peminta segera mengajukan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Republik Indonesia (Menteri Kehakiman RI0 paling lambat 20 hari terhitung sejak dilakukan penangkapan (atau sesuai Perjanjian Ekstradisi antara negara Peminta dan Indonesia).
d. Jika dalam waktu yang telah ditentukan Pemerintah Indonesia (Departemen Luar Negeri RI) tidak menerima permintaan ekstradisi dari Negera Peminta, Polri atau Kejaksaan harus membebaskan orang yang dimintakan ekstradisinya.
e. Permintaan Ekstradisi dan berkas persyaratan disampaikan oleh Negara Peminta kepada Menteri Luar Negeri RI melalui saluran diplomatik. Departemen Luar Negeri RI memberitahukan kepada Kapolri, Jaksa Agung, Menetri Kehakiman dan Mahkamah Agung bahwa permintaan ekstradisi dari negara peminta telah diterima.
f. Selanjutnya, Menteri Luar Negeri RI secepatnya menyampaikan surat dan berkas asli permintaan tersebut kepada Menteri Kehakiman RI dengan tembusan Kapolri, Jaksa Agung dan Mahkamah Agung.
Menteri Kehakiman RI melakukan pengecekan tentang kelengkapan berkas permintaan ekstradisi tersebut. Jika diketemukan ada kekurangan, Menteri Kehakiman RI dapat meminta kepada Negara Peminta (melalui saluran diplomatik) untuk melengkapi dokumen yang kurang.
h. Dalam hal belum ada Perjanjian Ekstradisi, apabila berkas permintaan ekstradisi telah lengkap, Menteri Kehakiman dapat meminta pertimbangan kepada Kapolri, Jaksa Agung dan Menteri Luar Negeri RFI untuk emminta Keputusan Presiden RI, apakah permintaan ekstradisi tersebut disetujui atau ditolak untuk diproses lebih lanjut.
Jika disetujui, Menteri Kehakiman RI meneruskan permintaan ekstradisi tersebut kepada Kapolri untuk diproses.
Jika ditolak, Menteri Kehakiman RI meminta kepada Menteri Luar Negeri RI untuk memberitahukan penolakan tersebut kepada Negara Peminta.
i. Dalam hal ada Perjanjian Ekstradisi, Menteri Kehakiman RI mengirimkan berkas asli permintaan ekstradisi kepada Kapolri atau Jaksa Agung untuk proses lebih lanjut (tidak perlu meminta Keputusan Presiden terlebih dulu).
j. Kapolri atau Jaksa Agung memerintahkan penyidiknya untuk melakukan tindakan pemeriksaan orang yang dimintakan ekstradisi dan mengajukan berkas perkaranya kepada Jaksa Penuntut Umum.
k. Jaksa Penuntut Umum mempunyai waktu 7 (tujuh) hari untuk mengajukan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri Setempat.
l. Pengadilan Negeri memeriksa perkaranya dengan mengadakan sidang 2 atau 3 kali, kemudian membuat Penetapan Pengadilan tentang dapat atau tidak dapat orang tersebut diekstradisikan.
m. Pengadilan Negeri menyampaikan Penetapan tersebut kepada Menteri Kehakiman RI.
n. Setelah menerima Penetapan Pengadilan, Menteri Kehakiman RI meminta pertimbangan Kapolri, jaksa Agung dan Menteri Luar Negeri RI.
o. Selanjutnya, Menteri Kehakiman RI menyampaikan Penetapan Pengadilan, Pertimbangan Kapolri, jaksa Agung dan Menteri Luar Negeri RI kepada Presdien RI dan meminta Keputusan Presiden atas permintaan ekstradisi yang diajukan Negara Peminta.
p. Presiden RI mengambil keputusan dan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden tentang apakah permintaan ekstradisi tersebut dikabulkan atau ditolak. Jika ditolak, maka orang yang dimintakan ekstradisi harus segera dibebaskan.
q. Setelah menerima Keputusan Presiden, Menteri Kehakiman RI memberitahukannya kepada kapolri, Jaksa Agung dan Menteri Luar Negeri RI untuk memberitahukannya kepada Negara Peminta.
r. Menteri Kehakiman RI juga memberitahukan kepada Negara Peminta melalui saluran diplomatik dan Interpol mengenai tempat, tanggal dan jam penyerahan orang yang diekstradisikan.
s. Dalam pelaksanaan penyerahan dari Pemerintah Indonesia (diwakili oleh Departemen Kehakiman) kepada Negara Peminta (diwakili oleh Kedutaan Besar) dibuat Berita Acara Penyerahan dengan disaksikan oleh Staf Departemen Luar Negeri dan perwakilan Polri.
2. Indonesia sebagai Negara Peminta (Requesting Country)
Dalam UU Ekstradisi No. 1 tahun 1979 disebutkan bahwa yang dapat mengajukan permintaan ekstradisi kepada Menteri Kehakiman RI adalah Kapolri dan Jaksa Agung. Permintaan Ekstradisi dilakukan apabila orang yang dicari sudah diketahui keberadaaanya secara pasti di suatu negara. Prosedur pengajuan permintaan ekstradisi khususnya di Polri adalah sebagai berikut :
Disguished Extradition
Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).
Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam UU Ekstradisi.