A. Latar Belakang
Masyarakat internasional sudah sejak lama mengenal perdagangan antarnegara. Kebiasaan-kebiasaan ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Lex Mercatoria ( Law Of Merchant). Perdagangan yang dilakukan negara-negara pada saat itu masih bersifat sederhana dan lebih banyak berlangsung secara bilateral ataupun regional yang didasarkan kedekatan geografis.Namun, seiring perkembangan teknologi dan informasi hubungan perdagangan antarnegara menjadi kompleks. Dunia semakin mengecil dan tanpa batas.
Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku universal. Kehancuran ekonomi (khususnya Eropa) pasca perang dunia kedua menambah keyakinan masyarakat internasional untuk segera membentuk sebuah kerjasama di bidang perdagangan.
GATT lahir dengan tujuan untuk membuat suatu unifikasi hukum di bidang perdagangan internasional itu. Meskipun pada awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari Amerika Serikat, maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian GATT ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat dalam GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu pertemuan yang berhasil adalah putaran Uruguay (Uruguay Round) antara tahun 1986-1994. Pada putaran itu dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan internasional yang disebut sebagai World Trade Organization (WTO).
Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk melembagakan ketentuan-ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah disepakati dalam GATT. Upaya tersebut membuktikan keinginan dunia internasional untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas.
Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan multilateral. Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan pasal 24 ketentuan GATT tentang diperbolehkannya pembentukkan kerjasama-kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan pasal 24 GATT memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.
Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian-perjanjian perdagangan regional. Perjanjian perdagangan regional (RTA) ini tumbuh karena bersifat lebih mudah dan aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi di WTO.
Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberi keuntungan-keuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya AFTA untuk mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan preferensi terhadap barang-barang yang berasal dari negara ASEAN.
Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya. Kesan-kesan tersebut juga timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya. Banyak pendapat yang mengemuka bahwa dengan adanya perjanjian perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal ketentuan GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkanya untuk membentuk perjanjian perdagangan regional.
B. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan perjanjian perdagangan regional dalam kerangka WTO?
2. Bagaimana pengaturan perjanjian perdagangan regional yang terdapat dalam AFTA?
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Perjanjian Perdagangan Regional dalam WTO
Jika melihat sejarah perdagangan internasional, maka akan terlihat pada awalnya hubungan itu dilakukan secara bilateral. Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama; hal tersebut dilakukan karena kedekatan wilayah. Kedua; hal tersebut dilakukan berdasarkan motif kepentingan nasional, baik ekonomi maupun politik. Menurut penelitian dari Robertino V Fiorentino, Luis Verdeja dan Christelle Toqueboeuf, perjanjian perdagangan didasari dari motif politik dan ekonomi ketimbang alasan geografis.
Perjanjian perdagangan secara bilateral ini ternyata belum memberikan hasil yang sukses, karena kebutuhan antarnegara yang semakin kompleks. Menguatnya regionalisme pada awal tahun 1960 menarik perhatian negara-negara untuk menguatkan kembali kerjasama regional, khususnya dibidang perdagangan. Perkembangan berikutnya adalah mulai bermuculan perjanjian-perjanjian regional dibidang perdagangan.
Sebelum lahirnya perjanjian perdagangan regional, dunia internasional sudah menyepakati perjanjian perdagangan multilateral yaitu GATT. Dalam ketentuan GATT sendiri telah mengatur tentang diperbolehkannya pembentukan perjanjian perdagangan regional dengan syarat tidak mengganggu proses liberalisasi perdagangan dan kompetisi bebas.
Menurut Jo-Ann dan Robertino V. Fiorentino ada beberapa motif yang dimiliki oleh negara dengan membuat perjanjian perdagangan regional, yaitu:
1. Motif Ekonomi
a) Membuka akses pasar
b) Wahana promosi untuk menciptakan integrasi ekonomi
c) Fungsi ganda; menghilangkan kompetisi dan menarik investasi
2. Motif Politik
a) Terciptanya keamanan dan perdamaian regional
b) Kesulitan pengaturan dalam kerangka multilateral.
Kedua motif itu merupakan kunci dalam keberhasilan pembentukan perjanjian perdagangan regional. Kesepakatan-kesepakatan atas motif tersebut lebih dapat diakomodasi dalam kerangka regional daripada multilateral. Beberapa kegagalan yang dialami oleh negara-negara dalam perundingan perdagangan multilateral membuktikan bahwa usaha untuk menyelaraskan kepentingan antarnegara sangat sulit. Pilihan yang paling rasional adalah dengan membentuk perjanjian perdagangan regional karena relatif lebih mudah dan fleksibel.
Tipologi dalam perjanjian perdagangan regional saat ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Area Perdagangan Bebas (FTA)
2. Penyeragaman Cukai (Custom Union)
3. Pembatasan Ruang lingkup (Partial Scope Agreement)
Tipologi ini sebenarnya sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 24 ketentuan GATT. Pada dasarnya perjanjian perdagangan regional didasarkan pada pemberian preferensi kepada negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan hambatan perdagangan. Namun, apabila tindakan ini dilakukan tanpa batas maka kekhawatiran sebagian pihak bahwa perjanjian perdagangan regional akan merusak sistem perdagangan multilateral akan terwujud.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya berhasil diselesaikan dengan dikeluarkan putusan oleh GATT Council on Differential and Favourable Treatment (Enabling Clause) pada tahun 1979. Dalam paragraph 2(c) putusan tersebut ditentukan apabila negara berkembang melakukan tindakan preferensi maka ia wajib untuk melaksanakan ketentuan GATT tentang Most Favoured Nation Treatment (MFN).
Perjanjian perdagangan regional tidak hanya meliputi perdagangan barang saja. Dalam General Agreement on Trade and Services (GATS) pasal V juga ditentukan mengenai kebebasan untuk membuat perjanjian perdagangan jasa regional dengan syarat tidak boleh melanggar ketentuan dan prinsip yang diatur dalam GATS.
Menurut Jo-Ann Crawford dan Robertino V. Fiorentino terdapat kecendrungan dalam perjanjian perdagangan regional saat ini, yaitu :
1) Melibatkan negara-negara lintas dunia Perkembangan saat ini ternyata tidak menganut paham regional secara ketat, namun melintasi batas-batas regional.
2) Perjanjian Perdagangan Regional kini bersifat kompleks Kompleksitas ini terlihat dengan aturan-aturan yang dibuat dalam perjanjian yang terkadang melampaui perjanjian perdagangan multilateral.
3) Klausul Tindakan Preferensi Timbal balik (Reciprocal Preferential Agreement)
4) Meningkatnya ekspansi dan konsolidasi perjanjian perdagangan regional.
Kecendrungan seperti ini secara sekilas dapat membahayakan perjanjian perdagangan multilateral. Namun, berdasarkan pendapat beberapa pakar, bahwa perjanjian perdagangan regional harus ditempatkan sebagai pelengkap dari perjanjian perdagangan multilateral. Argumen yang diajukan adalah; Pertama: perjanjian perdagangan regional merupakan tahap awal terbentuknya liberalisasi perdagangan. Adanya sistem preferensi diharapkan berlanjut dengan diberlakukanya tindakan Most Favoured Nation (MFN). Kedua: tidak adanya persyaratan yang ketat dalam GATT/WTO tentang perjanjian perdagangan regional, memberikan keleluasaan untuk menentukan bentuk perjanjian.
Kebebasan yang diberikan oleh GATT/WTO dalam membentuk perjanjian perdagangan regional merupakan sebuah pengakuan bahwa potensi keberhasilan dalam kerangka regional lebih ampuh ketimbang multilateral. Sebab jika pengaturan tentang pembentukan perjanjian perdagangan regional dilakukan secara ketat, maka kegagalan untuk menciptakan pasar dan kompetisi bebas akan benar-benar terjadi. Perjanjian perdagangan regional dapat dianggap sebagai ajang latihan berjenjang bagi negara-negara yang secara ekonomi belum mapan untuk kemudian membebaskan pasar domestiknya secara multilateral.
Meskipun jaminan kebebasan dalam membuat perjanjian perdagangan regional sudah dijamin oleh GATT/WTO, nampaknya masih terdapat keseragaman materi khas yang dicantumkan dalam perjanjian perdagangan regional. Adapun syarat dari perjanjian perdagangan regional adalah :
1) Terdapat pengaturan tentang asal barang (Rules of Origin)
2) Tindakan Preferensi bilateral (Bilateral Preferential Relationship)
Kedua syarat ini biasanya terdapat dalam setiap perjanjian perdagangan regional. Keseragaman ini mungkin dapat membuktikan bahwa kedua syarat tersebut merupakan sebuah titik kompromi yang mudah dicapai oleh para negara. Perjalanan GATT hingga WTO membuktikan prinsip-prinsip yang termuat dalam perjanjian sangat sulit ketika diimplementasikan. Prinsip-prinsip tersebut sukar untuk mencapai kesepakatan antarnegara karena mengatur terlalu luas. Padahal tiap-tiap negara mempunyai sistem ekonomi dan kepentingan yang berbeda-beda.
Ruang lingkup sederhana yang dianut dalam skema perjanjian perdagangan regional membuktikan keampuhanya, yaitu dengan makin banyaknya perjanjian-perjanjian perdagangan regional yang didaftarkan ke GATT/WTO. Menurut data tahun 2006 terdapat 367 perjanjian perdagangan regional yang terdaftar sepanjang GATT dan kemudian WTO. Namun, hingga Desember 2006, perjanjian regional yang masih aktif (in force) berjumlah 170 perjanjian.
Perjanjian perdagangan regional juga memiliki kriteria fundamental yang harus dipenuhi untuk menghindari terganggunya perdagangan multilateral. Kriteria tersebut adalah :
1) Transparansi (notifikasi ke GATT/WTO)
2) Komitmen untuk memperkokoh liberalisasi perdagangan dalam wilayah regional
3) Netralitas ketika berhubungan dengan negara ketiga.
Pengawasan perjanjian perdagangan regional dalam kerangka WTO belum berhasil mencapai kesepakatan. Negara anggota GATT/WTO hanya berhasil untuk membentuk Committee on Regional Trade Agreement (CRTA) pada Februari 1996. Fungsi dari CRTA yang pertama adalah hanya meninjau semua perjanjian perdagangan regional yang didaftarkan ke GATT/WTO. Kedua adalah mempertimbangkan implikasi dari perjanjian perdagangan regional terhadap sistem perdagangan multilateral dan antara perjanjian itu satu sama lain.
CRTA tidak memiliki kewenangan yang kuat. Komite itu hanya memiliki fungsi administratif dan studi kelayakan tanpa bisa memberi keputusan yang mengikat. Usulan untuk memperkuat fungsi dari CRTA coba di bawa dalam perundingan Putaran Doha tahun 2001 yang kemudian gagal untuk mencapai kesepakatan. Namun yang menarik dari hasil KTM IV di Doha adalah sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa anggota WTO menyadari betapa pentingnya perjanjian perdagangan regional dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan serta mempercepat pertumbahan ekonomi dan kebutuhan untuk melakukan harmonisasi hubungan antara proses multilateral dan regional.
B. ASEAN Free Trade Area (AFTA)
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta lebih penduduknya.
Pendirian AFTA diawali dengan kesepakatan negara anggota ASEAN tentang ASEAN Preferential Trade Association (PTA) pada tahun 1977 yang bertujuan untuk memberik keuntungan-keuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. PTA ini merupakan kesepakatan untuk mengurangi hambatan perdagangan terhadap produk-produk tertentu. Pada awalnya, skema yang dibangun bersifat sukarela dimana negara anggota diberi pilihan untuk menunjuk produk-produk apa yang diberikan konsesi. Kelemahan PTA meneurut Adolf adalah penggunaan metode positive list yaitu penyebutan produk-produkyang tercantum dalam liberalisasi. Metode ini tidak memberikan manfaat yang banyak karena banyak produk yang tidak dimasukkan.
ASEAN kemudian membentuk Framework Agreement on Enhancing Economic Cooperation pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Perjanjian ini kemudian melahirkan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun. Pada KTT ASEAN di Bangkok tahun 1995, jangka waktu tersebut dikurangi menjadi 10 tahun, dengan ketetapan bahwa penghapusan rintangan dimulai tahun 1993. Tujuan strategis AFTA adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional ASEAN sebagai suatu kesatuan unit produksi. Untuk mencapai tujujan tersebut maka negara anggota ASEAN berkomitmen untuk melakukan penghapusan tariff dan non-tarif untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas dan daya saing negara anggota ASEAN.
Akibat kelemahan dari PTA untuk mencapai tujuan stategis tersebut maka dibuat Agreement on Common Effective Preferential Tariff Scheme (The CEPT-AFTA Agreement) pada tahun 1992 yang kemudian diamandemen pada tahun 1995 dalam bentuk protokol. Skema CEPT-AFTA merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Pengurangan tarif atas produk-produk tertentu hingga kurang dari 20% dilakukan dalam kurun waktu 5 hingga 8 tahun. Negara anggota diberi tambahan waktu tambahan selama 7 tahun untuk mengurangi tarif hingga 5% atau kurang. Meskipun negara-negara anggota didorong untuk mengurangi tingkat tarif tahunanya, namun mereka diberikan kebebasan untuk membuat rencana individualnya masing-masing untuk mengurangi bea masuk.
Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.
CEPT-AFTA mencakup semua produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. Produk-produk pertanian yang sensitif dan sangat sensitif dikecualikan dari skema CEPT-AFTA.
Produk CEPT diklasifikasikan kedalam 4 daftar, yaitu :
1) Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Jadwal penurunan tarif
b) Tidak ada pembatasan kwantitatif
c) Non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
2) General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupandan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Contoh : senjata dan amunisi, narkotik.
3) Temporary Exclusions List (TEL). Yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan kedalam IL paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-prodiuk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
4) Sensitive List (SL), yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP ).
a) Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmonized System Code (HS), dan bahan baku pertanian yang sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS;
b) Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya. Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk masing-masing negara sbb: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun 2015; Kamboja tahun 2017. Contoh : beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh.
Suatu produk yang dapat memperoleh konsesi CEPT apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari negara eksportir maupun importir.
2) Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council);
3) Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%. Suatu produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara anggota ASEAN.
CEPT-AFTA juga memasukan syarat perjanjian perdagangan regional mengenai asal barang (Rules of Origin). Pengertian asal barang dalam CEPT adalah sebagai sejumlah kriteria yang digunakan untuk menentukan negara atau wilayah pabean asal dari suatu barang atau jasa dalam perdagangan internasional. Selain mengatur penghapusan tarif CEPT-AFTA juga mengatur penghapusan hambatan pembatasan kwantitatif (quantitative restriction) dan hambatan non-tarif (non-tariffs barriers) serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhgadap produk-produk CEPT.
Struktur dalam CEPT-AFTA adalah menteri-menteri Ekonomi ASEAN. Dalam rangka implementasi perjanjian CEPT-AFTA maka telah dibentuk Dewan Menteri dari negara-negara anggota ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Dewan AFTA bertugas mengawasi, mengkoordinasikan dan mengadakan perjanjian terhadap inplementasi Perjanjian CEPT-AFTA. CEPT-AFTA juga mengatur tentang mekanisme pengaman (Safeguard Measures) ketentuan tersebut diatur dalam pasal 6 perjanjian CEPT yaitu apabila implementasi skema CEPT mengakibatkan impor dari suatu produk tertentu meningkat sampai pada suatu tingkat yang merugikan terhadap sektor-sektor atau industri-industri yang memproduksi barang sejenis, maka negara anggota pengimpor dapat menunda pemberian konsensi untuk sementara, sebagai suatu tindakan darurat. Penundaan tersebut harus konsisten dengan pasal XIX dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Negara anggota yang mengambil tindakan darurat tersebut, harus menotifikasi segera kepada Dewan AFTA melalui sekretariat ASEAN dan tindakan tersebut perlu dikonsultasikan dengan negara-negara anggota lain yang terkait.
Selain CEPT-AFTA ada beberapa instrumen hukum yang berkaitan pelaksanaan mekanisme tersebut yaitu:
1. Revised Agreement on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area (AFTA);
2. Daftar produk CEPT dan jadwal penurunan tarif;
3. Surat keputusan Menteri Keuangan tentang penepatan Tarif Bea Masuk atas Impor
Barang Dalam Rangka Skema CEPT.
Dengan adanya CEPT-AFTA ini maka PTA tidak berlaku lagi, sebab CEPT-AFTA telah memiliki kekuatan hukum mengikat setelah diratifikasi oleh semua anggota ASEAN. CEPT-AFTA konsisten dengan GATT, dan merupakan skema yang bersifat berorientasi keluar (outward-looking). Skema CEPT merupakan cara untuk membentuk tarif preferensi yang secara efektif sama di kawasan ASEAN dan tidak menimbulkan hambatan tarif terhadap ekonomi diluar ASEAN
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan permasalahan di atas, maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Perjanjian perdagangan regional merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam kerangka GATT/WTO. Akan tetapi, perjanjian tersebut tidak boleh mengganggu sistem perdagangan multilateral. Perjanjian perdagangan regional saat ini belum membahayakan sistem perdagangan multirateral, lebih lanjut perjanjian itu bersifat sebagai pelengkap dari GATT/WTO sebdiri. Komite Perjanjian Perdagangan Regional GATT/WTO harus diberikan fungsi yang besar untu mensupervisi perjanjian-perjanjian perdagangan regional agar harmonis dengan sistem perdagangan multilateral GATT/WTO.
2. AFTA merupakan salah satu bentuk perjanjian perdagangan internasional yang memilki tipologi perdagangan bebas. Ketentuan-ketentuan AFTA juga memuat kriteria fundamental yang terdapat pada perjanjian perdagangan regional pada umumnya, yaitu memberikan preferensi serta mencantumkan klausul asal barang (rules of origin). Ketentuan AFTA juga tidak bertentangan dengan ketentuan GATT/WTO. Namun, AFTA tidak menjelaskan bagaimana hubungan negara anggota AFTA dengan negara ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005
Jo-Ann Crawford dan Robertino Fiorentino, The Changing Landscape of RTA, Research Paper WTO, 2006
Robertino V Fiorentino, Luis Verdeja dan Christelle Toqueboeuf, The Changing Landscape of RTA: 2006 Update, Research Paper WTO, 2007
Dirjen KPI Departemen Perdagangan, AFTA dan Implementasinya, dapat dilihat pada http://www.depperin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm DAFTAR ISI hlm BAB I