Jumat, 17 Juni 2011

Rumor Kesehatan WTO

Prinsip awal kehadiran WTO adalah untuk menghapuskan hambatan tarif dan non tarif dalam perdagangan sehingga akan terjadi suatu perdagangan bebas serta kompetisi yang adil. Akan tetapi, dalam beberapa ketentuannya, WTO masih mengijinkan negara anggotanya untuk melakukan pembatasan perdagangan, salah satunya dengan alasan kesehatan.

Ketentuan Pasal XX GATT-WTO menjamin setiap negara untuk melakukan tindakan melindungi kesehatan penduduknya atas produk barang yang masuk. Namun, ketentuan tersebut tidak mengatur lebih lanjut mengenai tata caranya sehingga dapat digunakan oleh negara untuk menerapkan kebijakan proteksi.

Agar tidak terjadi proteksionisme dengan dalih kesehatan  maka WTO membuat ketentuan lanjutan dalam perjanjian Sanitary and Phytosanitary measures (SPS). Dalam Pasal 2 ayat 2 dan 3 SPS dinyatakan bahwa pembatasan atas dasar kesehatan boleh dilakukan apabila berdasarkan hasil riset ilmiah, tidak diskriminatif dan tidak sewenang-wenang.

Tulisan berikut ini akan coba menganalisa kasus tentang larangan impor rokok kretek dari Indonesia oleh Amerika Serikat:

Pada tanggal 2 April 2010, Pemerintah Indonesia secara resmi melaporkan kepada badan penyelesaian sengketa (DSB) organisasi perdagangan dunia (WTO) permohonan konsultasi dengan Amerika Serikat (AS). Inti persoalanya adalah perihal larangan impor AS atas rokok kretek (clove) dari Indonesia.

Indonesia beralasan bahwa larangan impor tersebut dilakukan secara diskriminatif untuk melindungi produk rokok AS. Di pihak AS, mereka berdalih bahwa alasan melarang impor rokok kretek demi melindungi kesehatan generasi muda AS sebagaimana tercantum dalam Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCSA) yang mulai berlaku pada 22 September 2009.

Proses konsultasi yang dilakukan ternyata tidak berhasil sehingga pada sidang DSB WTO tanggal 22 Juni 2010, Pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan permohonan pembentukan panel.

Menurut Indonesia, larangan impor rokok kretek yang dilakukan oleh AS tidak sesuai dengan ketentuan Pasal XX GATT-WTO dan Pasal 2 ayat dan 3 SPS. Tindakan tersebut diskriminatif dan sewenang-wenang karena AS tidak melarang peredaran rokok mentol yang banyak diproduksi oleh pengusaha domestik. Padahal jika alasan larangan merokok adalah untuk melindungi kesehatan warga AS, maka segala jenis rokok harus dilarang karena apapun jenisnya rokok dapat merusak kesehatan, termasuk rokok mentol

Dari pihak AS, Badan Makanan dan Obat-obatan (FDA) AS melansir bahwa setiap hari tak kurang dari 36.000 generasi muda (umur 12-17 tahun) dan 1.100 diantaranya menjadi pecandu rokok dikarenakan rokok yang memiliki rasa (flavors) termasuk rokok kretek.Oleh karena itu AS melarang impor rokok kretek.

Akan tetapi, mereka sendiri mengakui bahwa pengaruh rokok mentol terhadap perilaku merokok generasi muda AS sedang dalam penelitian. (www.fda.gov). Inilah yang semakin membuat pemerintah Indonesia gerah karena larangan impor rokok kretek tersebut berpotensi menghilangkan nilai ekspor sebesar 604.ribu dolar.
 
Indonesia memiliki peluang besar untuk memenangkan kasus ini. Menurut pendapat penulis, Indonesia harus berupaya menyakinkan panel bahwa AS telah melanggar ketentuan Pasal III:4 GATT-WTO tentang perlakuan nasional (national treatment). Argumennya adalah karena AS telah melakukan diskriminasi atas produk sejenis; yakni rokok mentol dengan rokok kretek; yang menguntungkan produk domestik. Sebab seperti yang diketahui bahwa rokok mentol merupakan hasil produksi domestik AS sedangkan rokok kretek merupakan impor.

Dengan lahirnya larangan impor rokok kretek tersebut maka patut diduga bahwa AS telah melanggar prinsip national treatment yang merupakan salah satu jantung ketentuan dalam GATT-WTO sehingga membuat keuntungan yang semestinya dapat diperoleh oleh Indonesia menjadi hilang.

Penggunaan argumen SPS dalam kasus ini, menurut hemat penulis kurang memadai. Hal ini dikarenakan, dalam ketentuan Pasal 5 ayat 7 SPS sendiri dinyatakan apabila hasil riset belum memadai maka dapat digunakan informasi yang telah ada. Pada titik inilah AS dapat berdalih bahwa hasil riset mereka terhadap rokok kretek menunjukkan bahwa rokok jenis tersebut  lebih merusak kesehatan dibandingkan rokok mentol.

Kekhawatiran penggunaan riset ilmiah dalam SPS inilah yang dikritisi oleh beberapa ahli hukum internasional dikarenakan negara-negara besar memiliki peluang untuk "memanipulasi” hasil riset ilmiah sesuai dengan keinginan mereka (Tracey Epps: 2008).
Kasus ini memberikan pelajaran pada kita bahwa hukum internasional sesungguhnya dapat dijadikan alat bagi negara berkembang untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya melawan hegemoni kepentingan negara maju.