Selasa, 31 Januari 2012

Refilosofi Kebudayaan ( Pergeseran pascastruktural )

 
Kebudayan sudah berubah dari esensinya,teori klasik kebudayaan menyebutkan bahwa kebudayaan adalah “kekuatan besar/jaringan besar” yang dibentuk manusia dan dipergunakan untuk memanyungi manusia dalam segi tingkah laku, agama, bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.
Namun dalam perkembanganya aras/paradikma ini telah berubah dan bergeser dengan adanya orentasi politik dalam penepatan budaya.artinya kebudayan sudah tidak lagi ditepatkan sebagai “lingkaran besar” dimana gerak politik menjelma “lingkaran kecil” dan berada didalamnya. Peristiwa ini lah yang membuat kebudayaan kehilangan fungsi sejatinya, sehingga ia menjadi alat sebagai praktik kekuasaan.hal ini dapat dilihat pada dua hal, sebagai berikut:


     Kepentingan fungsional  

     Peristiwa terjadinya pergeseran atau kepincangan fungsi kebudayaan, dimana seharusnya gerakan kebudayaan (memanfaatkan) berjalan didasari dari “kuasa dalam” kebudayan, yaitu memiliki tujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan kebudayan sebagai filter atau pengendali tatan sosial (bermasyarakat, berpolitik, bernegara, dan beragama). Namun, yang terjadi justru sebaliknya gerakan kebudayaan sering/sudah digerakan oleh rekayasa sosial qua negara, akhirnya yang tercipta adalah kebudayan yang bergerak dari otoritas negara (penguasa), bukan dari tarformasi diri dari kebudayaan, dan ini tentunya didasari dengan segenap kepentingan politik. Disini, kebudayan akhirnya menjadi sub sistem dari sistem politik, bukan politik yang menjadi sub sistem kebudayaan.

Politik reprsentasional  

kejadian ini diawali ketika studi budaya kontemporer (caltural studies) menebatkan kebudayaan dalam rana kebahasaan. Pergeseran harfiah kebudayaan terletak pada tindakan penilaian/penalaran mengenai kebuadayan, dimana dulu domain kebudayan sebagai nilai kepada pembongkaran diskrusif atas pembentukan nilai-nilai di masyarakat (tatanan sosial), namun sekarang lebih kepada kenapa budaya itu dibuat dan siapa yang dibuat. Hal ini tergerak dari pemikiran pascamoderen yang tidak lagi bertumpu pada kebenaran akal (logos), tapi lebih kepada diferensialitas sistem tanda (linguistic trun). Resikonya tidak ada lagi kebenaran dalam kebudayaan, sebab nilai-nilai budaya suatu daerah tidak memiliki makna yang stabil. Dari sinilah kebudayaan tergulat dalam representasi, akhirnya kebudayaan terbentuk dari diskursif razim pengetahuan. Inilah yang akhirnya menepatkan kebudayan dalam domain kekuasaan, yang mana para penguasa wacana (doxa) berusaha menegakkan dominasi kebenaranya. Kebudayaan menjelma menjadi kekerasan simbul sebab para doxa telah mengalahkan kongnisi masyarakat untuk patuh dalam ketidaksetujuanya.

Lalu, apa yang harus kita perbuat,menghadapi perubahan-perubahan yang kurang membagun ini. Jalan keluar yang patut dan relevan untuk diambil, hanyalah kembali pada “filsafat budaya” . seperti yang kita ketahui bahwa filsafat menepatkan kebudayan ke rana metafisis  yang merujuk pada penepatan nilai-nilai (struktur kebudayaan), tidak bicara kenapa budaya menjadi norma dalam tingkah laku manusia dan bagaimana representasi kuasa pengetahuan membentuk kebudayaan. Filsafat kebudayaan lebih mengarahkan/ menggali secara ontologis yang nantinya akan menemui inti, nilai, jiwa atau hakikat kebudayaan.

Sumber: Arif, Syaiful. “Refilosofi kebudayaan (pergeseran pascastruktural)” . jogjakarta:   AR-RUZZ MEDI.