Kebudayan sudah berubah dari
esensinya,teori klasik kebudayaan menyebutkan bahwa kebudayaan adalah “kekuatan
besar/jaringan besar” yang dibentuk manusia dan dipergunakan untuk memanyungi
manusia dalam segi tingkah laku, agama, bermasyarakat, berpolitik, dan
bernegara.
Namun dalam perkembanganya
aras/paradikma ini telah berubah dan bergeser dengan adanya orentasi politik
dalam penepatan budaya.artinya kebudayan sudah tidak lagi ditepatkan sebagai
“lingkaran besar” dimana gerak politik menjelma “lingkaran kecil” dan berada
didalamnya. Peristiwa ini lah yang membuat kebudayaan kehilangan fungsi
sejatinya, sehingga ia menjadi alat sebagai praktik kekuasaan.hal ini dapat
dilihat pada dua hal, sebagai berikut:
Kepentingan fungsional
Peristiwa terjadinya
pergeseran atau kepincangan fungsi kebudayaan, dimana seharusnya gerakan
kebudayaan (memanfaatkan) berjalan didasari dari “kuasa dalam” kebudayan, yaitu
memiliki tujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan kebudayan sebagai filter
atau pengendali tatan sosial (bermasyarakat, berpolitik, bernegara, dan
beragama). Namun, yang terjadi justru sebaliknya gerakan kebudayaan
sering/sudah digerakan oleh rekayasa sosial qua
negara, akhirnya yang tercipta adalah kebudayan yang bergerak dari otoritas
negara (penguasa), bukan dari tarformasi diri dari kebudayaan, dan ini tentunya
didasari dengan segenap kepentingan politik. Disini, kebudayan akhirnya menjadi
sub sistem dari sistem politik, bukan politik yang menjadi sub sistem kebudayaan.
kejadian ini diawali ketika studi budaya kontemporer (caltural studies)
menebatkan kebudayaan dalam rana kebahasaan. Pergeseran harfiah kebudayaan
terletak pada tindakan penilaian/penalaran mengenai kebuadayan, dimana dulu
domain kebudayan sebagai nilai kepada pembongkaran diskrusif atas pembentukan
nilai-nilai di masyarakat (tatanan sosial), namun sekarang lebih kepada kenapa
budaya itu dibuat dan siapa yang dibuat. Hal ini tergerak dari pemikiran
pascamoderen yang tidak lagi bertumpu pada kebenaran akal (logos), tapi lebih
kepada diferensialitas sistem tanda (linguistic trun). Resikonya tidak
ada lagi kebenaran dalam kebudayaan, sebab nilai-nilai budaya suatu daerah
tidak memiliki makna yang stabil. Dari sinilah
kebudayaan tergulat dalam representasi, akhirnya kebudayaan terbentuk dari
diskursif razim pengetahuan. Inilah yang akhirnya menepatkan kebudayan dalam
domain kekuasaan, yang mana para penguasa wacana (doxa) berusaha menegakkan
dominasi kebenaranya. Kebudayaan menjelma menjadi kekerasan simbul sebab para doxa telah mengalahkan kongnisi
masyarakat untuk patuh dalam ketidaksetujuanya.
Lalu, apa yang harus kita perbuat,menghadapi
perubahan-perubahan yang kurang membagun ini. Jalan keluar yang patut dan
relevan untuk diambil, hanyalah kembali pada “filsafat budaya” . seperti yang
kita ketahui bahwa filsafat menepatkan kebudayan ke rana metafisis yang merujuk pada penepatan nilai-nilai (struktur
kebudayaan), tidak bicara kenapa budaya menjadi norma dalam tingkah laku
manusia dan bagaimana representasi kuasa pengetahuan membentuk kebudayaan.
Filsafat kebudayaan lebih mengarahkan/ menggali secara ontologis yang nantinya
akan menemui inti, nilai, jiwa atau hakikat kebudayaan.
Sumber: Arif, Syaiful. “Refilosofi
kebudayaan (pergeseran pascastruktural)” . jogjakarta: AR-RUZZ MEDI.