Jumat, 01 Juni 2012

Pancasila dalam Arus Kekuasaan



Sebagai suatu bangsa, adalah tidak mungkin Indonesia hidup tanpa ideologi. Berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan, Pancasila dijadikan ideologi negara. Pancasila mula-mula digagas dan disampaikan saat Muhammad Yamin berpidato pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada tanggal 1 Juni 1945, kemudian dikemukakan gagasan serupa dengan subtansi yang sama.

Dinamika ber-Pancasila

Secara resmi, Pancasila diterapkan sebagai dasar negara yang didokumentasikan beberapa kali karena berbagai dinamika politik dan kebangsaan di usianya yang belia. Rumusan Pertama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945. Rumusan kedua di dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.
 
Rumusan ketiga di dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949. Rumusan keempat di dalam Mukaddimah Undang Undang Dasar Sementara tanggal 15 Agustus 1950. Dan rumusan kelima, rumusan kedua yang dijiwai oleh rumusan  pertama Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
   
Perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan. Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara komunis). Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.
   
Termasuk juga dugaan adanya campur tangan intelijen Amerika Serikat yang memang tidak senang dengan haluan politik antikolonial Soekarno, yang notabenenya merupakan sekutu AS merupakan negeri-negeri penjajah.
   
Pancasila dijadikan korban. Termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada waktu itu, berupaya mendrive Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah sejarah awal suramnya perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui perdebatan marathon dan alot sebagai buah pemikiran founding father bangsa. Bahkan Soekarno secara akomodatif namun penuh muatan politik, menggagas konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
   
Ibarat mencampur antara air dan minyak, Soekarno hendak menjadikan komunisme sebagai faham yang diterima di republik ini. Bukan itu saja, Soekarno pun mengangkat diri sebagai Presiden seumur hidup, suatu pengkhianatan terhadap demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari jasa-jasanya sebagai Proklamator dan tokoh founding father bangsa, Soekarno mencederai Pancasila. Pancasila tersandera oleh penguasa.
   
Setali tiga uang, Soeharto yang pada awalnya tampil gagah membela Pancasila, termasuk propaganda Soeharto yang seolah menyelamatkan Pancasila dalam peristiwa berdarah 30 September 1965 yang kemudian dikenal sebagai hari Kesaktian Pancasila. Saat Pancasila berusaha diganti dengan komunisme -anti Tuhan- yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa Indonesia.
   
Rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila menjadi hantu dan momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptakan stabilitas yang membungkus niat busuk melanggengkan kekuasaan, menjadi alasan tindakan represif rezim Soeharto (Orde Baru). Kalangan santri dituduh merancang makar terhadap Pancasila, dan khususnya penguasa.
   
Akibatnya, umat Islam yang dijadikan korban rezim mengalami trauma sosial. Efek traumatik ini yang justru melahirkan gerakan-gerakan bertentangan dengan NKRI. Trauma yang direproduksi oleh rezim. Tak dapat dipungkiri, Pancasila lah yang menjadi tameng dan benteng kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.
   
Pancasila pula yang dijadikan senjata pamungkas saat suara-suara demokratisasi mulai bergema. Namun pada akhirnya, kebathilan akan zahuq di atas kebenaran. Soeharto ambruk di Istana. Soeharto sukses mengembalikan sakralitas Pancasila sebagai momok menakutkan, yang juga secara paradoks sukses menodai Pancasila.

Era Demokrasi Partisipatif
   
Era reformasi datang dengan membuka diri dalam ruang kebebasan yang unlimited. Demokratisasi membuka ruang partisipasi bagi siapa saja. Termasuk bagi mereka yang datang tanpa ideologi, atau mereka yang memiliki ideologi alternatif untuk menggantikan Pancasila yang dipandang tidak lagi diperlukan. Termasuk juga yang bisa membeli ideologi dengan rupiah.
   
Sekali lagi bahwa, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politiknya. Nahasnya, babak demokrasi ini datang ketika trauma masa lalu masih melekat dalam benak sebagian masyarakat. Termasuk juga ketika nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi luntur oleh dinamika politik yang supercepat.
   
Akhirnya, muncul lah berbagai jenis kelamin politik yang secara normatif menuliskan Pancasila di dalam AD/ART partainya. Namun pada kenyataannya, lagi-lagi Pancasila dibajak, kali ini beramai-ramai karena eranya demokratis. Keyakinan terhadap ketidakmampuan Pancasila untuk dilanjutkan sebagai dasar negara, pun menyeruak. Termasuk dari generasi muda. Berbagai survei menguatkan keyakinan tersebut. Pancasila tidak lagi sakti.
   
Bahkan konflik sosial berlatar ekonomi, politik, dan SARA, jamak terjadi. Kohesifitas Pancasila hilang di tengah arus globalisasi yang menawarkan berbagai ideologi yang “menyenangkan”. Ditambah lagi oleh aksi akrobatik para pemimpin negeri ini yang memperlihatkan ketidakpedulian pada rakyatnya. Kekhawatiran terhadap krisis rasa kebangsaan pun terus mencuat ke permukaan.
   
Tidak saja dari data berbagai lembaga survei yang merepresentasikan ancaman tersebut, akan tetapi kita juga telah disuguhkan  oleh tontonan  memilukan oleh aktor-aktor demokrasi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai elit bangsa.
   
Mengutip dari Fahri Hamzah di dalam bukunya Negara, Pasar dan Rakyat, negara yang sejatinya berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dalam rangka mengakomodasi kepentingan rakyatnya, justru menjadi sosok egois dan sekadar corong aspirasi pihak-pihak tertentu. Akibatnya, kekuasaan dipandang penting dan perlu hanya bagi mereka yang diuntungkan. Maka hilanglah Daya tarik negara dan segala instrumennya.
   
Sebagaimana Antonio Gramsci, kuasa mayoritas menjadi absolut adanya. Demokrasi hanya milik mereka yang memiliki dominasi kuasa yang ditopang oleh materi. Ideologi dikeranjang sampahkan.
   
Fakta ini dapat dilihat dari lemahnya kapasitas pemimpin kita. Baik secara moralitas, maupun secara leadership. Justru mereka yang menjadikan materi sebagai ideologi politik dan kebangsaannya, melenggang tanpa hambatan. Lihatah misalnya, benih-benih politik dinasti di sejumlah derah mulai mengkhawatirkan kita. Model politik yang tidak bermuara pada ideologi Pancasila, yang menjadikan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan.
   
Tidak hanya itu, kekosongan ideologi juga melahirkan koruptor. Bahkan koruptor berjamaah kita dapat saksikan dari rombongan yang terdiri 26 mantan anggota DPR yang digelandang oleh KPK. Ini masih di DPR Pusat, belum lagi di daerah. Termasuk 155 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.
   
Seperti kekhawatiran Joseph Schumpeter, bahwa gagasan politik materialisme Orde Baru ternyata kini bersemi kembali. Dalam bahasa lain, demokrasi ditelikung menjadi kekuasaan olgarki yang legal (rulling olgarki), sebagaiaman dikatakan Prof. Jeffery A. Winters saat kuliah umum di Unhas beberapa waktu lalu. Dan mereka inilah ancaman real atas keutuhan NKRI. Karena republik ini telah terkavling dalam kuasa material.
   
Menyelamatkan generasi muda, dari siklus hitam nihil ideologi, menjadi tanggung jawab bersama.  Melahirkan generasi berkarakter kuat dengan berbagai latar belakang agama, budaya, bahasa dan daerah. Spirit kebersamaan, ukhuwah (persaudaraan), persatuan dan patriotisme, perlu terus dipupuk. Nilai-nilai agama tentu menjadi priorotas, sebagaimana latar belakang bangsa Indonesia sebagai bangsa religius dan menjadikan keimanan sebagai sila pertama dalam dasar negara, Pancasila. Keimanan  yang kita yakini akan mengenyahkan penguasa palsu dan koruptor dari bumi Indonesia. ary boxs