Sebagai suatu bangsa, adalah tidak mungkin Indonesia hidup tanpa ideologi.
Berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup ketatanegaraan yang
telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan, Pancasila dijadikan
ideologi negara. Pancasila mula-mula digagas dan disampaikan saat Muhammad
Yamin berpidato pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada tanggal 1 Juni 1945,
kemudian dikemukakan gagasan serupa dengan subtansi yang sama.
Dinamika ber-Pancasila
Secara resmi, Pancasila diterapkan sebagai dasar negara yang
didokumentasikan beberapa kali karena berbagai dinamika politik dan kebangsaan
di usianya yang belia. Rumusan Pertama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22
Juni 1945. Rumusan kedua di dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.
Rumusan ketiga di dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat
tanggal 27 Desember 1949. Rumusan keempat di dalam Mukaddimah Undang Undang
Dasar Sementara tanggal 15 Agustus 1950. Dan rumusan kelima, rumusan kedua yang
dijiwai oleh rumusan pertama Dekrit Presiden
5 Juli 1959.
Perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tak pernah sepi dari berbagai
ancaman dan penyimpangan. Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh
kelompok komunis yang hendak mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara
komunis). Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu,
menjadi jembatan emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi
aksi-aksinya.
Termasuk juga dugaan adanya campur tangan intelijen Amerika Serikat yang
memang tidak senang dengan haluan politik antikolonial Soekarno, yang
notabenenya merupakan sekutu AS merupakan negeri-negeri penjajah.
Pancasila dijadikan korban. Termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada
waktu itu, berupaya mendrive Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah
sejarah awal suramnya perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui
perdebatan marathon dan alot sebagai buah pemikiran founding father bangsa.
Bahkan Soekarno secara akomodatif namun penuh muatan politik, menggagas konsep
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Ibarat mencampur antara air dan minyak, Soekarno hendak menjadikan
komunisme sebagai faham yang diterima di republik ini. Bukan itu saja, Soekarno
pun mengangkat diri sebagai Presiden seumur hidup, suatu pengkhianatan terhadap
demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari jasa-jasanya
sebagai Proklamator dan tokoh founding father bangsa, Soekarno mencederai
Pancasila. Pancasila tersandera oleh penguasa.
Setali tiga uang, Soeharto yang pada awalnya tampil gagah membela
Pancasila, termasuk propaganda Soeharto yang seolah menyelamatkan Pancasila
dalam peristiwa berdarah 30 September 1965 yang kemudian dikenal sebagai hari
Kesaktian Pancasila. Saat Pancasila berusaha diganti dengan komunisme -anti
Tuhan- yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa Indonesia.
Rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila menjadi hantu dan
momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptakan stabilitas yang membungkus
niat busuk melanggengkan kekuasaan, menjadi alasan tindakan represif rezim
Soeharto (Orde Baru). Kalangan santri dituduh merancang makar terhadap
Pancasila, dan khususnya penguasa.
Akibatnya, umat Islam yang dijadikan korban rezim mengalami trauma sosial.
Efek traumatik ini yang justru melahirkan gerakan-gerakan bertentangan dengan
NKRI. Trauma yang direproduksi oleh rezim. Tak dapat dipungkiri, Pancasila lah
yang menjadi tameng dan benteng kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.
Pancasila pula yang dijadikan senjata pamungkas saat suara-suara
demokratisasi mulai bergema. Namun pada akhirnya, kebathilan akan zahuq di atas
kebenaran. Soeharto ambruk di Istana. Soeharto sukses mengembalikan sakralitas
Pancasila sebagai momok menakutkan, yang juga secara paradoks sukses menodai
Pancasila.
Era Demokrasi Partisipatif
Era reformasi datang dengan membuka diri dalam ruang kebebasan yang
unlimited. Demokratisasi membuka ruang partisipasi bagi siapa saja. Termasuk
bagi mereka yang datang tanpa ideologi, atau mereka yang memiliki ideologi
alternatif untuk menggantikan Pancasila yang dipandang tidak lagi diperlukan.
Termasuk juga yang bisa membeli ideologi dengan rupiah.
Sekali lagi bahwa, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politiknya.
Nahasnya, babak demokrasi ini datang ketika trauma masa lalu masih melekat
dalam benak sebagian masyarakat. Termasuk juga ketika nilai-nilai ideologi
Pancasila menjadi luntur oleh dinamika politik yang supercepat.
Akhirnya, muncul lah berbagai jenis kelamin politik yang secara normatif
menuliskan Pancasila di dalam AD/ART partainya. Namun pada kenyataannya,
lagi-lagi Pancasila dibajak, kali ini beramai-ramai karena eranya demokratis.
Keyakinan terhadap ketidakmampuan Pancasila untuk dilanjutkan sebagai dasar
negara, pun menyeruak. Termasuk dari generasi muda. Berbagai survei menguatkan
keyakinan tersebut. Pancasila tidak lagi sakti.
Bahkan konflik sosial berlatar ekonomi, politik, dan SARA, jamak terjadi.
Kohesifitas Pancasila hilang di tengah arus globalisasi yang menawarkan
berbagai ideologi yang “menyenangkan”. Ditambah lagi oleh aksi akrobatik para
pemimpin negeri ini yang memperlihatkan ketidakpedulian pada rakyatnya. Kekhawatiran
terhadap krisis rasa kebangsaan pun terus mencuat ke permukaan.
Tidak saja dari data berbagai lembaga survei yang merepresentasikan ancaman
tersebut, akan tetapi kita juga telah disuguhkan oleh tontonan
memilukan oleh aktor-aktor demokrasi yang mengidentifikasi diri mereka
sebagai elit bangsa.
Mengutip dari Fahri Hamzah di dalam bukunya Negara, Pasar dan Rakyat,
negara yang sejatinya berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dalam
rangka mengakomodasi kepentingan rakyatnya, justru menjadi sosok egois dan
sekadar corong aspirasi pihak-pihak tertentu. Akibatnya, kekuasaan dipandang
penting dan perlu hanya bagi mereka yang diuntungkan. Maka hilanglah Daya tarik
negara dan segala instrumennya.
Sebagaimana Antonio Gramsci, kuasa mayoritas menjadi absolut adanya.
Demokrasi hanya milik mereka yang memiliki dominasi kuasa yang ditopang oleh
materi. Ideologi dikeranjang sampahkan.
Fakta ini dapat dilihat dari lemahnya kapasitas pemimpin kita. Baik secara
moralitas, maupun secara leadership. Justru mereka yang menjadikan materi
sebagai ideologi politik dan kebangsaannya, melenggang tanpa hambatan. Lihatah
misalnya, benih-benih politik dinasti di sejumlah derah mulai mengkhawatirkan
kita. Model politik yang tidak bermuara pada ideologi Pancasila, yang
menjadikan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan.
Tidak hanya itu, kekosongan ideologi juga melahirkan koruptor. Bahkan
koruptor berjamaah kita dapat saksikan dari rombongan yang terdiri 26 mantan
anggota DPR yang digelandang oleh KPK. Ini masih di DPR Pusat, belum lagi di
daerah. Termasuk 155 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang terlibat kasus
korupsi.
Seperti kekhawatiran Joseph Schumpeter, bahwa gagasan politik materialisme
Orde Baru ternyata kini bersemi kembali. Dalam bahasa lain, demokrasi
ditelikung menjadi kekuasaan olgarki yang legal (rulling olgarki), sebagaiaman
dikatakan Prof. Jeffery A. Winters saat kuliah umum di Unhas beberapa waktu
lalu. Dan mereka inilah ancaman real atas keutuhan NKRI. Karena republik ini
telah terkavling dalam kuasa material.
Menyelamatkan generasi muda, dari siklus hitam nihil ideologi, menjadi
tanggung jawab bersama. Melahirkan
generasi berkarakter kuat dengan berbagai latar belakang agama, budaya, bahasa
dan daerah. Spirit kebersamaan, ukhuwah (persaudaraan), persatuan dan
patriotisme, perlu terus dipupuk. Nilai-nilai agama tentu menjadi priorotas,
sebagaimana latar belakang bangsa Indonesia sebagai bangsa religius dan
menjadikan keimanan sebagai sila pertama dalam dasar negara, Pancasila.
Keimanan yang kita yakini akan
mengenyahkan penguasa palsu dan koruptor dari bumi Indonesia. ary boxs