”Matter online……..their relationship
to the RL indentities is complex, variable and contested. (David Bill 2005:135)”
Dalam
buku yang berjudul Introduction to Cyber
Cultures, David Bill, mengatakan bahwa hubungan identitas dunia maya dengan
identitas dunia nyata bersifat sangat komplek, bermacam-macam dan bahkan
diperebutkan, sebab itu identitas dunia maya juga tidak kalah pentingnya dengan
identitas dunia nyata. Gagasan Bill ternyata bukan tampa dasar, jikalau pun
saat ini, disaat internet sudah menjadi komoditi, kesahitan teori Bill mampu
menjawab atas pertanyan dan pembuktian secara ilmiah.
Bisa
dicermati dengan muculnya jejaring sosial, Fecebook yang dapat digunakan
manusia untuk berinteraksi, dan membentuk komunitas dalam dunia maya. Dimana
informasi dapat diterima setiap waktu dan kapanpun tampa harus bertemu secara
langsung dengan manusia lain. Fenomena ini pada akhirnya mampu mengeser
realitas atas identitas manusia. Dimana sebelumnya, identitas merupakan
representasi individu (manusia) yang dapat dikenal oleh orang lain dalam kontek
dunia nyata[1].
Namun setelah maraknya internet apalagi semakin menjamurnya jejaring sosial
seperti Facebook, esensi identitas ini telah bergeser, yang dulu lingkupnya
hanya berada dalam dunia nyata, sekarang home page pribadi (account
) dalam Facebook juga merupakan simulacra identitas manusia.
Fakta
ini terjadi akibat banyaknya individu-individu yang menggunakan Facebook
sebagai wadah atau tempat untuk mengespresikan jati dirinya yang belum atau
tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Baudrillard mengatakan, bahwa dimasa
postmodernisme bukan lagi seperti era modernisme, ini ditandai dengan adanya
konsep mengenai ”masyarakat simulasi”. Proses simulasi ini mengarah pada simulacra. Simulacra
adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard,
terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56)[2].
Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan
Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi
dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung
seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah
terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif
industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya
ilmu dan teknologi informasi[3].
Definisi
ketiga ini yang akhirnya mengarah pada esensi identitas di zaman
postmodernisme, lebih khususnya dengan fenomena Facebook sebagai
identitas. Cheung (2000: 44)
mengungkapkan, bahwa home page pribadi
merupakan website yang diproduksi
oleh seorang individu (atau pasangan, keluarga ) yang berpusat disekitar kepribadian dan
identitas penulisnya (Bill 2005:117)[4].
Defining the personal homepage as
‘a website produced by an individual (or couple, or family) which is centred
around the personality and identity of its author(s)’ (Cheung 2000: 44).
Gagasan
ini jika dilihat dengan fenomena home
pege di Facebook sangat signifikan dengan gagasan yang diungkapkan Bill.
Terbukti dengan banyaknya kasus pidana yang diawali akibat kasus pelanggaran
hukum yang terjadi di Facebook. Sebagai contoh pernah diberitakan di Jawa Pos, ada seorang ibu rumah tangga
yang dijadikan tersangka, akibat statusnya di Facebook dinilai telah
mencemarkan nama baik mantan suaminya. Fenomena kasus ini akhirnya mengambarkan
bahwa identitas dalam Facebook juga menjadi atau sama halnya dengan identitas
dalam dunia nyata, yang perlu diperebutkan dan dipertentangkan. Lebih jelasnya,
Cheung mengatakan bahwa home page
mendorong presentasi refleksif dan narrativizatio dari individu, meskipun salah
satu yang didefinisikan oleh media sangat membahayakan penonton[5].
Facebook
telah menjadi cerminan identitas realitas/individu, juga terjadi saat jarigan
sosial ini menewarkan kebebasan gender. Dimana individu bebas memilih atau
mengungkapan identitas gendernya sesuai dengan kehendaknya. Bisa dilihat dalam
pengaturan profile di Facebook akan
diberikan kebebasan untuk memilih jenis kelamin. Maksut kebebasan gender ini
ditujukan untuk memberi ruang bagi individu yang belum bisa melakukan esplorasi
gender yang dikehendaki didunia nyata, bisa mengesplorasinya dalam dunia virtual reality (Facebook). Dari kebebasan
gender ini pada akhirnya Fecebook merupakan identitas realitas, sebagaimana
yang dikatakan Bell bahwa identitas dunia maya merupakan wujud simulacra
identitas dunia nyata[6].
Lebih
lanjut Bell mengatakan bahwa cyberspace merupakan ruang pembebasan atau alat
utama untuk menyalurkan ekspresi individu dan kelompok. Tidak hanya itu
cyberspace sangat penting bagi masyarakat terutama bagi mereka yang membutuhkan
ruang ekspresi yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Dalam cyberspace, komunitas dipandang sebagai
individu atau kelompok sosial yang
memiliki rasa saling berhubungan, walaupun tidak melakukan interaksi secara
rutin dan tidak bertatap muka secara langsung[7].
Tidak terlepas dengan Facebook, jejaring sosial ini menjadi identitas individu
sebab didalamnya juga terkadung kebebasan gender, dan kelas sosial yang
mencerminkan identitas realitas. By. Yanto (aryboxs)
[1] Barker,Chris.2011.Cultural Studies, Teori & Praktik.
hal 173-174
[2] Baudrillard,
Jean. 1983a. Simulations. hal 54-56
[3] Baudrillard,
Jean. 1983a. Simulations. hal 54-56
[4] Bell,
David.2005. a Introduction to Cyber
Cultures. hal 117
[5] Bell, David.2005.
a Introduction to Cyber Cultures. hal
117
[6]
Bell,
David.2005. a Introduction to Cyber
Cultures. hal 122-125
[7] Bell, David.2005. a Introduction to Cyber Cultures. hal
113-135