Istilah
postmodernisme telah digunakan dalam segala bidang, seperti ilmu sosial, seni,
dan filsafat, namun sampai saat ini belum ada kejelasan esensi dari
postmodernisme. Kemunculannya didalam
segala bidang ilmu pengetahuan semakin menambah keluasan wilayahnya, yang
akhirnya juga semakin mengaburkan makna dari postmodernisme. Istilah postmodern, sebenarnya sudah mucul diwilayah seni. Dipakai
oleh ilmuan yang bernama Federico de Onis dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana sejak tahun 1930,
yang merupakan wujud reaksi terhadap modernisme. Kemudian berlanjut dibidang
historiografi oleh Toynbee dalam karyanya yang berjudul A Study of History
(1947)[1].
Tapi
istilah ini semakin populer manakala digunakan oleh para seniman, penulis, dan
kritikus seperti Rauschenberg dan Cage, Burroughs dan Sontag untuk menujukkan
sebuah gerakan yang menolak modernisme yang berhenti dalam berokrasi museum dan
akademi. Kemudian penggunaan postmodern semakin luas dalam bidang arsitektur,
dengan Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam bidang seni
visual, seni pertujukan, dan musik di tahun 1980-an. Dalam bidang
sosial-ekonomi diperkenalkan oleh Daniel Bell, bidang antropologi dikembangkan
oleh Frederic Jameson dan Jean Baudrillard. sedangkan dalam bidang filsafat Postmodernisme
dikenalkan atau dikembangkan oleh Jean Francois Lyotard melalui karyanya, The Postmodern Condition: A Repor on
Knowledge, yang terbit pada tahun 1984 dan sejak itu menjadi locus classicus untuk diskusi-diskusi
tentang postmodernisme dibidang filsafat kini[2].
Pemikiran Lyotard berkisar pada posisi
pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan
melalui yang disebut ”narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi
kaum proletar. Narasi-narasi besar atau metanarasi itu, itu katanya sekarang
telah mengalami nasib yang sama dengan narasi besar sebelumnya seperti religi,
negara-bangsa, dsb, sekarang meraka juga sulit untuk dipercaya. Maka akhirnya
bagi Lyotard postmodernisme itu merupakan intensifikasi dinamisme, upaya tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan
secara terus menerus. Dari sini akhirnya semakin memperumit dan mengaburkan
makna postmodernisme, sebab karakter ini juga merupakan karakter modernisme[3].
Dari
perspektif ini postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan segala bentuk
narasi besar: menolak filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk
pemikiran yang mentotalisasi, seperti Hegelianisme, liberalisme, marxisme, atau
apa pun. Postmodernisme juga menolak pemikiran yang totaliter, sebab akan
menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan
toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur. Prinsipnya lalu bukan pada
homologi para ahli tapi kepada paralogi para pencipta[4].
Lebih
sederhananya filsafat melihat postmodernisme sebagai segala pemikiran yang
hendak merevisi modernisme, tetapi tidak menolak modernisme secara total,
melainkan dengan cara memperbarui premis-premis modern disana sini saja. Bisa
dikatakan pula merupakan kritik terhadap modernisme dalam rangka mengatasi
berbagai konsekuensi negatifnya. Misalnya tidak menolak pada kemajuan sains,
melainkan kepada sains yang menjadi ideologi atau scientisme saja dimana
menilai kebenaran ilmiahlah yang merupakan kebenaran paling sahid. Maka dapat
ditarik kesimpulan karakter khas postmodernisme dalam sudut padang filsafat
adalah, ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (episteme, wissenschaft) tentang ”apa”
nya (ta onta) realitas, dengan cara
kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis
maupun transendental)[5].
Konsekuensi Logis
Dengan
berkembangannya pemikiran postmodernisme, akhirnya menumbuhkan beberapa kejadian
khususnya dalam dunia filsafat. Setidaknya ada tiga poin tentang gejala yang
ditimbulkan postmodernisme. Pertama, isu berakhirnya filsafat,
ini berkaitan erat dengan populernya dekonstruksi yang digunakan dalam
postmodernisme. Istilah ini dipopulerkan oleh Jacques Derrida, dan dari
penggunaan metode dekonstruksi ini merupakan pemicu munculnya isu berakhirnya
filsafat. Sebab metode dekonstruksi yang ditawarkan Derrida melihat filsafat
sebagai teks seperti halnya teks-teks sastra. Maka yang dilihat dalam teks-teks
filosofis adalah bahwa unsur-unsur yang dilacak bukanlah pertama-tama
inkonsistensi logisnya, argument-argumen lemahnya, ataupun premis-premis yang
tidak menyakinkan, melainkan unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan,
atau unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis. Jadi dimungkinkan
berfilsafat itu sendirilah yang dipersolakan disini[6].
Kedua,
rasionalitas dan pluralism, pernyataan isu berakhirnya filsafat, pada giliranya
mengadaikan kritik mendasar atas konsep tentang ”rasionalitas” itu sendiri.
Resionalitas kini cenderung dilihat amat terkait dengan perkara bahasa.
Sedangkan bahasa itu kini dilihat sebagai amat beragam, sangat ditentukan oleh
berbagai bentuk kehidupan yang mendasarinya. Maka rasionalisme kini cenderung
tidak bisa dilihat bersifat mutlak dan universal, melainkan bersifat sementara
dan konvesional saja. Secara umum postmodernisme mengantikannya dengan
pluralism, pluralism permainan-bahasa dan bentuk kehidupan dianggap sebagai
titik berangkat pemikiran para pemikir postmodernisme. Meskipun tidak semua
sepakat bahwa pluralisme sebagai titik akhir dari postmodernisme[7]. Pada akhirnya berdampak pada runtuhnya
kebenaran, rasionalitas dan objektivitas.
Ketiga,
tumbangnya epistemologi, kritik terhadap rasionalitas pada gilirannya
mengandaikan suatu berubahan mendasar dibidang epistemologi, artinya dalam hal
cara kita memahami hakikat pengetahunan, dan perkara epistemologi ini akhirnya
adalah perkara posisi subjek dalam hubungannya dengan dunia. Kemudian
anggapan-anggapan dasar tentang hubungan antara subjek dan dunia itu akan
membawa konsekuensi tertentu bagi konsep tentang kebenaran juga. Sedangkan
dalam postmodernisme tidak menawarkan secara jelas paradigma epistemologi, yang
pada akhirnya menimbulkan munculnya beraneka ragam sudut pandang kebenaran[8]. By. Yanto (aryboxs)
[1]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
24
[2]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
24-27
[3] Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
27
[4] Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
28
[5]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
33
[6]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
43-57
[7]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
58-67
[8]
Sugiharto,I.Bambang.1996.Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.hal
67-78