ANALISIS WACANA KRITIS
|
Analisis wacana kritis (sering disingkat AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan cultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Yang membingungkan, label “analisis wacana kritis” digunakan dua cara yang berbeda: Norman Fairclough (1995a,1995b) menggunakannya untuk menguraikan pendekatan yang telah dia kembangkan dan sebagai label yang diberikan kepada gerakan lebih luas dalam analisis wacana yang beberapa pendekatannya, termasuk pendekatan yang dikemukakannya, merupakan bagian dari gerakan itu (Fairclough dan Wodak 1997). Gerakan yang luas ini merupakan entitas yang agak longgar dan tidak ada konsensus bersama mengenai milik siapa gerakan tersebut. Kendati pendekatan Fairclough terdiri atas sederet premis filsafat, metode teoretis, dan teknik-teknik khusus analisis linguistik, gerakan analisis wacana kritis terdiri atas beberapa pendekatan yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Di bawah ini kami kemukakan secara singkat beberapa unsur utama yang sama-sama dimiliki semua pendekatan itu. Selanjutnya, kami sajikan pendekatan Fairclough, karena menurut hemat kami dalam gerakan analisis wacana kritis, pendekatan itu mewakili metode dan teori yang paling cepat perkembangannya di bidang komunikasi, budaya, dan masyarakat.
Di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum. Ciri-ciri umum itulah yang memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan tersebut ke dalam gerakan yang sama. Dalam uraian berikut kami kemukakan tinjauan Fairclough dan Wodak (1997:271ff).
1. Sifat Struktur dan Proses Cultural dan Sosial Merupakan Sebagian Linguistik-Kewacanaan
Praktik-praktik kewacanaan – tempat dihasilkan (diciptakan) dan dikonsumsi (diterima dan diinterpretasikannya) teks – dipandang sebagai penting praktik sosial yang memberikan kontribusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup hubungan-hubungan dan identitas-identitas sosial. Sebagian terbentuk melalui praktik-praktik kewacanaan dalam kehidupan sehari-hari (proses pemproduksian dan pengonsumsian teks). Di situlah terjadi perubahan dan reproduksi cultural dan sosial. Dengan demikian, sebagian fenomena kemasyarakatan tidaklah bersifat linguistik-kewacanaan.
Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik-kewacanaan fenomena sosial dan cultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini. Penelitian di bidang wacana kritis telah mencakup bidang-bidang seperti analisis organisasi (mis. Mumby dan Clair 1997), pedagogi (Chouliaraki 1998), rasisme dan komunikasi massa (Richardson 1995a, 1995b, 1998, 2000).
Wacana memberikan tuntunan kepada tidak hanya pada bahasa tulis dan bahasa tutur namun juga pencitraan visual. Para ahli menerima pendapat bahwa analisis teks yang terdiri dari pencitraan visual harus mempertimbangkan karakteristik khusus semiotik visual dan hubungna antara bahasa dan pencitraan. Namun, dalam analisis wacana kritis (seperti dalam analisis wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar seolah merupakan teks linguistik. Ada perkecualiannya yakni semiotik sosial (mis. Hodge dan Kress 1998; Kress dan van Leeuwen 1996, 2001) yang merupakan usaha untuk mengembangkan teori dan metode analisis teks multi modal – yakni teks yang menggunakan sistem-sistem semiotik yang berbeda seperti bahasa tulis, pencitraan visual dan/atau bunyi.
2. Wacana itu Tersusun dan Bersifat Konstitutif
Bagi analisis wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial lain. Sebagai praktik sosial, wacana berada dalam hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial namun merefleksikan pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial tersebut. Ketika Fairclough menganalisis bagaimana praktik kewacanaan dalam media ambil bagian dalam pembentukan bentuk-bentuk baru politik, dia juga mempertimbangkan bahwa praktik-praktik kewacanaan dipengaruhi oleh kekuatan kemasyarakatan yang tidak memiliki sifat kewacanaan tunggal (mis. struktur sistem politik dan struktur kelembagaan media). Konsepsi “wacana” membedakan pendekatan ini dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat pos-strukturalis, seperti teori wacana Laclau dan Mouffe, bahasa sebagai wacana merupakan bentuk tindakan (cf. Austin 19620 tempat yang digunakan orang-orang untuk mengubah dunia dan bentuk tindakan yang didasarkan pada situasi soaial dan historis dan memiliki hubungan dialektik dengan aspek-aspek lain dimensi sosial.
Sebagai contoh, Fairclough (1992b) menyatakan bagaimana struktur sosial memengaruhi praktik-praktik kewacanaan. Hubungan antara orangtua dan anak sebagian tersusun secara kewacanaan, demikian kata Fairclough, namun sekaligus, keluarga merupakan suatu lembaga yang memiliki praktik-praktik konkret, identitas dan hubungan-hubungan yang telah ada sebelumnya. Praktik, hubungan, dan identiras tersebut aslinya tersusun secara kewacanaan, akan tetapi telah mengendap dalam lembaga-lembaga dan praktik-praktik nonkewacanaan. Efek konstitutif wacana bekerja bersama praktik-praktik lain seperti distribusi tugas rumah tangga. Selanjutnya, struktur sosial memainkan peran mandiri dalam upaya membentuk dan melingkupi praktik kewacanaan dalam keluarga:
Susunan kewacanaan masyarakat tidak berasal dari permainan bebas ide-ide yang ada di benak orang-orang, melainkan berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada struktur sosial material yang rill (Fairclough 1992b:66)
Di sini Fairclough menyatakan bahwa jika wacana hanya dipandang bersifat konstitutif, pernyataan ini selaaras dengan pernyataan bahwa entitas sosial hanya berasal dari dalam benak orang-orang. Namun sebagaimana yang kita lihat, ada ketidaksepakatan di antara para teoretisi mengenai apakah pandangan wacana itu sangat penting bagi bentuk idealism ini. Misalnya, Laclau dan Mouffe menyanggah dengan keras bahwa menyalahkan idealism dengan dalih bahwa konsepsi wacana sebagai sesuatu yang bersifat kontitutif tidaklah menyiratkan bahwa objek fisik itu tidak ada, melainkan bahwa objek fisik itu mendapatkan makna hanya melalui wacana.
3. Penggunaan Bahasa Hendaknya Dianalisis Secara Empiris dalam Konteks Sosialnya
Analisis Laclau dan Mouffe menggarap analisis tekstual linguistik yang konkret atas penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Keadaan ini berbeda dengan teori wacana Laclau dan Mouffe yang tidak melaksanakan kajian empiris dan sistematis penggunaan bahasa dan berbeda dengan psikologi kewacanaan yang melakukan kajian retoris, namun bukan kajian linguistik penggunaan bahasa.
4. Fungsi Wacana Secara Ideologis
Dalam analisis Laclau dan Mouffe, dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara kelompok-kelompok sosial – misalnya , antara kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, kelompok minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis.
Berlawanan dengan teoretisi wacana, termasuk Laclau dan Mouffe dan Foucault, analisis Laclau dan Mouffe dalam hal ini tidak sepenuhnya menyimpang dari tradisi Marxist. Sebagian pendekatan analisis wacana kritis menganggap pandangan kekuasaan Foucauldian sebagai kekuatan yang mampu menciptakan subjek dengan agen – yakni, sebagai kekuatan produktif – bukannya sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang dipaksakan kepada orang lain. Tapi sekaligus, pendekatan ini menyimpang dari Foucault karena mencantumkan konsep ideologi untuk melakukan teotetisasi terhadap penaklukan satu kelompok sosial agar patuh kepada kelompok-kelompok sosial yang lain. Focus penelitian analisis wacana kritis dengan demikian merupakan praktik kewacanaan yang mengonstruk representasi dunia, subjek sosial dan hubungan sosial termasuk hubungan kekuasaan dan peran yang dimainkan praktik-praktik kewacanaan itu guna melanjutkan kepentingan kelompok-kelompok sosial khusus. Fairclough mendefinisikan analisis wacana kritis sebagai pendekatan yang berusaha melakukan penyeledikan secara sistematis terhadap
Hubungan-hubungan kausalitas dan penentuan yang sering samar antara (a) praktik kewacanaan, peristiwa dan teks dan (b) struktur-struktur cultural dan sosial yang lebih luas, hubungan dan proses (…) bagaimana praktik, peristiwa dan teks muncul di luar dan secara ideologis dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan perjuangan atas kekuasaan (…) bagaimana kesamaran hubungan-hubungan antara wacana dan masyarakat itu sendiri merupakan faktor yang melanggengkan kekuasaan dan hegemoni. (Fairclough 1993:135; dicetak kembali dalam Fairclough 1995a:132f).
Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang
melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Oleh sebab itu, tujuannya adalah agar bisa memberi kontribusi kepada perubahan sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam proses komunikasi dan masyarakat secara umum.
5. Penelitian Kritis
Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral (sebagaimana ilmu sosial objektivis), namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Pengkritik bertujuan menguak peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan kekuasaan yang tak setara dengan tujuan mempercepat hasil analsis wacana kritis untuk memperjuangkan tercapainya perubahan sosial yang radikal. Ketertarikan Fairclough terhadap “kritik eksplanatoris” dan “kesadaran bahasa kritis”, yang akan kita bahas kembali nanti, ditujukan untuk mencapai tujuan ini.