Model Tiga Dimensi Fairclough
Konsep-konsep utama
Fairclough menerapkan konsep wacana dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Pertama, dalam pengertian yang paling abstrak, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu bidang khusus, seperti wacana politik atau ilmiah. Ketiga, dalam penggunaan yang paling konkret, wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang bisa dihitung (suatu wacana, wacana tertentu, wacana-wacana, wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara bertutur yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif tertentu. Pada pengertian terakhir ini, konsep tersebut mengacu pada wacana apapun yang bisa dibedakan dari wacana-wacana lain, misalnya wacana feminis, wacana neoliberal, wacana Marxist, wacana konsumen, atau wacana environmentalis. Fairclough membatasi istilah itu yakni wacana, pada sistem semiotik seperti bahasa dan pecitraan yang berlawanan dengan Laclau dan Mouffe yang memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana.
Wacana memberikan kontribusi pada pengonstruksian:
·identitas sosial;
·hubungan sosial; dan
·sistem pengetahuan dan makna.
Oleh karena itu, wacana mempunyai tiga fungsi: fungsi identitas, fungsi “hubungan” atau relasional dan fungsi “ideasional”. Dalam analisis manapun, ada dua dimensi wacana yang sangat penting yakni:
·peristiwa komunikatif – misalnya penggunaan bahasa seperti artikel surat kabar, film, video, wawancara atau pidato politik (Fairclough 1995b) dan
·tatanan wacana – konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga atau bidang sosial. Jenis-jenis wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran).
Aliran adalah penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian praktik sosial tertentu, misalnya aliran wawancara, aliran berita, atau aliran iklan. Contoh tatanan wacana mencakup tatanan wacana media, pelayanan kesehatan, atau rumah sakit individu. Dalam tatanan wacana, ada praktik-praktik kewacanaan khusus tempat dihasilkan dan dikonsumsi atau diinterpretasikannya teks dan pembicaraan (Fairclough, 1998:145).
Setiap peristiwa penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri atas tiga dimensi:
·Teks (tuturan, pencitraan visual atau gabungan ketiganya);
·Praktik kewacanaan yang melibatkan pemproduksian dan pengonsumsian teks; dan
·Praktik sosial.
Adapun analisis peristiwa komunikatif meliputi:
· Analisis wacana dan aliran yang diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian teks (tingkat praktik kewacanaan);
· Analisis struktur linguistik (tingkat teks); dan
·Pertimbangan mengenai apakah praktik kewacanaan mereproduksi, bukannya merestrukturisasi tatanan wacana yang ada dan mengenai apa konsekuensi yang timbul bagi praktik sosial yang lebih luas (tingkat praktik sosial).
Tujuan umum model tiga dimensi itu adalah memberikan kerangka analitis bagi analisis wacana. Model ini didasarkan pada dan menggunakan prinsip yang berbunyi bahwa teks tidak pernah bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah – hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial.
Tatanan Wacana dan Peristiwa Komunikatif
Fairclough memahami hubungan antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai hubungan yang bersifat dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem, namun bukan sistem dalam pengertian strukturalis. Yakni, peristiwa-peristiwa komunikatif tidak hanya mereproduksi tatanan wacana, tapi juga memperluasnya melalui penggunaan bahasa yang kreatif. Misalnya, ketika petugas humas di rumah sakit menggunakan wacana konsumen, dia mengandalkan suatu sistem – tatanan wacana – namun untuk itu dia juga ambil bagian dalam menyusun sistem tersebut.
Bagaimanakah hubungan antara tatanan wacana dan konteks sosialnya? Dalam karya awalnya, Fairclough cenderung menghubungkan tatanan wacana dengan lembaga-lembaga khusus, sekaligus menekankan bahwa wacana dan tatanan wacana bisa bekerja lintas batas kelembagaan. Dalam bukunya yang ditulis bersama Chouliaraki, konsep “tatanan wacana” dipasangkan dengan konsep “bidang”nya Pierre Bourdieu. Dengan kata lain, bagi Bourdieu, suatu bidang merupakan domain sosial yang relative otonom yang mematuhi logika sosial khusus. Para aktor dalam suatu bidang khusus, seperti bidang olahraga, politik atau media, berjuang mencapai tujuan yang sama, dan dengan demikian bidang-bidang itu berhubungan satu sama lain dengan cara yang saling bersaing dimana posisi aktor individu yang berada di bidang itu ditetapkan oleh jarak realtifnya dari tujuan itu.
Antartekstualitas dan Antarkewacanaan
Antarkewacanaan terjadi bila aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam suatu peristiwa komunikatif. Praktik kewacanaan kreatif tempat digabungkannya jenis-jenis wacana dengan cara yang baru dan kompleks – dalam “campuran antarkewacanaan” baru – merupakan suatu tanda dan daya dorong ke arah perubahan kewacanaan dan juga perubahan sosio-kultural. Di sisi-sisi lain, praktik-praktik kewacanaan tempat bercampurnya wacana dengan cara-cara konvensional merupakan indikasi dan bekerjanya stabilitas tatanan wacana yang dominan dan dengan demikian juga tatanan social yang dominan.
Antarkewacanaan merupakan bentuk antartekstualitas. Antartekstualitas mengacu pada kondisi tempat bergantungnya peristiwa komunikatif pada peristiwa-peristiwa terdahulu. Kita tidak bisa menghindarkan diri dari penggunaan kata-kata dan frase-frase yang sebelumnya telah digunakan oleh orang lain. Bentuk antartekstual yang terutama telah diucapkan sebelumnya adalah antartekstualitas yang menjelma (manifest antartekstualitas), sebaliknya teks secara jelas bergantung pada teks-teks lain, umpama saja dengan mengutipnya (Fairclough, 1992c:117).
Suatu teks bisa dipandang sebagai hubungan dalam rantai intertekstual (Fairclough, 1995b:77f). Serangkaian teks tempat masing-masing teks memasukkan unsure-unsur yang berasal dari teks atau teks-teks lain.
Aliran kritis mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang memperhatikan proses produksi dan reproduksi proposisi dari berbagai peristiwa komunikasi baik secara historis maupun secara institusi. Pandangan konstrutivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut pelaku-pelakunya. Aliran tersebut lebih mengutamakan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa ditafsirkan secara bebas sesuai pikirannya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa menurut aliran kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema tertentu, dan strateginya. Oleh karena itu, analisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana dan representasi yang terdapat dalam masyarakat.