Kamis, 14 April 2011

Konsep Strukturalisme Levi-Strauss

Sebagaimana diketahui bahwa cakupan ilmu sosial itu sangat luas. Hal ini disebabkan banyaknya persoalan yang timbul dalam aktivitas manusia baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena begitu kompleknya persolan itu, sangat tidak mungkin bisa memahami fenomena sosial tanpa mengaitkan dengan fenomena-fenomena lain. Inilah yang menjadikan salah satu alasan kenapa dalam ilmu sosial kita harus meniru metode ilmu-ilmu di luar ilmu sosial; seperti ilmu eksakta dan pengetahuan alam (exact and natural Sciences). Dari rangkaian persoalan manusia itu terdapat beberapa kesamaan yang bisa dijadikan model dalam sebuah penelitian. Allen Lane (1968;8) menyatakan sebagai berikut:

”On the other hand, studies in social structure have to do with the formal aspects of social phenomena; they are therefore difficult to define, and still more difficult to discuss, without overlapping other fields pertaining to the exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal terms or, rather, where the formal expression of different problems admits of the same kind of treatment”.

Pendapat Allen ini menunjukkan adanya struktur dalam setiap persoalan. Adanya struktur ini memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh karena itu pula pemahaman dasar dari teori strukturalisme adalah mengacu pada model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam strukturalisme dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Kroeber dalam buku edisi kedua Anthropology menyebutkan bahwa:

“Structure” appears to be just a yielding to a word that has perfectly good meaning but suddenly becomes fashionably attractive for a decade or so –like “streamlining”- and during its vogue tends to be applied indiscriminately because of the pleasurable connotations of its sound. Of course a typical personality can be viewed as having a structure. But so can a physiology, any organism, all societies and all cultures, crystals, machines- machines- in fact everything that is not wholly amorphous has a structure. So what “structure” adds to the meaning of our phrase seems to be nothing, except to provoke a degree of pleasant puzzlement’.

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss, struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Oleh sebab itu Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the words form.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudayaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.
Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 dalam Fokkema, 1978). Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang Antropologi Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model itu yang akan membentuk struktur sosial.
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
  1.  Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
  2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.  
  3.  Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
  4.  Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema, 1978). Masalahnya para ahli Antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul ”Trites Tropique” (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impressi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978). Bagi Levi-Strauss telaah Antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa.
Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972 dalam Fokkema, 1978).
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan,  maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat, 1987). Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain.
Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu tentang bunyi dalam bahasa (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan Fonologi dengan apa yang ada dalam Antropologi/Sosiologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss, 1972, dalam  Fokkema, 1978).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal-hal yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem “terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis, tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal.
Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah  sistem relasi (system of relation).   Kebudayaan  dan  bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan hasil dari nalar manusia. Antropolog  Levi-Strauss bertujuan menemukan model bahasa  dan  budaya melalui strukturnya.  Pemahaman terhadap pikiran  dan perilaku kehidupan manusia, serta  relasi manusia dengan tradisi sangat penting.  Kebudayaan  adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan  tradisi. Tradisi  adalah sebuah jalan bagi masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai pengabsah tindakan  dan  juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan  dan  kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama tertentu. Di Bali, misalnya ketika persiapan menguburkan mayat, selalu daiadakan pesta dan upacara kematiannya penuh dengan kegembiraan, apalagi ketika upacara pembakaran mayat, sedangkan upacara kemaian pada pemeluk Islam, dipenuhi dengan kesedian dan bahkan dilarang sama sekali memasak makanan pada komunitas Islam tertentu.
Dalam hal ini pengaruh pemikiran tokoh-tokoh terhadap  strukturalisme Levi-Strauss  cukup besar. Levi-Strauss Strauss belajar  metode komparasi tentang geologi masyarakat (Marx)  untuk menemukan geologi psikis (Freud)  dan bagaimana pola umum objek dalam  menjelaskan gejala yang tersembunyi.  Kajiannya berupa  relasi antara keilmuan yang inderawi  dan  yang linguistik rasional yang dilakukan oleh  Fredinand de Saussure (1857-1913),  ahli bahasa Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg akhirnya menjadi  teori Strukturalisme itu.  Bahasa adalah sistem tanda (sign). Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat  mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah kata-kata. Jadi ide tidak ada sebelum adanya kata-kata. Suara yang muncul dari sebuah kata adalah ”penanda” (signifier), konsep suara tersebut adalah ”tinanda” (signified). Contoh: Jaran, kuda, horse adalah ”penanda”. Sedangkan ”binatang berkaki 4 (empat) & berlari kencang adalah ”tinanda”.  Hubungan antara penanda & tinanda disebut ”arbiter”.  Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja, tergantung dari relasinya. Menurut  Fredinand de Saussure  konsep bentuk (form) dan isi (content) penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. Isi bisa berubah, namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk (distinctive form) ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang lain (differensiasi sistematis).  Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda, karena perbedaan sistimatis tersebut. Saussure juga membedakan antara konsep “langue” & “parole”. Langue adalah sistem tata bahasa formal; sistem elemen phonic yg hubungannya ditentukan oleh hukum yg tetap. Sedangkan parole adalah percakapan sebenarnya, yaitu cara pembicara mengungkapkan bahasa untuk dirinya sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain. Adanya langue menyebabkan adanya parole.
Kehidupan manusia dibentuk oleh struktur bahasa. Studi tentang struktur bahasa melalui “tanda” melahirkan Semiotics, yaitu suatu ilmu  yang lebih luas kajiannya dari pada Strukturalisme, karena  juga menganalisa sistem simbol, bahasa tubuh, naskah sastra, ekspresi, dan bentuk komunikasi. Tokoh Semiotics adalah  Roland Barthes  dan Fredinand de Saussure yang melakukan studi sinkronis (fakta bahasa sebagai sistem) bukan diakronik (historis bahasa & perubahan evolutifnya), serta berusaha untuk membedakan sintagmatis dan paradigmatis. Sintagmatis adalah hubungan yg dimiliki sebuah kata dengan  kata sebelumnya. Contoh: kata menggigit akan berhubungan dg anjing, kedinginan, kegeraman, dan lain sebagainya. Sedangkan paradigmatis atau asosiatif adalah relasi antara suku kata dengan  kata lain diluar hubungan sintagmatis. Sebagai  contoh: kata menggigit juga ada relasinya dengan  mencaplok, mengerogoti, memakan, dan lain sebagainya.
Selanjutnya menurut Saussure, text/bunyi *jeruk* punya arti/makna karena ada text bunyi lain macam *kelapa*, *pergi*, *bangku*, dan lain-lain. Saussure menyebutnya sebagai “oposisi biner”. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara struktural. Teori oposisi biner ini jadi terkenal setelah  Levi Strauss  menggunakan teori ini untuk menganalisa proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian, sampai mitos dalam masyarakat. Bahwa lahirnya bahasa dari segi arti/makna yang muncul dalam otak  itu berasal dari komunikasi genital. Namun dari segi 'actual speech' atau omongan ('parole'), adalah bagaimana manusia itu merepresentasikan pikirannya lewat omongan, dan memproduksi suara,  mungkin lewat “gerengan” atau “raungan” sebagaimana ketika seekor harimau  makan binatang buruan bersama itu. Dalam sebuah struktur oposisi biner yang ideal, segala sesuatu arti/makna dapat dimasukkan dalam dua kategori. Kategori X ataupun kategori Y. Suatu kategori X tidak  ada dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori Y. Dalam sistem biner, hanya ada dua sign (tanda) yang hanya memiliki makna bila masing-masing beroposisi dengan yang lain. Suatu kategori jadi exist atau bermakna,  karena ditentukan oleh ketidak existan/ketidakbermaknaan kategori yang lain. Contoh yang jelas dalam sistem biner adalah : laki-laki <--> perempuan. Seseorang disebut laki-laki karena dia bukan perempuan. Contoh lain adalah  gunung <--> lembah. Disebut gunung,  karena dia bukan lembah dan begitulah seterusnya, seperti: . publik <--> privat,  daratan <--> lautan,  positip <--> negatip.
Sistem oposisi biner tidaklah lahir secara natural. Dia adalah berbentuk produk atau reproduksi budaya. Dia lahir karena manusia punya sistem penandaan dalam otaknya (genital-communication), dan sistem penandaan ini digunakan untuk menstrukturkan persepsi serta pemahaman manusia pada dunia di luar mereka, baik terhadap alam natural atau pun dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan. Sistem oposisi biner ini oleh manusia tidak saja digunakan untuk mengkategorikan sesuatu yang hanya ada di dunia alamiah, tetapi dia juga digunakan untuk untuk memahami/menjelaskan kategori-kategori makna yang abstrak. Contoh sederhana adalah oposisi biner alamiah seperti batu <--> air diparalelkan dengan keras <-> lunak, diabstrakkan jadi pemerintah yang kejam <-> pemerintah yang ramah. Oposisi biner ini juga dapat menjelaskan dan digunakan untuk menganalisa perkara GAM/OPM lawan NKRI, separatis lawan NKRI, militer-sipil, Islam moderat dan Islam radikal serta hubungan struktural antara keduanya yang timpang dan bagaimana memperbaikinya. Kalau melihat struktur oposisi biner ini dapat disimpulkan bahwa suatu struktur (baik abstrak atau konkrit) selalu ada,  karena adanya sistem oposisi biner yang mendukung struktur tersebut. Kalau Indonesia disebut sebagai struktur yang terbentuk dari bermacam-macam oposisi biner, maka penghilangan salah satu bagian dari oposisi biner pasti akan meruntuhkan  struktur Indonesia itu. Terjadinya berbagai masalah di Indonesia mungkin disebabkan hilangnya salah satu bagian struktur oposisi biner tersebut. Inilah pentingnya pengetrapan teori Strukturalisme pada fenomena aktual sekarang ini.
Konsep oposisi biner mula-mula diteorisikan oleh ahli bahasa Ferdinand de Saussure, tetapi Claude Levi-Strauss-lah yang membuatnya menjadi sangat berpengaruh. Strauss merupakan Antropolog strukturalis yang banyak menggunakan teori-teori bahasa. Bagi Strauss, oposisi biner adalah 'the essence of sense making', yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan bahkan tidak akan ada kategori A. Dalam sistem biner, hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain. Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan dan laki-laki, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia bukan lautan, begitu seterusnya.
Oposisi biner adalah produk dari 'budaya', ia bukan bersifat 'alamiah'. Ia adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan dan makna. Strauss juga menyebutkan konsep dasar dari oposisi biner yaitu 'the second stage of the sense-making process': penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. Contoh sederhana dari konsep ini misalnya diberikan oleh John Fiske (1994): konsep oposisi biner angin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai 'the logic of concrete'. Secara struktur oposisi biner berhubungan satu dengan yang lain, dan bisa ditransfor-masikan dalam sistem-sistem oposisi biner yang lain. Oposisi biner menimbulkan posisi-posisi ambigu yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori A atau kategori B, yang bisa disebut dengan atau ‘kategori ambigu’ atau 'kategori skandal' (Strauss lebih senang menyebutnya dengan 'anomalous category‘.‘Kategori anomali’ ini muncul dan mengganggu sistem oposisi biner. Ia mengotori kejernihan batas-batas oposisi biner. Antara anak-anak dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada pantai. Antara orang hidup dan orang mati ada sesuatu yang disebut vampir, hantu, zombi. Antara laki-laki dan perempuan ada gay/lesbian/banci. Pantai, remaja, vampir/hantu/zombi, atau gay/lesbian/banci adalah 'kategori anomali'.
Kata tidak lagi dapat dianggap sebagai satuan linguistik paling dasar karena yang terkecil adalah fonem (satuan)  bunyi yang terkecil dan berbeda, sebagai contoh: kutuk dan kuthuk (Jawa). Perbedaan “t” dan “th” inilah yang disebut fonem (Nikolai Troubetzkoi).  Fonem adalah konsep linguistik bukan konsep psikologis.  Struktur terbagi dua, yaitu: Struktur permukaan/luar (surface structure): adalah relasi-relasi antar unsur yg dapat dibuat atau dibangun berdasarkan ciri-ciri empiris dari relasi tersebut. Sedangkan struktur batin/dalam (deep structure): adalah susunan tertentu yg dibangun atas struktur lahir yg telah berhasil dibuat. Transformasi adalah  perubahan bahasa pada struktur luar, tapi pada struktur dalam tetap sama.
Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas manusia memudahkan identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam Strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation  (sistim relasi). Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978  dalam  Ahimsa 2006).