Jumat, 15 Juli 2011

Diskriminasi Dunia Pendidikan Indonesia

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Otonomi pendidikan masih menuai polemik. Satu diantaranya, labelisasi RSBI ditengarai menimbulkan kecemburuan/kesenjangan sosial di tengah masyarakat.

Faktanya, masyarakat yang bisa menikmati sekolah dengan predikat RSBI hanya kelompok masyarakat tertentu saja. Kebanyakan RSBI hanya bisa dinikmati oleh anak-anak yang ekonomi orangtuanya mapan alias anak orang kaya. Seorang siswa yang bisa menikmati pendidikan di RSBI tidak dilihat berdasarkan kemampuan akademik semata, namun juga berdasarkan kemampuan membayar biaya yang telah ditetapkan sekolah. Bila ini yang terjadi, maka hal ini pertanda lonceng kematian untuk dunia pendidikan kita.

Dalam dunia pendidikan sebenarnya tidak perlu ada labelisasi, karena hal itu hanya akan mengotakkanngotakan anak bangsa yang sebenarnya mempunyai hak yang sama tidak membedakan siswa anak orang kaya maupun siswa anak orang miskin dalam mengenyam pendidikan. Dalam dunia pendidikan, yang  perlu ditekankan adalah standarisasi pendidikan nasional dengan mengacu pada tujuan dasar bernegara dan tujuan filosofis pendidikan.

"Bangsa ini harus memiliki standar pendidikan nasional sendiri untuk mencapai tujuan didirikannya negara kita tercinta ini. Standar ini juga harus mengakomodasi kearifan lokal yang kita miliki, meski bisa diperkaya dari negara-negara lain."

Disadari atau tidak, sebenarnya sistem SBI dan non SBI merupakan wadah pendidikan yang diperuntukkan bagi ‘Si Kaya’ dan ‘Si Miskin’. Jurang pemisah antara mereka semakin menyolok dalam wilayah pendidikan. Siapa pun yang mempunyai duit besar, dipastikan mampu masuk Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Ditambah lagi dengan selalu ada pagu (daya tampung siswa) yang disediakan untuk siswa hasil ‘lobi’ khusus dengan pihak sekolah.

Seperti apa yang biasa disebut banyak orang kapitalisme, nuansa itu kini telah menyentuh wilayah pendidikan nasional. Munculnya dikotomi sekolah berstandar internasional (SBI) dan sekolah biasa merupakan pengejawantahan semangat kapitalis dalam dunia pendidikan. Tidak dipungkiri, akan muncul kelas-kelas sosial sebagai bias ‘penerapan’ ide kapitalis dalam dunia pendidikan. Kelas sosial karena sistem pendidikan yang berbasis duit tebal dan mengenyampingkan kecerdasan siswa.

Contoh sederhana, jika di kota Anda ada sekolah ber-SBI atau minimal masih Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang bersebelahan dengan sekolah biasa, Anda pasti menyaksikan fenomena memprihatinkan. Betapa kesenjangan sosial kelihatan sangat nyata dan menjadi pemandangan lumrah. Halaman parkir sekolah ber-SBI dipastikan penuh dengan mobil dan seluruh siswanya masuk sekolah dengan menenteng laptop.

Sebaliknya, di sekolah biasa, para siswa diantar dengan sepeda motor, sepeda ontel naik angkutan kota, bahkan jalan kaki. Jarang sekali yang menenteng laptop atau membawa ponsel pun seharga ratusan ribu. Kesenjangan kenyataan ini merupakan pengejawantahan gagasan kapitalisme dalam dunia pendidikan.

Dalam sistem pendidikan nasional, kecerdasan bisa dicapai apabila ditunjang oleh fasilitas lengkap (berteknologi tinggi). Dengan teknologi yang memadai, maka proses belajar akan berlangsung dengan baik. Logika seperti inilah yang menjadi landasan kegiatan belajar-mengajar dalam sistem pendidikan kita. Lantas bagaimana dengan siswa yang tidak mampu ‘membeli’ segala fasilitas mahal tersebut?, Semua (pemerintah) hanya memejamkan mata.


Semestinya konsep RSBI dan Non RSBI ditinjau ulang. Sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Pemerataan pendidikan harus dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya, dalam sistem pendidikan kita mereka siswa anak orang yang berduit akan menikmati fasilitas pendidikan mewah. Sedangkan siswa anak orang yang beduit pas-pasan kurang beruntung dan hanya bisa menikmati sekolah biasa dengan fasilitas subsidi seadanya.


Siapa pun tentu tidak ingin menjadi miskin, dalam konteks pendidikan kemiskinan menjadi penghalang untuk meraih kesempatan memperoleh pendidikan layak. Padahal kesempatan bersekolah yang layak dijamin dalam undang-undang, kaya dan miskin harus memperoleh kesempatan yang sama dalam belajar. Dengan kata lain, masuknya anasir kapitalisme dalam dunia pendidikan membuat sistem pendidikan nasional berseberangan dengan konsep ideal UUD 1945.