Sabtu, 16 Juli 2011

Ketidakmerataan Hak dan Akses Dunia Pendidikan

Pendidikan dan Hak 

Kompetisi dalam segala aspek kehidupan ekonomi dan perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Maka dari itu, untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan dalam hal pemerataan akses bagi semua kalangan. Pendidikan menjadi landasan kuat untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan pendidikan merupakan bekal dalam menghadapi era global yang sarat akan persaingan. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena, pendidikan telah menjadi faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.

Dengan melihat latar belakang tersebut, pembangunan pendidikan seharusnya menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial dan budaya. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ’yang kaya’ maupun ’yang miskin’. Namun, ketidakmerataan akses terhadap pendidikan di Indonesia masih menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum terselesaikan.

Ketidakmerataan Akses Pendidikan 

Kemiskinan merupakan rintangan terbesar bagi seseorang untuk memperoleh hak-hak pendidikan mereka. Padahal, pendidikan diyakini sebagai mekanisme untuk melakukan mobilitas vertikal secara cepat. Keterkaitan pendidikan dengan kemiskinan ini telah menjadi isu yang semakin meluas. Di Indonesia, permasalah pendidikan terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara Si Kaya dan Si Miskin.

Kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala ekonomi. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan.

Sampai saat ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Bersembunyi di balik permasalahan kemiskinan, institusi pendidikan negeri mulai menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.

Kenyataannya, biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem pendidikan formal itu sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum miskin. Hal tersebut disebabkan, sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru diduduki oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-anak nelayan, pemulung, buruh tani, buruh pabrik, buruh kasar, buruh bangunan, dan sebaginya justru bersekolah di swasta-swasta kecil, yang 90% pembiayaannya ditanggung sendiri. Dengan demikian, orang-orang kaya di Indonesia justru membayar biaya pendidikan lebih kecil dibanding orang-orang miskin yang harus membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak. Munculnya ketidakadilan itu bersumber pada sistem seleksi peserta didik yang didasarkan pada besaran nilai hasil ujian yang memperlihatkan pencapaian nilai tertinggi. Sedangkan, untuk memperoleh nilai yang tinggi harus memenuhi kelengkapan fasilitas belajar dan asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari agar seorang anak bisa menjadi cerdas. Kadua hal itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi.

Permasalahan ini dapat dilihat dengan perspektif konflik. Perspektif ini menekankan pada perbedaan diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik, masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.

Dalam permasalah ketidakmerataan akses pendidikan, menurut perspektif ini disebabkan karena adanya kemampuan individu yang berbeda sehingga memunculkan persaingan, dalam hal ini terjadi persaingan anatara Si Kaya dan Si Miskin untuk memperoleh pendidikan. Dengan kemampuan yang terbatas, Si Miskin tidak dapat menjangkau pendidikan, sedangkan Si Kaya yang memiliki kemampuan lebih akan dengan mudah memperoleh akses terhadap pendidikan.