Sabtu, 02 Februari 2013

Positivisme dan Postpositivisme


Positivisme kalipertama dicetuskan oleh seorang pakar sosiologi (sosiolog pertama), A. Comte (1798-1857). Comte menawarkan pemikiran positivisme dengan dasar bahwa setiap pemikiran manusia, pemikiran setiap ilmu, dan pemikiran suku-suku bangsa pada dasaranya semua melewati tiga tahap. Ketiga tahap pemikiran ini diantaranya 1) tahap teologis, 2) tahap metafisis, 3) tahap positif-ilmiah (atau bisa disebut positivisme)[1].
   Dalam perkembangan pola pemikiran manusia (modern) yang hanya mengedepankan bahwa tahap pemikiran manusia hanya melalui tahap positif-ilmiah. Sebab itu positivisme (yang merupakan lawan dari khayalan metafisis) menjadi sangat popular pada perkembangan pemikiran di Inggris yang akhirnya menelurkan filsuf-filsuf seperti Stuart Mill (1806-1873) dan H. Spencer (1820-1903). Kenyataan akhirnya menimbulkan ansumsi bahwa positivisme merupakan gerakan evolusi lebih lanjut dari empirisme Inggris.
            Berangkat dari fonomena tersebut akhirnya menjadi positivisme sebagai faham (pola cara berpikir) yang sangat diterima dan dinilai sebagai metode yang paling baik dan berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Keterikatan ini didasari ketika filosofi empirisme menjadi inspirasi dalam positivisme, dimana kebenaran (ilmu pengetahuan) dilihat dari hasil pembuktian secara kongret dan dapat diukur atau dijangkau logika manusia atau yang biasa disebut objektifitas ilmu pengetahuan.  Positivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan fakta keras.     
Positivisme lebih jelasnya menyatakan bahwa metode ilmiah adalah metode paling baik untuk menelaah semua fenomena baik ilmiah ataupun humanistik. Filsafat ini bermula sebagai respon dari filsafat Idealis yang tidak mampu memecahkan permasalahan yang ada. Bisa dikatakan Positivisme merupakan empirisme yang ekstrim dan mencapai konsekuensi-konesuensi rasional atas hal tersebut. SLOGAN positivisme, savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir (dari ilmu muncul prediksi, dari prediksi muncul aksi)[2]. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Pada abad ke duapuluh aliran ini muncul lagi yang disebut sebagai positivisme logis. Positivisme logis adalah suatu aliran filsafat yang dikembangkan oleh kelompok lingkaran Wina[3]. Mereka menggabungkan filsafat positivisme dengan filsafat Analitis. Mereka mewujudkan bentuk baru dari positivisme.  Positivisme pada masa ini juga dikembangkan oleh Lingkaran Berlin.
Pada masa selanjutnya kritik terhadap positivisme oleh para filsuf ilmu seperti Kuhn dan Popper membawa pada paham baru yaitu Post-Positivisme. Positivisme berpengaruh dalam berbagai ilmu pengetahuan. Dari psikologi dia melahirkan Behaviorisme dan opersionalisme dan dari hukum dia melahirkan positivisme legal. Pada masa sekarang penggunaan positivisme dalam ilmu sosial. Positivisme dalam ilmu sosial sering disamakan penelitian kualitatif. Post positivisme merupakan gerakan untuk melawan positivisme, dengan tujuan untuk membedah keselahan-kesalahan yang dilakukan oleh positivisme. Diantara usaha postpositivisme adalah untuk mengembalikan ilmu-ilmu sosial pada posisi yang lebih humanism dalam pengertian memanusiakan manusia yang memang seharusnya demikian, melalui pembentukan atau pembaharuan dalam metodologi penelitian yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Postpositivisme melawan positivisme: dengan cara berpikir yg subjektif Asumsi thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Kesadaran berilmu pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna). Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik
Inti Pemikiran Husserl. Asumsi dasar pascapositivisme: Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori, Falibilitas teori; (adanya fakta anomali), Fakta tidak bebas melainkan sarat nilai, Interaksi subjek dan objek penelitian[4]. By. Yanto (aryboxs)
  


[1] Dr.Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, hal.59, Hadiwijono,Harun.1980.Sejarah Filsafat Barat 2,hal 109
[2] Listiyono Santoso, Penjelasan Penugasan S2 Ilmu Sastra dan Budaya, Materi Kuliah Filsafat Ilmu.Unair (power point)
[3] Dr.Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, hal.59-60
[4] Listiyono Santoso, Penjelasan Penugasan S2 Ilmu Sastra dan Budaya, Materi Kuliah Filsafat Ilmu.Unair (power point)