Positivisme
kalipertama dicetuskan oleh seorang pakar sosiologi (sosiolog pertama), A.
Comte (1798-1857). Comte menawarkan pemikiran positivisme dengan dasar bahwa
setiap pemikiran manusia, pemikiran setiap ilmu, dan pemikiran suku-suku bangsa
pada dasaranya semua melewati tiga tahap. Ketiga tahap pemikiran ini
diantaranya 1) tahap teologis, 2) tahap metafisis, 3) tahap positif-ilmiah
(atau bisa disebut positivisme)[1].
Dalam perkembangan pola pemikiran manusia
(modern) yang hanya mengedepankan bahwa tahap pemikiran manusia hanya melalui
tahap positif-ilmiah. Sebab itu positivisme (yang merupakan lawan dari khayalan
metafisis) menjadi sangat popular pada perkembangan pemikiran di Inggris yang akhirnya
menelurkan filsuf-filsuf seperti Stuart Mill (1806-1873) dan H. Spencer
(1820-1903). Kenyataan akhirnya menimbulkan ansumsi bahwa positivisme merupakan
gerakan evolusi lebih lanjut dari empirisme Inggris.
Berangkat dari fonomena tersebut
akhirnya menjadi positivisme sebagai faham (pola cara berpikir) yang sangat
diterima dan dinilai sebagai metode yang paling baik dan berjasa dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Keterikatan ini didasari ketika filosofi empirisme
menjadi inspirasi dalam positivisme, dimana kebenaran (ilmu pengetahuan)
dilihat dari hasil pembuktian secara kongret dan dapat diukur atau dijangkau
logika manusia atau yang biasa disebut objektifitas ilmu pengetahuan. Positivisme mengembangkan klaim empiris
tentang pengetahuan secara ekstrim bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu
berdasarkan fakta keras.
Positivisme
lebih jelasnya menyatakan bahwa metode ilmiah adalah metode paling baik untuk
menelaah semua fenomena baik ilmiah ataupun humanistik. Filsafat ini bermula
sebagai respon dari filsafat Idealis yang tidak mampu memecahkan permasalahan
yang ada. Bisa dikatakan Positivisme merupakan empirisme yang ekstrim dan
mencapai konsekuensi-konesuensi rasional atas hal tersebut. SLOGAN positivisme,
savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir (dari ilmu muncul prediksi,
dari prediksi muncul aksi)[2].
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.
Pada abad ke
duapuluh aliran ini muncul lagi yang disebut sebagai positivisme logis.
Positivisme logis adalah suatu aliran filsafat yang dikembangkan oleh kelompok
lingkaran Wina[3].
Mereka menggabungkan filsafat positivisme dengan filsafat Analitis. Mereka
mewujudkan bentuk baru dari positivisme. Positivisme pada masa ini juga
dikembangkan oleh Lingkaran Berlin.
Pada
masa selanjutnya kritik terhadap positivisme oleh para filsuf ilmu seperti Kuhn
dan Popper membawa pada paham baru yaitu Post-Positivisme. Positivisme
berpengaruh dalam berbagai ilmu pengetahuan. Dari psikologi dia melahirkan
Behaviorisme dan opersionalisme dan dari hukum dia melahirkan positivisme
legal. Pada masa sekarang penggunaan positivisme dalam ilmu sosial. Positivisme
dalam ilmu sosial sering disamakan penelitian kualitatif. Post positivisme merupakan gerakan untuk melawan
positivisme, dengan tujuan untuk membedah keselahan-kesalahan yang dilakukan
oleh positivisme. Diantara usaha postpositivisme adalah untuk mengembalikan
ilmu-ilmu sosial pada posisi yang lebih humanism dalam pengertian memanusiakan manusia
yang memang seharusnya demikian, melalui pembentukan atau pembaharuan dalam
metodologi penelitian yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Postpositivisme
melawan positivisme: dengan cara berpikir yg subjektif Asumsi thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak),
Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi,
kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi. Kesadaran berilmu
pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang objek-objek
intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik
intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna).
Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin
untuk dikatakan equivalen atau identik
Inti Pemikiran Husserl. Asumsi dasar pascapositivisme: Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori, Falibilitas teori; (adanya fakta anomali), Fakta tidak bebas melainkan sarat nilai, Interaksi subjek dan objek penelitian[4]. By. Yanto (aryboxs)
Inti Pemikiran Husserl. Asumsi dasar pascapositivisme: Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori, Falibilitas teori; (adanya fakta anomali), Fakta tidak bebas melainkan sarat nilai, Interaksi subjek dan objek penelitian[4]. By. Yanto (aryboxs)
[1] Dr.Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, hal.59,
Hadiwijono,Harun.1980.Sejarah Filsafat
Barat 2,hal 109
[2]
Listiyono Santoso, Penjelasan
Penugasan S2 Ilmu Sastra dan Budaya, Materi Kuliah Filsafat Ilmu.Unair (power point)
[3]
Dr.Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, hal.59-60
[4]
Listiyono Santoso, Penjelasan
Penugasan S2 Ilmu Sastra dan Budaya, Materi Kuliah Filsafat Ilmu.Unair (power point)