Sabtu, 02 Februari 2013

Facebook Sebagai Identitas



Matter online……..their relationship to the RL indentities is complex, variable and contested. (David Bill 2005:135)”
Dalam buku yang berjudul Introduction to Cyber Cultures, David Bill, mengatakan bahwa hubungan identitas dunia maya dengan identitas dunia nyata bersifat sangat komplek, bermacam-macam dan bahkan diperebutkan, sebab itu identitas dunia maya juga tidak kalah pentingnya dengan identitas dunia nyata. Gagasan Bill ternyata bukan tampa dasar, jikalau pun saat ini, disaat internet sudah menjadi komoditi, kesahitan teori Bill mampu menjawab atas pertanyan dan pembuktian secara ilmiah.
Bisa dicermati dengan muculnya jejaring sosial, Fecebook yang dapat digunakan manusia untuk berinteraksi, dan membentuk komunitas dalam dunia maya. Dimana informasi dapat diterima setiap waktu dan kapanpun tampa harus bertemu secara langsung dengan manusia lain. Fenomena ini pada akhirnya mampu mengeser realitas atas identitas manusia. Dimana sebelumnya, identitas merupakan representasi individu (manusia) yang dapat dikenal oleh orang lain dalam kontek dunia nyata[1]. Namun setelah maraknya internet apalagi semakin menjamurnya jejaring sosial seperti Facebook, esensi identitas ini telah bergeser, yang dulu lingkupnya hanya berada dalam dunia nyata, sekarang home page pribadi (account ) dalam Facebook juga merupakan simulacra identitas manusia.
Fakta ini terjadi akibat banyaknya individu-individu yang menggunakan Facebook sebagai wadah atau tempat untuk mengespresikan jati dirinya yang belum atau tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Baudrillard mengatakan, bahwa dimasa postmodernisme bukan lagi seperti era modernisme, ini ditandai dengan adanya konsep mengenai ”masyarakat simulasi”.  Proses simulasi ini mengarah pada simulacra. Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56)[2]. Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi  dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi[3].
Definisi ketiga ini yang akhirnya mengarah pada esensi identitas di zaman postmodernisme, lebih khususnya dengan fenomena Facebook sebagai identitas.  Cheung (2000: 44) mengungkapkan, bahwa home page pribadi merupakan website yang diproduksi oleh seorang individu (atau pasangan, keluarga )  yang berpusat disekitar kepribadian dan identitas penulisnya (Bill 2005:117)[4].

Defining the personal homepage as ‘a website produced by an individual (or couple, or family) which is centred around the personality and identity of its author(s)’ (Cheung 2000: 44).
Gagasan ini jika dilihat dengan fenomena home pege di Facebook sangat signifikan dengan gagasan yang diungkapkan Bill. Terbukti dengan banyaknya kasus pidana yang diawali akibat kasus pelanggaran hukum yang terjadi di Facebook. Sebagai contoh pernah diberitakan di Jawa Pos, ada seorang ibu rumah tangga yang dijadikan tersangka, akibat statusnya di Facebook dinilai telah mencemarkan nama baik mantan suaminya. Fenomena kasus ini akhirnya mengambarkan bahwa identitas dalam Facebook juga menjadi atau sama halnya dengan identitas dalam dunia nyata, yang perlu diperebutkan dan dipertentangkan. Lebih jelasnya, Cheung mengatakan bahwa home page mendorong presentasi refleksif dan narrativizatio dari individu, meskipun salah satu yang didefinisikan oleh media sangat membahayakan penonton[5]
Facebook telah menjadi cerminan identitas realitas/individu, juga terjadi saat jarigan sosial ini menewarkan kebebasan gender. Dimana individu bebas memilih atau mengungkapan identitas gendernya sesuai dengan kehendaknya. Bisa dilihat dalam pengaturan profile di Facebook akan diberikan kebebasan untuk memilih jenis kelamin. Maksut kebebasan gender ini ditujukan untuk memberi ruang bagi individu yang belum bisa melakukan esplorasi gender yang dikehendaki didunia nyata, bisa mengesplorasinya dalam dunia virtual reality (Facebook). Dari kebebasan gender ini pada akhirnya Fecebook merupakan identitas realitas, sebagaimana yang dikatakan Bell bahwa identitas dunia maya merupakan wujud simulacra identitas dunia nyata[6].     
Lebih lanjut Bell mengatakan bahwa cyberspace merupakan ruang pembebasan atau alat utama untuk menyalurkan ekspresi individu dan kelompok. Tidak hanya itu cyberspace sangat penting bagi masyarakat terutama bagi mereka yang membutuhkan ruang ekspresi yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata.  Dalam cyberspace, komunitas dipandang sebagai individu atau kelompok sosial  yang memiliki rasa saling berhubungan, walaupun tidak melakukan interaksi secara rutin dan tidak bertatap muka secara langsung[7]. Tidak terlepas dengan Facebook, jejaring sosial ini menjadi identitas individu sebab didalamnya juga terkadung kebebasan gender, dan kelas sosial yang mencerminkan identitas realitas. By. Yanto (aryboxs)


[1] Barker,Chris.2011.Cultural Studies, Teori & Praktik. hal 173-174
[2] Baudrillard, Jean. 1983a. Simulations. hal 54-56
[3] Baudrillard, Jean. 1983a. Simulations. hal 54-56
[4] Bell, David.2005. a Introduction to Cyber Cultures. hal 117
[5] Bell, David.2005. a Introduction to Cyber Cultures. hal 117 
[6] Bell, David.2005. a Introduction to Cyber Cultures. hal 122-125
[7]  Bell, David.2005. a Introduction to Cyber Cultures. hal 113-135